Home / Fantasi / Selubung Memori / 544. TAMENG DARAH #4

Share

544. TAMENG DARAH #4

last update Last Updated: 2024-09-05 14:00:47
Paginya, aku terbangun lebih dulu dari Lavi. Matahari baru terbit. Dan aku membawa ponsel baruku. Reila sudah mengajarkan cara dasar mengoperasikannya. Jadi, selagi Lavi tidur, aku memotret dirinya dari segala arah. Sungguh, kualitasnya jernih sekali—baik paras Lavi atau kameranya.

Sembari menunggunya bangun, aku merapikan surat-surat sembari sedikit melanjutkan membaca kertas yang belum kubaca.

Menariknya, aku beberapa kali menemukan surat permintaan misi. Bedanya dengan surat kaleng, surat ini punya nama pengirim.

Dan kurasa aku menemukan surat yang ingin dicari Haswin.

Aku membaca bagian atasnya.

PERMINTAAN MISI. CALVIN. PATROLI TITIK 14.

Lalu membaca bagian bawahnya.

PERMINTAAN PARTNER MISI: LAVI DAN RAVIN.

Dan ternyata tidak hanya itu. Aku juga menemukan banyak permintaan misi darinya—bahkan mulai dari titik patroli pertama. Menariknya lagi: permintaannya untuk partner misi selalu melibatkan Lavi.

Aku tidak yakin pada rangkaian misi berikutnya, tetapi melihat kondisi Lavi yang dis
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Selubung Memori   545. TAMENG DARAH #5

    Begitu kusadari ternyata aku sudah terlelap lagi.Ketika kesadaranku terjaga, aku langsung tersentak bangun. Kudapati diriku masih di Rumah Pohon, di tumpukan bantal, hari sudah semakin siang, tak ada Lavi, tetapi ketika aku menoleh ke sampingku—ada Reila.Dia membaca buku, begitu santai.“Reila,” ucapku.“Hai,” balasnya. Dan dia benar-benar adikku karena mengerti semua yang kuperlukan saat ini. Dia menutup bukunya, mengambil segelas air di meja terdekat, lalu memberikannya padaku. “Jadi, saat ini jam sebelas siang di hari yang sama saat ada kejadian apa pun itu yang harus Kakak jelaskan padaku. Lalu kenapa aku bisa di sini—tentunya karena Lavi memanggilku, dan mari berasumsi Lavi tidak pernah memberitahu apa-apa kenapa Kakak bisa seperti ini. Lavi sedang banyak perlu, ada banyak yang terjadi sejak pagi dan aku tidak punya pekerjaan apa-apa selain baca buku, jadi aku di sini menemani Kakak.” Aku meneguk minum. “Belakangan aku mulai khawatir tiap dipanggil. Ada saja yang berhubungan den

    Last Updated : 2024-09-07
  • Selubung Memori   546. TAMENG DARAH #6

    Cuacanya mulai mendung. Siang itu, awan gelap menguasai langit.Reila menolak ikut ke klinik. Aku mengerang mengapa dia tak pernah mau ikut denganku. “Kau malu, ya, kelihatan seperti adikku?” Dia membalas argumen soal dirinya yang tidak suka terlihat seperti orang paling aktif pada masalah—lalu kubalas, “Yang punya masalah ini kakakmu,” dan dia membalas, “Masalah mana lagi? Yang ini tidak ada yang tahu. Cuma aku dan Lavi.” Dia hampir memenangkan argumen—dan dia memang sudah menang argumen, tetapi aku menang kekuatan. Aku menariknya saat dia menjerit-jerit. “Curang! Tidak adil! Curang!”Klinik hanya berjarak beberapa barisan pohon dari markas tim penyerang. Tidak jauh. Reila sudah diam saat kami berjalan ke klinik. Dan aku merangkulnya. Kalau aku hanya memegang tangannya, dia bisa kabur, jadi aku merangkul—yang hampir seperti mencekik lehernya dengan siku, yang membuat Tara tidak mampu berkata-kata melihat kami memasuki klinik.“Konsultasi keluarga?” tanyanya.“Katanya Dalton kembali,”

