"Daniel? Emily?" suara Alice, meskipun tertahan, mengandung kekecewaan yang tak terselubung. Daniel dan Emily menoleh, pandangan mereka bertemu dengan tatapan Alice yang tajam. Emily merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia langsung menyadari betapa bodohnya dia karena Daniel telah memiliki Alice sebagai kekasihnya. "Apa kalian sudah saling mengenal?" tanya Alice."Maafkan aku, Alice. Sepertinya aku harus pulang dulu," jawab Emily, suaranya bergetar menahan emosi, matanya menatap Alice dengan penuh rasa bersalah sebelum akhirnya meninggalkan mereka yang masih terdiam di tempat. Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut, perkataan Emily tadi sempat membuat pertahanan dirinya terganggu. Sepertinya dia harus berterima kasih kepada Alice karena jika tidak, dia mungkin akan berlari, memeluk, dan mencium Emily. Kerinduannya pada Emily benar-benar terasa menyesakkan. Daniel berbalik, hendak menghindar dari Alice. Namun, tangan Alice dengan cepat meraih lengannya, menahannya. "D
Beberapa asisten rumah tangga itu menuruti perintah Daniel, meninggalkan mereka berdua. Fred yang masih belum bisa meredakan amarah di dadanya, segera menarik kerah Daniel, tangannya mengepal erat, siap untuk melancarkan pukulan lagi. Namun saat matanya bertemu dengan tatapan tenang Daniel dan tanpa perlawanan, amarahnya seolah memudar. Dia melepaskan kerah Daniel, tangannya sedikit menghempaskannya. "Sebaiknya kita membicarakan ini di dalam ruanganku saja," ucap Daniel, berusaha berdiri dan membawa Fred menuju ruang kerjanya. "Aku membesarkan Emily dengan penuh cinta," kata Fred saat berada dalam ruang kerja Daniel, suaranya bergetar menahan emosi, matanya menatap Daniel dengan penuh kesedihan. "Meskipun aku bukanlah ayah kandungnya, Emily tetap putriku. Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti dan melukainya." "Aku sudah mengetahui dari Emily tentang kematian orang tuamu," ucap Fred, suaranya berat, "Aku tidak tahu jika Thomas benar-benar mampu melakukan hal keji
Hujan air mata membasahi pipi Alice. Gelasnya kosong, tergeletak di meja bar, sama kosongnya dengan hatinya. Setiap tetes alkohol yang ditelannya tak mampu meredakan rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Sudah bertahun-tahun ia menyimpan rasa kepada Daniel, namun hanya kehampaan yang ia dapatkan selama ini. "Daniel, kenapa kamu begitu kejam?" bisiknya, suaranya teredam oleh isak tangis. Kepalanya terasa berat, kesadarannya perlahan memudar, hingga akhirnya terkulai lemas di atas meja.Seorang pria yang sedari tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam, akhirnya bangkit dari duduknya. Dia mendekat, wajahnya dihiasi senyum yang penuh kemenangan. "Nona, apakah kau baik-baik saja? Perlukah aku mengantarmu pulang?"Alice tak mendengarnya. Nama Daniel terus terngiang di kepalanya, menyayat hatinya. Pria itu dengan lembut membantu Alice berdiri. "Ayo, kita pulang," ucapnya, suaranya lembut, namun ada sesuatu yang dingin di balik senyumnya. Tatapan matanya menyeramkan, seperti ular yang b
Alice merasa tidak nyaman ketika dia mengingat kembali kejadian semalam. Kenangan akan muntahnya yang mengotori baju Richard begitu jelas, menjadi pengingat nyata dari kegilaan yang dia lakukan dalam keadaan tidak sadar. Namun, yang lebih menakutkan untuknya adalah kenangan akan ciuman itu, bagaimana dia salah mengira Richard sebagai Daniel."Apa yang telah aku lakukan?" bisik Alice sambil menutup seluruh wajah dengan kedua tangannya. Rasa malu yang terasa begitu nyata menekan dadanya dengan berat. Ingatan tentang ciuman itu, tentang bibir mereka yang bertemu, berputar kembali di pikirannya seperti film yang terus berulang. "Aku ingin menghilang saja," desis Alice, suaranya tersendat oleh rasa jijik pada dirinya sendiri. "Pasti dia akan menganggapku sebagai wanita aneh dan penuh gairah. Bisa-bisanya kamu mempermalukan dirimu sendiri, Alice."***Sementara itu, Emily dengan lembut menyisir rambut Grace, jari-jarinya bergerak dengan penuh kasih sayang. Rambut Grace yang lembut terurai,
