Daniel mengulum bibir Emily dengan begitu lembut, menciptakan keintiman yang mendalam di antara mereka. Setelah beberapa saat, Daniel perlahan melepaskan ciuman mereka. Jantung keduanya berdetak kencang, dan nafas mereka terengah-engah. Dalam keadaan yang penuh kejutan bagi Emily, Daniel perlahan menjauhkan wajahnya dari Emily, menciptakan jarak di antara mereka. Tatapan mereka saling bertemu, dan alis Daniel berkerut, menunjukkan kegelisahan dalam hatinya. Dia menantikan apakah tindakannya kali ini berhasil mengembalikan jiwa mereka.
"Sial! Ini tidak berhasil!" ujar Daniel setelah menunggu cukup lama dan melihat tidak ada perubahan apapun pada mereka.Emily mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan ritme detakan jantungnya agar kembali normal. Tanpa di sadari oleh Emily, Daniel meraih handuk dan dengan lembut menyelimutinya di tubuh Emily."Kamu sudah basah, sebaiknya kamu mandi di sini," ucap Daniel sambil melihat tubuh Emily yang sudah basaEmily menggigit bibir bawahnya, ragu untuk mengungkapkan hal ini karena takut Daniel akan marah padanya atau bahkan memecatnya. Rasa takut itu semakin membesar saat Daniel menatapnya dengan tatapan tajam yang seperti ingin memangsa dirinya. "Sebaiknya kamu katakan dengan cepat. Jangan membuat saya semakin penasaran," ujar Daniel dengan nada tegas.Meskipun ragu, Emily menghela nafas dan berusaha mengatasi ketakutannya. "Tapi, Bapak janji tidak akan marah atau memecat saya, kan? Ini hanya perkiraan saya saja," ucapnya dengan ragu."Tergantung apa yang ingin kamu bicarakan," jawab Daniel dengan nada penasaran.Emily merasa semakin terjepit dan akhirnya mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan. "Kalau begitu, sebaiknya lupakan saja," ucap Emily sambil berbalik dan menghadap pintu kamar mandi."Cepat katakan, jangan menarik ulur pembicaraan ini," tegur Daniel dengan tegas. "A-apakah Bapak tidak tertarik pada wanita?" tanya Emily
"Apakah itu Emily? Bisakah kamu memberikan telepon ini padanya?" Fred memohon dengan nada yang penuh harap."Saya akan segera menghubungi Anda lagi," jawab Emily kemudian memutuskan panggilan telepon itu. "Kenapa wajahmu begitu panik? Apa yang terjadi?" tanya Daniel. "Pak, tolong saya," bisik Emily dengan nada memohon. Dia kemudian memberikan ponselnya kepada Daniel, matanya memohon agar Daniel bisa membantunya. "Apakah Bapak bisa memberi tahu Dad dan mengatakan bahwa saya baik-baik saja? Sepertinya Dad khawatir dengan keadaanku tetapi saya tidak mungkin menjawabnya dalam keadaan seperti ini," ucap Emily dengan penuh harap."Saya mohon, Pak."Daniel menarik nafas panjang, merasakan berat permintaan Emily. Namun, akhirnya dia menyetujui permintaan Emily. Dia segera menekan tombol hijau pada ponsel Emily."Halo," terdengar suara Fred dari ujung telepon. "Ya, halo," sahut Daniel."Tunggu sebentar. Aku
Setelah tidur yang panjang, Emily terbangun oleh suara ketukan pintu yang kuat. Menggeliat, dia meregangkan tubuhnya yang baru saja bangun dari tidur. "Iya, tunggu sebentar," ucap Emily, bangkit dari tidurnya, dan duduk sejenak untuk mengumpulkan dirinya yang masih belum sepenuhnya sadar. Emily berjalan menuju pintu kamarnya dengan langkah yang sedikit terhuyung. Saat membuka pintu, di hadapannya berdiri Daniel dengan wajah yang tampak serius. "Ada apa, Pak?" tanya Emily sambil mengucek matanya, masih terlihat mengantuk."Kamu tidur?" tanya Daniel."Iya, Pak. Saya tidak sadar dan tertidur begitu saja," jawab Emily. "Keluarlah, kita cari makan," ucap Daniel, mengajak Emily untuk keluar dari kamarnya."Bisakah tunggu sebentar, Pak?" tanya Emily. "Cepatlah," jawab Daniel. Emily segera bergegas menuju kamar mandi dan mencuci wajahnya kemudian membersihkannya menggunakan handuk bersih. Setelah selesai,
Daniel mulai memijat pertengahan alisnya yang berkerut dengan frustasi. "Sial!" desisnya dengan suara rendah, mengungkapkan kekesalannya. Kejadian itu tidak luput dari perhatian wanita tadi. Ia terus memperhatikan mereka berdua dengan rasa bingung, merasa penasaran dengan hubungan Daniel dan Emily. Tatapan wanita itu penuh tanda tanya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Sementara itu, Emily bergerak dengan cepat menuju lift. Dengan tergesa-gesa, ia menekan tombol nomor lantai yang ingin dituju. Tak lama kemudian, lift tiba di lantai tersebut. Dengan langkah terburu-buru, Emily masuk ke dalam kamar hotelnya, berharap dapat menenangkan diri. "Kenapa aku harus ikut campur dengan kehidupannya? Yang dia katakan memang benar, kami tidak cukup dekat untuk mencampuri urusan pribadi masing-masing," gumam Emily dengan suara yang penuh penyesalan, menyadari kesalahannya karena telah ikut campur dalam masalah Daniel. "Tetap
