Emily menggigit bibir bawahnya, ragu untuk mengungkapkan hal ini karena takut Daniel akan marah padanya atau bahkan memecatnya. Rasa takut itu semakin membesar saat Daniel menatapnya dengan tatapan tajam yang seperti ingin memangsa dirinya.
"Sebaiknya kamu katakan dengan cepat. Jangan membuat saya semakin penasaran," ujar Daniel dengan nada tegas.Meskipun ragu, Emily menghela nafas dan berusaha mengatasi ketakutannya. "Tapi, Bapak janji tidak akan marah atau memecat saya, kan? Ini hanya perkiraan saya saja," ucapnya dengan ragu."Tergantung apa yang ingin kamu bicarakan," jawab Daniel dengan nada penasaran.Emily merasa semakin terjepit dan akhirnya mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan. "Kalau begitu, sebaiknya lupakan saja," ucap Emily sambil berbalik dan menghadap pintu kamar mandi."Cepat katakan, jangan menarik ulur pembicaraan ini," tegur Daniel dengan tegas."A-apakah Bapak tidak tertarik pada wanita?" tanya Emily"Apakah itu Emily? Bisakah kamu memberikan telepon ini padanya?" Fred memohon dengan nada yang penuh harap."Saya akan segera menghubungi Anda lagi," jawab Emily kemudian memutuskan panggilan telepon itu. "Kenapa wajahmu begitu panik? Apa yang terjadi?" tanya Daniel. "Pak, tolong saya," bisik Emily dengan nada memohon. Dia kemudian memberikan ponselnya kepada Daniel, matanya memohon agar Daniel bisa membantunya. "Apakah Bapak bisa memberi tahu Dad dan mengatakan bahwa saya baik-baik saja? Sepertinya Dad khawatir dengan keadaanku tetapi saya tidak mungkin menjawabnya dalam keadaan seperti ini," ucap Emily dengan penuh harap."Saya mohon, Pak."Daniel menarik nafas panjang, merasakan berat permintaan Emily. Namun, akhirnya dia menyetujui permintaan Emily. Dia segera menekan tombol hijau pada ponsel Emily."Halo," terdengar suara Fred dari ujung telepon. "Ya, halo," sahut Daniel."Tunggu sebentar. Aku
Setelah tidur yang panjang, Emily terbangun oleh suara ketukan pintu yang kuat. Menggeliat, dia meregangkan tubuhnya yang baru saja bangun dari tidur. "Iya, tunggu sebentar," ucap Emily, bangkit dari tidurnya, dan duduk sejenak untuk mengumpulkan dirinya yang masih belum sepenuhnya sadar. Emily berjalan menuju pintu kamarnya dengan langkah yang sedikit terhuyung. Saat membuka pintu, di hadapannya berdiri Daniel dengan wajah yang tampak serius. "Ada apa, Pak?" tanya Emily sambil mengucek matanya, masih terlihat mengantuk."Kamu tidur?" tanya Daniel."Iya, Pak. Saya tidak sadar dan tertidur begitu saja," jawab Emily. "Keluarlah, kita cari makan," ucap Daniel, mengajak Emily untuk keluar dari kamarnya."Bisakah tunggu sebentar, Pak?" tanya Emily. "Cepatlah," jawab Daniel. Emily segera bergegas menuju kamar mandi dan mencuci wajahnya kemudian membersihkannya menggunakan handuk bersih. Setelah selesai,
Daniel mulai memijat pertengahan alisnya yang berkerut dengan frustasi. "Sial!" desisnya dengan suara rendah, mengungkapkan kekesalannya. Kejadian itu tidak luput dari perhatian wanita tadi. Ia terus memperhatikan mereka berdua dengan rasa bingung, merasa penasaran dengan hubungan Daniel dan Emily. Tatapan wanita itu penuh tanda tanya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Sementara itu, Emily bergerak dengan cepat menuju lift. Dengan tergesa-gesa, ia menekan tombol nomor lantai yang ingin dituju. Tak lama kemudian, lift tiba di lantai tersebut. Dengan langkah terburu-buru, Emily masuk ke dalam kamar hotelnya, berharap dapat menenangkan diri. "Kenapa aku harus ikut campur dengan kehidupannya? Yang dia katakan memang benar, kami tidak cukup dekat untuk mencampuri urusan pribadi masing-masing," gumam Emily dengan suara yang penuh penyesalan, menyadari kesalahannya karena telah ikut campur dalam masalah Daniel. "Tetap
Saat Daniel hendak berdiri meninggalkan Emily, tangan Emily menahannya dengan lembut."Ethan, mengapa kamu begitu kejam padaku?" Emily menunjukkan ekspresi sedih di wajahnya."Selama dua minggu kamu menghilang tanpa kabar, aku sangat mengkhawatirkanmu," lanjut Emily dengan suara bergetar.Dengan satu tangan, Emily memegang lembut pipi Daniel yang kini berada dalam tubuhnya. "Aku begitu merindukanmu," air mata Emily mulai mengalir membasahi pipinya.Daniel mencoba melepaskan tangan Emily dari wajahnya, namun Emily menolak dengan tegas. "Jangan pergi. Aku tidak sanggup melupakanmu. Mari kita bersama lagi.""Kenapa pipimu terlihat begitu tirus? Tubuhmu juga semakin kurus," ucap Emily sambil menatap penuh perhatian Daniel yang kini berada dalam dirinya. "Apa kamu menderita juga selama kita berpisah?" Emily semakin terbawa emosi karena efek mabuk yang mulai terasa."Maafkan aku, mari kita bersama lagi," ucap Emily dengan suara penuh h
