"Bagaimana... bagaimana aku bisa ada di sini?" Suara Emily bergetar, matanya melebar karena kebingungan. "Dan bagaimana kamu juga bisa ada di sini? Di mana Grace?" "Kamu pingsan tadi. Aku sudah menyuruh Richard untuk membawa Grace ke sekolah," jawab Daniel. Ingatan tentang kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya di dapur, saat dia hendak menyiapkan sarapan untuk Grace, kembali menyerbu Emily."Grace belum sarapan. Dia pasti akan lapar nanti," ucap Emily. Rasa bersalah merayap ke dalam hatinya. "Tidak perlu khawatir. Aku sudah meminta Richard untuk membawanya sarapan terlebih dahulu sebelum pergi ke sekolah.""Oh, begitu. Terima kasih," ucap Emily, suaranya terdengar sedikit lirih, matanya menatap Daniel dengan penuh rasa terima kasih. Dia merasa sedikit tidak enak hati karena harus merepotkan Daniel.Emily memaksakan dirinya untuk duduk tetapi Daniel menahan tubuhnya sehingga jarak mereka menjadi begitu dekat. Aroma tubuh Daniel yang maskulin tercium oleh Emily, membuatnya mer
"Kenapa kamu kembali lagi? Pergilah," ujar Emily. Wajahnya mengerut sambil memegang perutnya karena gelombang mulas yang melanda. Wajah Daniel berubah lembut penuh dengan kekhawatiran. "Aku tidak mungkin meninggalkanmu seperti ini. Perutmu kenapa?" "Perutku... sedikit mulas," ucap Emily pelan, hampir berbisik. "Sepertinya aku harus ke kamar mandi." Daniel mengulurkan tangannya. "Biar aku bantu." Sentuhan tangannya lembut saat dia membantu Emily berdiri, menopang berat badannya sambil dia berpegangan pada tiang infus. Matanya penuh dengan intensitas kekhawatiran saat dia membimbingnya ke arah kamar mandi. Setelah tiba di kamar mandi, Daniel menuntun Emily ke kloset dan membantunya duduk. Sentuhan tangan Daniel membuat Emily merasa sedikit gugup. "Terima kasih," ucap Emily canggung, matanya menatap Daniel dengan penuh rasa terima kasih. Daniel hanya mengangguk, matanya menatap
"Bisakah kita bicara?" tanya Emily."Kamu belum tidur?" tanya Daniel. "Kamu harus istirahat. Kamu belum benar-benar sembuh.""Grace," ucap Emily, suaranya sedikit bergetar. "Maafkan sikapnya tadi.""Sikap Grace yang mana?" tanya Daniel, suaranya sedikit tertekan. "Yang mengatakan bahwa ayahnya tidak menepati janji?"Daniel terdiam sejenak, matanya tertuju pada wajah Emily. "Memang benar aku sudah meninggalkannya, dia pantas marah dan kecewa.""Bisakah kamu berhenti berpura-pura lagi, Daniel?" tanya Emily, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu semuanya.""Aku tahu kenapa kamu pergi," lanjut Emily, suaranya terengah-engah. "Alasan sebenarnya kamu meninggalkan kami berdua.""Kenapa kamu tidak mau berbagi beban ini denganku?" tanya Emily, suaranya semakin terisak. "Kita bisa menghadapi ini bersama. Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama."Daniel tercengang, matanya melebar menatap Emily."Kamu menjauhiku bukan karena kamu membenciku," bisik Emily, suaranya lemah namun penu
"Baiklah. Aku ingin kamu terus memantau setiap pergerakannya," ucap Daniel, suaranya rendah dan mendesak sebelum menutup sambungan telepon.Emily segera menutup matanya dengan cepat setelah Daniel menyelesaikan pembicaraannya di telepon. Dia takut Daniel menyadari bahwa dia masih terjaga. Daniel, dengan tatapannya yang lembut, kembali menatap wajah Emily yang tertidur. Langkah kakinya mendekat, perlahan tapi pasti. Tangannya terangkat, hendak membelai lembut rambut Emily, tetapi dia mengurungkan niatnya. "Maafkan aku, Emily," bisik Daniel. "Aku telah menyakitimu dan Grace. Aku berharap kalian berdua bisa bahagia tanpaku. Aku ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya, agar tidak lagi membahayakan keselamatanmu dan Grace."Mendengar perkataan Daniel, Emily menahan napas. Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi dia tetap memejamkan mata, tak ingin Daniel menyadari bahwa dia mendengar semuanya. ***Sementara itu, pintu kamar Sean terbanting keras. Sean menggeram, tangannya mengepa
Emily mengerutkan kening, matanya mendapati seorang pria berpakaian putih berdiri di samping ranjangnya. Dia mengenakan seragam dengan tanda pengenal."Maaf, Nona Emily," suara pria itu terdengar lembut. "Saya akan mengganti infus Anda." Emily mengangguk lemah, pikirannya melayang pada Daniel yang tidak ada dalam ruangannya. Sementara pria itu mengganti infus dengan cekatan. Namun, saat cairan baru mengalir, kepala Emily terasa berputar. Pandangannya kabur, dan dunia di sekitarnya mulai berputar."Ada apa Nona Emily?" tanya pria itu dengan raut wajah panik. Emily berusaha berbicara, tapi hanya suara samar yang keluar dari bibirnya. Emily berusaha membuka mata, namun semuanya gelap. Dia merasa tubuhnya semakin lemas, dan kesadarannya perlahan menghilang. Senyum pria berpakaian putih itu mengembang, matanya berbinar. Dia menatap Emily yang tertidur lelap. ***Sementara itu, Daniel duduk tegak di meja konferensi, berhadapan dengan seseorang dari perusahaan teknologi yang telah lama d
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub