Setelah selesai membuka semua amplop, Lavi juga menyarankan kami agar memisahkan surat-surat kecil dengan surat beramplop. Jadi, kutarik lagi ucapanku. Keberadaan Lavi memang menjadi kompas bagi kami—meski bukan kompas moral yang kuharapkan. Dia membuat hal iseng ini menjadi terarah.
Lalu Yasha memberi sesuatu ke Lavi. “Sebaiknya kau baca ini lebih dulu.”
Lavi mengambilnya. Aku duduk di sebelahnya—Lavi sengaja sangat dekat denganku—dan dia sadar aku melirik, jadi dia menunjukkannya padaku juga. Aku sedikit membaca, kusadari itu surat tentang pemilik kemampuan roh.
Selesai membaca, Lavi meletakkan itu, lalu mengangkat alis. “Kurasa wajar ada yang berpikir begitu. Apalagi kalau mereka tahu apa saja yang bisa dilakukan Forlan, mustahil tidak ada yang curiga. Dulu—saat aku baru tahu dia bisa mengerti perasaan orang di dekatnya saja, aku sudah curiga. Aku terus bertanya-tanya, jenis kemampuan apa yang mengizinkan pemiliknya m
Paginya, aku terbangun lebih dulu dari Lavi. Matahari baru terbit. Dan aku membawa ponsel baruku. Reila sudah mengajarkan cara dasar mengoperasikannya. Jadi, selagi Lavi tidur, aku memotret dirinya dari segala arah. Sungguh, kualitasnya jernih sekali—baik paras Lavi atau kameranya.Sembari menunggunya bangun, aku merapikan surat-surat sembari sedikit melanjutkan membaca kertas yang belum kubaca.Menariknya, aku beberapa kali menemukan surat permintaan misi. Bedanya dengan surat kaleng, surat ini punya nama pengirim.Dan kurasa aku menemukan surat yang ingin dicari Haswin.Aku membaca bagian atasnya.PERMINTAAN MISI. CALVIN. PATROLI TITIK 14.Lalu membaca bagian bawahnya.PERMINTAAN PARTNER MISI: LAVI DAN RAVIN.Dan ternyata tidak hanya itu. Aku juga menemukan banyak permintaan misi darinya—bahkan mulai dari titik patroli pertama. Menariknya lagi: permintaannya untuk partner misi selalu melibatkan Lavi.Aku tidak yakin pada rangkaian misi berikutnya, tetapi melihat kondisi Lavi yang dis
Begitu kusadari ternyata aku sudah terlelap lagi.Ketika kesadaranku terjaga, aku langsung tersentak bangun. Kudapati diriku masih di Rumah Pohon, di tumpukan bantal, hari sudah semakin siang, tak ada Lavi, tetapi ketika aku menoleh ke sampingku—ada Reila.Dia membaca buku, begitu santai.“Reila,” ucapku.“Hai,” balasnya. Dan dia benar-benar adikku karena mengerti semua yang kuperlukan saat ini. Dia menutup bukunya, mengambil segelas air di meja terdekat, lalu memberikannya padaku. “Jadi, saat ini jam sebelas siang di hari yang sama saat ada kejadian apa pun itu yang harus Kakak jelaskan padaku. Lalu kenapa aku bisa di sini—tentunya karena Lavi memanggilku, dan mari berasumsi Lavi tidak pernah memberitahu apa-apa kenapa Kakak bisa seperti ini. Lavi sedang banyak perlu, ada banyak yang terjadi sejak pagi dan aku tidak punya pekerjaan apa-apa selain baca buku, jadi aku di sini menemani Kakak.” Aku meneguk minum. “Belakangan aku mulai khawatir tiap dipanggil. Ada saja yang berhubungan den
Cuacanya mulai mendung. Siang itu, awan gelap menguasai langit.Reila menolak ikut ke klinik. Aku mengerang mengapa dia tak pernah mau ikut denganku. “Kau malu, ya, kelihatan seperti adikku?” Dia membalas argumen soal dirinya yang tidak suka terlihat seperti orang paling aktif pada masalah—lalu kubalas, “Yang punya masalah ini kakakmu,” dan dia membalas, “Masalah mana lagi? Yang ini tidak ada yang tahu. Cuma aku dan Lavi.” Dia hampir memenangkan argumen—dan dia memang sudah menang argumen, tetapi aku menang kekuatan. Aku menariknya saat dia menjerit-jerit. “Curang! Tidak adil! Curang!”Klinik hanya berjarak beberapa barisan pohon dari markas tim penyerang. Tidak jauh. Reila sudah diam saat kami berjalan ke klinik. Dan aku merangkulnya. Kalau aku hanya memegang tangannya, dia bisa kabur, jadi aku merangkul—yang hampir seperti mencekik lehernya dengan siku, yang membuat Tara tidak mampu berkata-kata melihat kami memasuki klinik.“Konsultasi keluarga?” tanyanya.“Katanya Dalton kembali,”