    Last Updated : 2024-09-09
  • Selubung Memori   547. TAMENG DARAH #7

    Dalton ingin tidur, tetapi aku tidak ingin membiarkannya tidur semudah itu, jadi aku mengganggunya dengan menceritakan pesta bakar-bakar tanpa menyebut kalau itu ulang tahunku—yang kurang lebih membuatnya jengkel. Dia bilang kalau sekarang akhirnya mengerti bagaimana perasaan Yasha saat tidak bisa merasakan kemeriahan pesta olahraga pertama setelah bertahun-tahun.Reila masih di tempat dan kurang lebih usahaku mengajaknya ikut terlibat di penelitian blasteran gagal setelah pintu ruangan Dalton terbuka.Reila menoleh. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang masuk. Saat aku sedang memangku kepala dan menghabiskan sisa roti Dalton, tangan seseorang meluncur melingkari leherku, dengan cepat dagu dan sisi pipinya ikut menyandar.“Hai, Dalton,” sapanya.“Hai lagi, Kapten. Jangan pacaran di depanku.”“Bateraiku habis,” gumam Lavi. “Dan aku mau jemput dia.”“Tidak istirahat?” tanya Reila.“Sekarang sedang masa penting. Sayang, masuklah.”“Astaga, berhenti saling rayu di depanku,” kata Da

    Last Updated : 2024-09-11
  • Selubung Memori   548. TAMENG DARAH #8

    Dalam sekejap, suasananya langsung tajam. Semuanya serius. Tak ada lagi momen yang bisa dijadikan bercanda. Isha yang biasanya oke dengan lelucon kini terdiam sepenuhnya, mendengar, dan memutar otak pada setiap detail yang terjadi. Asva berdiri di sampingnya seperti asisten. Dan Lavi, kurang lebih tidak lagi punya aura yang cukup baik untuk mengobrol ringan. Dia meletakkan seluruh perhatian ke obrolan dan berpikir dengan putaran otak ribuan kali lebih cepat. Profesor Merla juga serupa. Dia sesekali menyahut penjelasan Dokter Gelda untukku.“Jadi, penelitian hari ini dimulai berdasarkan asumsi Profesor Merla,” ujar Isha. “Ada senjata yang hanya mampu menyerang monster—yang entah bagaimana tidak bisa membunuh manusia, tapi bisa membunuh manusia setengah monster.”“Kami mencoba menghancurkan beberapa inti monster dengan senjata roh milik Lavi dan melihat reaksinya,” kata Dokter Gelda. “Kalau senjata roh memang tidak membunuh

    Last Updated : 2024-09-13
  • Selubung Memori   549. TAMENG DARAH #9

    Satu-satunya petunjuk waktu di ruang bedah hanya jam dinding. Di dalam sini tidak terdengar suara hujan, suara manusia dari luar, atau suara ribut apa pun. Begitu sunyi, tenang, dan bisa menghanyutkan—sekaligus memusatkan pikiran.Blasteran itu laki-laki—kusadari aku jarang melihat blasteran perempuan. Kuharap ini sungguhan—mungkin kurang ajar berharap hal seperti ini, tetapi aku ingin percaya kalau ada kualifikasi khusus yang harus dipilih untuk menjadi inang sel monster. Kuharap inang yang berjenis kelamin perempuan akan sulit menjadi inang blasteran. Ini bukan hanya karena aku memikirkan Lavi, Reila atau yang lain, tetapi karena aku juga memikirkan Ibu. Kuharap itu tak terjadi. Sejauh ini blasteran yang kutemukan selalu laki-laki. Kuharap itu memang ada hubungannya.Aku mungkin tidak terlibat langsung di penelitian ini, tetapi sejujurnya aku selalu menunggu kabar baik. Kuharap tim ini menemukan cara untuk mengeluarkan sel monster dari raga manusia.