"Sean..." suara Emily nyaris tak terdengar, matanya tertunduk. "Maaf kalau aku terkesan sangat memaksa," kata Sean, suaranya bercampur dengan sedikit keputuasaan. "Aku akan menunggumu, sampai kamu bisa membuka hatimu untukku. Ini adalah terakhir kalinya aku bertanya. Maafkan aku." Emily menggigit bibirnya, rasa bersalah menggerogoti hatinya. Dia ingin mengatakan pada Sean bahwa dia akan mencoba, memberinya kesempatan. Tapi, Sean telah memotong ucapannya, membuatnya ragu untuk mengutarakan kata-kata yang berputar-putar di pikirannya. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Saat mobil Sean berhenti di depan rumah Emily, dia membantu Emily keluar dari mobil. "Biar aku bantu gendong Grace," tawar Sean, tatapannya tertuju pada wajah Emily. Emily keluar dari mobil dan membuka pintu rumahnya. Setelah itu, dia menerima Grace dari pelukan Sean. Gadis kecil itu tertidur lelap, dadanya naik turun dengan teratur. "Terima kasih untuk hari
"Bagaimana... bagaimana aku bisa ada di sini?" Suara Emily bergetar, matanya melebar karena kebingungan. "Dan bagaimana kamu juga bisa ada di sini? Di mana Grace?" "Kamu pingsan tadi. Aku sudah menyuruh Richard untuk membawa Grace ke sekolah," jawab Daniel. Ingatan tentang kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya di dapur, saat dia hendak menyiapkan sarapan untuk Grace, kembali menyerbu Emily."Grace belum sarapan. Dia pasti akan lapar nanti," ucap Emily. Rasa bersalah merayap ke dalam hatinya. "Tidak perlu khawatir. Aku sudah meminta Richard untuk membawanya sarapan terlebih dahulu sebelum pergi ke sekolah.""Oh, begitu. Terima kasih," ucap Emily, suaranya terdengar sedikit lirih, matanya menatap Daniel dengan penuh rasa terima kasih. Dia merasa sedikit tidak enak hati karena harus merepotkan Daniel.Emily memaksakan dirinya untuk duduk tetapi Daniel menahan tubuhnya sehingga jarak mereka menjadi begitu dekat. Aroma tubuh Daniel yang maskulin tercium oleh Emily, membuatnya mer
"Kenapa kamu kembali lagi? Pergilah," ujar Emily. Wajahnya mengerut sambil memegang perutnya karena gelombang mulas yang melanda. Wajah Daniel berubah lembut penuh dengan kekhawatiran. "Aku tidak mungkin meninggalkanmu seperti ini. Perutmu kenapa?" "Perutku... sedikit mulas," ucap Emily pelan, hampir berbisik. "Sepertinya aku harus ke kamar mandi." Daniel mengulurkan tangannya. "Biar aku bantu." Sentuhan tangannya lembut saat dia membantu Emily berdiri, menopang berat badannya sambil dia berpegangan pada tiang infus. Matanya penuh dengan intensitas kekhawatiran saat dia membimbingnya ke arah kamar mandi. Setelah tiba di kamar mandi, Daniel menuntun Emily ke kloset dan membantunya duduk. Sentuhan tangan Daniel membuat Emily merasa sedikit gugup. "Terima kasih," ucap Emily canggung, matanya menatap Daniel dengan penuh rasa terima kasih. Daniel hanya mengangguk, matanya menatap
"Bisakah kita bicara?" tanya Emily."Kamu belum tidur?" tanya Daniel. "Kamu harus istirahat. Kamu belum benar-benar sembuh.""Grace," ucap Emily, suaranya sedikit bergetar. "Maafkan sikapnya tadi.""Sikap Grace yang mana?" tanya Daniel, suaranya sedikit tertekan. "Yang mengatakan bahwa ayahnya tidak menepati janji?"Daniel terdiam sejenak, matanya tertuju pada wajah Emily. "Memang benar aku sudah meninggalkannya, dia pantas marah dan kecewa.""Bisakah kamu berhenti berpura-pura lagi, Daniel?" tanya Emily, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu semuanya.""Aku tahu kenapa kamu pergi," lanjut Emily, suaranya terengah-engah. "Alasan sebenarnya kamu meninggalkan kami berdua.""Kenapa kamu tidak mau berbagi beban ini denganku?" tanya Emily, suaranya semakin terisak. "Kita bisa menghadapi ini bersama. Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama."Daniel tercengang, matanya melebar menatap Emily."Kamu menjauhiku bukan karena kamu membenciku," bisik Emily, suaranya lemah namun penu