Saat Daniel hendak berdiri meninggalkan Emily, tangan Emily menahannya dengan lembut."Ethan, mengapa kamu begitu kejam padaku?" Emily menunjukkan ekspresi sedih di wajahnya."Selama dua minggu kamu menghilang tanpa kabar, aku sangat mengkhawatirkanmu," lanjut Emily dengan suara bergetar.Dengan satu tangan, Emily memegang lembut pipi Daniel yang kini berada dalam tubuhnya. "Aku begitu merindukanmu," air mata Emily mulai mengalir membasahi pipinya.Daniel mencoba melepaskan tangan Emily dari wajahnya, namun Emily menolak dengan tegas. "Jangan pergi. Aku tidak sanggup melupakanmu. Mari kita bersama lagi.""Kenapa pipimu terlihat begitu tirus? Tubuhmu juga semakin kurus," ucap Emily sambil menatap penuh perhatian Daniel yang kini berada dalam dirinya. "Apa kamu menderita juga selama kita berpisah?" Emily semakin terbawa emosi karena efek mabuk yang mulai terasa."Maafkan aku, mari kita bersama lagi," ucap Emily dengan suara penuh h
Mereka bergerak dengan cepat, mengajukan pertanyaan kepada setiap penduduk lokal yang mereka temui, berharap menemukan petunjuk tentang keberadaan nenek dan rumah tua yang misterius itu. Namun, setiap kali mereka mendapatkan jawaban, hanya kekecewaan yang mereka rasakan. Tidak ada satupun penduduk lokal yang mengetahui tentang hal tersebut."Kami tidak mengetahui adanya rumah tua di sekitar hutan ini," begitu jawaban yang mereka terima setiap kali mereka menanyakan tentang rumah tua. Atau ada juga yang menjawab, "Tidak ada nenek tua dengan ciri-ciri seperti yang kalian sebutkan yang pernah tinggal di sini."Bahkan, tidak ada satu pun kejadian aneh atau mistis yang pernah terjadi di sana. Emily dan Daniel merasa semakin terjebak dalam labirin misteri yang semakin rumit. Setiap pintu yang mereka ketuk hanya membawa mereka ke jalan buntu, semakin meningkatkan rasa putus asa yang mereka rasakan. Namun, meskipun putus asa, mereka tetap bersatu dan berusaha untuk tidak m
Daniel terlihat bingung dan ragu, tetapi akhirnya dia menjawab, "Kita tidak punya pilihan lain. Kamu tetap harus bertemu dengannya."Emily merasa ketakutan, tetapi dia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan menjawab dengan suara yang lemah. "Sepertinya memang begitu.""Nanti kabari saya apabila kamu sudah bertemu dengan Grandpa," perintah Daniel. "Baik, Pak. Saya akan mengabari Bapak," jawab Emily. "Ayo kita pergi," ajak Daniel."Pergi ke mana, Pak?" tanya Emily dengan raut bingung yang terpancar di wajahnya. "Antarkan saya untuk pulang ke rumahmu," jawab Daniel. Perjalanan dari rumah Daniel menuju ke rumah Emily memakan waktu yang cukup lama. "Apa Bapak tidak gugup akan bertemu Dad?" tanya Emily dengan suara yang penuh keraguan. "Tidak," jawab Daniel singkat. Dia tenang sekali, sementara aku gugup setengah mati mau bertemu dengan kakeknya nanti, batin Emily. "Apa kamu sudah m
Emily tampak terkejut, sementara Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut. Dia tidak menyangka bahwa Fred bisa berpikir sejauh itu. "Apa? Hamil? Bagaimana mungkin, Dad... eh, maksud saya bagaimana mungkin Anda bisa berpikir sejauh itu?" protes Emily yang berada dalam tubuh Daniel. Lagi-lagi dia hampir saja membocorkan identitasnya bahwa dia adalah Emily. "Bisakah kalian sekarang keluar dari kamar saya?" tanya Daniel, suaranya dingin. Dia mulai merasa pusing dan memijat pelipisnya. "Saya ingin beristirahat, lebih baik kalian keluar," imbuh Daniel dengan nada tegas, sambil menggertakkan giginya dengan kesal. Meskipun kesal, Daniel berusaha untuk menjaga sikapnya agar tetap tenang."T-tapi, Em... Apa kamu sudah baik-baik saja? Bagaimana keadaan perutmu? Apa masih terasa mual?" Fred bertanya dengan khawatir, namun Daniel segera mengangkat tangan untuk menghentikannya."Pergilah, saya bisa merawat diri saya sendiri. Letakkan cangkir