    Last Updated : 2024-09-15
  • Selubung Memori   550. TAMENG DARAH #10

    Percobaan itu jelas perkembangan bagus, tetapi Dokter Gelda tidak terlihat senang. Isha juga. Mereka justru termenung.Lavi hanya diam.Profesor Merla menatap ruangan penuh maksud.Dan aku tidak tahan lagi dengan keheningan ini. Aku semakin menggebu-gebu. “Kalau begitu, kita bisa kembangkan vaksin sekarang juga, kan? Sudah jelas buktinya. Darahku bisa menghentikan sel monster. Ambil darahku.”“Tidak semudah itu,” kata Dokter Gelda.Aku tidak suka dengan suara dan sorot Dokter Gelda—seolah-olah dia putus asa sebelum mencoba. Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu.“Kenapa? Karena komposisi?”“Salah satunya.”“Lalu apa lagi? Kenapa?”Tidak ada yang menjawab. Isha sudah menatapku penuh peringatan, tetapi aku tak tahan lagi. “Karena Lavi melarang?” Aku menoleh ke Lavi. “Lavi—”Plak!Ayunan tangan Lavi ke

    Last Updated : 2024-09-17
  • Selubung Memori   551. TAMENG DARAH #11

    Penelitian dibubarkan, Lavi langsung melesat keluar tanpa suara.Aku masih terdiam membeku. Isha memerhatikanku saat disibukkan beres-beres. Profesor Merla membawa jasad kembali ke ruangannya dan Dokter Gelda sibuk membersihkan alat-alat. Di tengah proses itu, Asva pamit undur diri.“Kalau begitu, biar kusampaikan hasil hari ini pada Jesse,” katanya.“Tolong sampaikan ke Haswin juga,” pinta Dokter Gelda.Aku tidak ingin terdiam membeku seperti orang idiot, jadi kuputuskan ikut membantu Isha membereskan barang. Aku menghampirinya. Dia merapikan meja penuh beragam sampah, membuangnya di tempat sampah khusus. Dan kupikir aku idiot. Aku tak tahu mana yang penting atau tidak. Pada akhirnya, aku diam lagi.“Kau tahu, Forlan,” ujar Isha. “Lavi selalu menolak melibatkanmu.”Aku tahu cepat atau lambat Isha akan menyinggung ini, tetapi kukira dia tak akan mengatakan itu. “Kau sekarang tahu alasanny

    Last Updated : 2024-09-19
  • Selubung Memori   552. TAMENG DARAH #12

    Sisa hari itu kuhabiskan di mercusuar.Mercusuar ada di bagian belakang Padang Anushka dekat ladang bunga—yang belakangan semakin sering dikunjungi orang-orang setelah gerha rehabilitasi selesai dibuat. Pintu masuknya ada dua: melalui ladang bunga atau barisan pohon di jalur menuju istal. Mercusuar ada di balik pepohonan, terlihat sangat jelas dari gerha rehabilitasi karena bangunan itu bukan menara besi layaknya menara sinyal yang berdiri di dekatnya, tetapi sungguhan mercusuar—menara batu tinggi dengan lampu sorot raksasa di atasnya. Sewaktu-waktu lampu itu akan menyala menyoroti danau saat malam seolah akan ada seseorang yang berniat menyelinap masuk dari danau Pulau Pendiri. Mercusuar sebenarnya bisa populer di kalangan penghuni—terutama ketika bagian bawahnya merupakan taman khusus yang dipenuhi bunga dan pancuran air, tetapi masalahnya: pertama, mercusuar jauh dari pusat penghuni Padang Anushka, dan kedua, menaiki mercusuar sampai lantai atas itu sudah

    Last Updated : 2024-09-21

Latest chapter

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status