Mereka bergerak dengan cepat, mengajukan pertanyaan kepada setiap penduduk lokal yang mereka temui, berharap menemukan petunjuk tentang keberadaan nenek dan rumah tua yang misterius itu. Namun, setiap kali mereka mendapatkan jawaban, hanya kekecewaan yang mereka rasakan. Tidak ada satupun penduduk lokal yang mengetahui tentang hal tersebut."Kami tidak mengetahui adanya rumah tua di sekitar hutan ini," begitu jawaban yang mereka terima setiap kali mereka menanyakan tentang rumah tua. Atau ada juga yang menjawab, "Tidak ada nenek tua dengan ciri-ciri seperti yang kalian sebutkan yang pernah tinggal di sini."Bahkan, tidak ada satu pun kejadian aneh atau mistis yang pernah terjadi di sana. Emily dan Daniel merasa semakin terjebak dalam labirin misteri yang semakin rumit. Setiap pintu yang mereka ketuk hanya membawa mereka ke jalan buntu, semakin meningkatkan rasa putus asa yang mereka rasakan. Namun, meskipun putus asa, mereka tetap bersatu dan berusaha untuk tidak m
Daniel terlihat bingung dan ragu, tetapi akhirnya dia menjawab, "Kita tidak punya pilihan lain. Kamu tetap harus bertemu dengannya."Emily merasa ketakutan, tetapi dia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan menjawab dengan suara yang lemah. "Sepertinya memang begitu.""Nanti kabari saya apabila kamu sudah bertemu dengan Grandpa," perintah Daniel. "Baik, Pak. Saya akan mengabari Bapak," jawab Emily. "Ayo kita pergi," ajak Daniel."Pergi ke mana, Pak?" tanya Emily dengan raut bingung yang terpancar di wajahnya. "Antarkan saya untuk pulang ke rumahmu," jawab Daniel. Perjalanan dari rumah Daniel menuju ke rumah Emily memakan waktu yang cukup lama. "Apa Bapak tidak gugup akan bertemu Dad?" tanya Emily dengan suara yang penuh keraguan. "Tidak," jawab Daniel singkat. Dia tenang sekali, sementara aku gugup setengah mati mau bertemu dengan kakeknya nanti, batin Emily. "Apa kamu sudah m
Emily tampak terkejut, sementara Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut. Dia tidak menyangka bahwa Fred bisa berpikir sejauh itu. "Apa? Hamil? Bagaimana mungkin, Dad... eh, maksud saya bagaimana mungkin Anda bisa berpikir sejauh itu?" protes Emily yang berada dalam tubuh Daniel. Lagi-lagi dia hampir saja membocorkan identitasnya bahwa dia adalah Emily. "Bisakah kalian sekarang keluar dari kamar saya?" tanya Daniel, suaranya dingin. Dia mulai merasa pusing dan memijat pelipisnya. "Saya ingin beristirahat, lebih baik kalian keluar," imbuh Daniel dengan nada tegas, sambil menggertakkan giginya dengan kesal. Meskipun kesal, Daniel berusaha untuk menjaga sikapnya agar tetap tenang."T-tapi, Em... Apa kamu sudah baik-baik saja? Bagaimana keadaan perutmu? Apa masih terasa mual?" Fred bertanya dengan khawatir, namun Daniel segera mengangkat tangan untuk menghentikannya."Pergilah, saya bisa merawat diri saya sendiri. Letakkan cangkir
Olivia tersenyum penuh arti, "Sepertinya kamu sangat terkejut. Benar, kita dijodohkan dan kedatanganku ke Thailand hari itu adalah untuk memastikan wajah pria yang akan menikah denganku nanti," jelas Olivia dengan suara lembut namun tegas. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku akan menikah dengan wanita ini nantinya? batin Emily dipenuhi dengan kebingungan dan kecemasan. "Hei, kamu melamun?" Olivia melambaikan tangannya, membuyarkan lamunan Emily. "Maaf sebelumnya, tetapi ini terlalu mendadak bagiku. Sepertinya aku tidak bisa menerima perjodohan ini," jelas Emily dengan suara yang tegas. "Tenang saja, kenapa kamu harus panik seperti itu? Kita tidak langsung menikah. Setidaknya kita bisa mengenal satu sama lain dulu, bukan?" ujar Olivia dengan sikap yang tenang, membuat wajah Emily semakin memucat dan terlihat bingung. "Tetapi kenapa kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Emily dengan rasa ingin tahu.
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u