Dalton ingin tidur, tetapi aku tidak ingin membiarkannya tidur semudah itu, jadi aku mengganggunya dengan menceritakan pesta bakar-bakar tanpa menyebut kalau itu ulang tahunku—yang kurang lebih membuatnya jengkel. Dia bilang kalau sekarang akhirnya mengerti bagaimana perasaan Yasha saat tidak bisa merasakan kemeriahan pesta olahraga pertama setelah bertahun-tahun.Reila masih di tempat dan kurang lebih usahaku mengajaknya ikut terlibat di penelitian blasteran gagal setelah pintu ruangan Dalton terbuka.Reila menoleh. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang masuk. Saat aku sedang memangku kepala dan menghabiskan sisa roti Dalton, tangan seseorang meluncur melingkari leherku, dengan cepat dagu dan sisi pipinya ikut menyandar.“Hai, Dalton,” sapanya.“Hai lagi, Kapten. Jangan pacaran di depanku.”“Bateraiku habis,” gumam Lavi. “Dan aku mau jemput dia.”“Tidak istirahat?” tanya Reila.“Sekarang sedang masa penting. Sayang, masuklah.”“Astaga, berhenti saling rayu di depanku,” kata Da
Dalam sekejap, suasananya langsung tajam. Semuanya serius. Tak ada lagi momen yang bisa dijadikan bercanda. Isha yang biasanya oke dengan lelucon kini terdiam sepenuhnya, mendengar, dan memutar otak pada setiap detail yang terjadi. Asva berdiri di sampingnya seperti asisten. Dan Lavi, kurang lebih tidak lagi punya aura yang cukup baik untuk mengobrol ringan. Dia meletakkan seluruh perhatian ke obrolan dan berpikir dengan putaran otak ribuan kali lebih cepat. Profesor Merla juga serupa. Dia sesekali menyahut penjelasan Dokter Gelda untukku.“Jadi, penelitian hari ini dimulai berdasarkan asumsi Profesor Merla,” ujar Isha. “Ada senjata yang hanya mampu menyerang monster—yang entah bagaimana tidak bisa membunuh manusia, tapi bisa membunuh manusia setengah monster.”“Kami mencoba menghancurkan beberapa inti monster dengan senjata roh milik Lavi dan melihat reaksinya,” kata Dokter Gelda. “Kalau senjata roh memang tidak membunuh
Satu-satunya petunjuk waktu di ruang bedah hanya jam dinding. Di dalam sini tidak terdengar suara hujan, suara manusia dari luar, atau suara ribut apa pun. Begitu sunyi, tenang, dan bisa menghanyutkan—sekaligus memusatkan pikiran.Blasteran itu laki-laki—kusadari aku jarang melihat blasteran perempuan. Kuharap ini sungguhan—mungkin kurang ajar berharap hal seperti ini, tetapi aku ingin percaya kalau ada kualifikasi khusus yang harus dipilih untuk menjadi inang sel monster. Kuharap inang yang berjenis kelamin perempuan akan sulit menjadi inang blasteran. Ini bukan hanya karena aku memikirkan Lavi, Reila atau yang lain, tetapi karena aku juga memikirkan Ibu. Kuharap itu tak terjadi. Sejauh ini blasteran yang kutemukan selalu laki-laki. Kuharap itu memang ada hubungannya.Aku mungkin tidak terlibat langsung di penelitian ini, tetapi sejujurnya aku selalu menunggu kabar baik. Kuharap tim ini menemukan cara untuk mengeluarkan sel monster dari raga manusia.
Percobaan itu jelas perkembangan bagus, tetapi Dokter Gelda tidak terlihat senang. Isha juga. Mereka justru termenung.Lavi hanya diam.Profesor Merla menatap ruangan penuh maksud.Dan aku tidak tahan lagi dengan keheningan ini. Aku semakin menggebu-gebu. “Kalau begitu, kita bisa kembangkan vaksin sekarang juga, kan? Sudah jelas buktinya. Darahku bisa menghentikan sel monster. Ambil darahku.”“Tidak semudah itu,” kata Dokter Gelda.Aku tidak suka dengan suara dan sorot Dokter Gelda—seolah-olah dia putus asa sebelum mencoba. Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu.“Kenapa? Karena komposisi?”“Salah satunya.”“Lalu apa lagi? Kenapa?”Tidak ada yang menjawab. Isha sudah menatapku penuh peringatan, tetapi aku tak tahan lagi. “Karena Lavi melarang?” Aku menoleh ke Lavi. “Lavi—”Plak!Ayunan tangan Lavi ke
Penelitian dibubarkan, Lavi langsung melesat keluar tanpa suara.Aku masih terdiam membeku. Isha memerhatikanku saat disibukkan beres-beres. Profesor Merla membawa jasad kembali ke ruangannya dan Dokter Gelda sibuk membersihkan alat-alat. Di tengah proses itu, Asva pamit undur diri.“Kalau begitu, biar kusampaikan hasil hari ini pada Jesse,” katanya.“Tolong sampaikan ke Haswin juga,” pinta Dokter Gelda.Aku tidak ingin terdiam membeku seperti orang idiot, jadi kuputuskan ikut membantu Isha membereskan barang. Aku menghampirinya. Dia merapikan meja penuh beragam sampah, membuangnya di tempat sampah khusus. Dan kupikir aku idiot. Aku tak tahu mana yang penting atau tidak. Pada akhirnya, aku diam lagi.“Kau tahu, Forlan,” ujar Isha. “Lavi selalu menolak melibatkanmu.”Aku tahu cepat atau lambat Isha akan menyinggung ini, tetapi kukira dia tak akan mengatakan itu. “Kau sekarang tahu alasanny