Dalton ingin tidur, tetapi aku tidak ingin membiarkannya tidur semudah itu, jadi aku mengganggunya dengan menceritakan pesta bakar-bakar tanpa menyebut kalau itu ulang tahunku—yang kurang lebih membuatnya jengkel. Dia bilang kalau sekarang akhirnya mengerti bagaimana perasaan Yasha saat tidak bisa merasakan kemeriahan pesta olahraga pertama setelah bertahun-tahun.Reila masih di tempat dan kurang lebih usahaku mengajaknya ikut terlibat di penelitian blasteran gagal setelah pintu ruangan Dalton terbuka.Reila menoleh. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang masuk. Saat aku sedang memangku kepala dan menghabiskan sisa roti Dalton, tangan seseorang meluncur melingkari leherku, dengan cepat dagu dan sisi pipinya ikut menyandar.“Hai, Dalton,” sapanya.“Hai lagi, Kapten. Jangan pacaran di depanku.”“Bateraiku habis,” gumam Lavi. “Dan aku mau jemput dia.”“Tidak istirahat?” tanya Reila.“Sekarang sedang masa penting. Sayang, masuklah.”“Astaga, berhenti saling rayu di depanku,” kata Da
Dalam sekejap, suasananya langsung tajam. Semuanya serius. Tak ada lagi momen yang bisa dijadikan bercanda. Isha yang biasanya oke dengan lelucon kini terdiam sepenuhnya, mendengar, dan memutar otak pada setiap detail yang terjadi. Asva berdiri di sampingnya seperti asisten. Dan Lavi, kurang lebih tidak lagi punya aura yang cukup baik untuk mengobrol ringan. Dia meletakkan seluruh perhatian ke obrolan dan berpikir dengan putaran otak ribuan kali lebih cepat. Profesor Merla juga serupa. Dia sesekali menyahut penjelasan Dokter Gelda untukku.“Jadi, penelitian hari ini dimulai berdasarkan asumsi Profesor Merla,” ujar Isha. “Ada senjata yang hanya mampu menyerang monster—yang entah bagaimana tidak bisa membunuh manusia, tapi bisa membunuh manusia setengah monster.”“Kami mencoba menghancurkan beberapa inti monster dengan senjata roh milik Lavi dan melihat reaksinya,” kata Dokter Gelda. “Kalau senjata roh memang tidak membunuh
Satu-satunya petunjuk waktu di ruang bedah hanya jam dinding. Di dalam sini tidak terdengar suara hujan, suara manusia dari luar, atau suara ribut apa pun. Begitu sunyi, tenang, dan bisa menghanyutkan—sekaligus memusatkan pikiran.Blasteran itu laki-laki—kusadari aku jarang melihat blasteran perempuan. Kuharap ini sungguhan—mungkin kurang ajar berharap hal seperti ini, tetapi aku ingin percaya kalau ada kualifikasi khusus yang harus dipilih untuk menjadi inang sel monster. Kuharap inang yang berjenis kelamin perempuan akan sulit menjadi inang blasteran. Ini bukan hanya karena aku memikirkan Lavi, Reila atau yang lain, tetapi karena aku juga memikirkan Ibu. Kuharap itu tak terjadi. Sejauh ini blasteran yang kutemukan selalu laki-laki. Kuharap itu memang ada hubungannya.Aku mungkin tidak terlibat langsung di penelitian ini, tetapi sejujurnya aku selalu menunggu kabar baik. Kuharap tim ini menemukan cara untuk mengeluarkan sel monster dari raga manusia.
Percobaan itu jelas perkembangan bagus, tetapi Dokter Gelda tidak terlihat senang. Isha juga. Mereka justru termenung.Lavi hanya diam.Profesor Merla menatap ruangan penuh maksud.Dan aku tidak tahan lagi dengan keheningan ini. Aku semakin menggebu-gebu. “Kalau begitu, kita bisa kembangkan vaksin sekarang juga, kan? Sudah jelas buktinya. Darahku bisa menghentikan sel monster. Ambil darahku.”“Tidak semudah itu,” kata Dokter Gelda.Aku tidak suka dengan suara dan sorot Dokter Gelda—seolah-olah dia putus asa sebelum mencoba. Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu.“Kenapa? Karena komposisi?”“Salah satunya.”“Lalu apa lagi? Kenapa?”Tidak ada yang menjawab. Isha sudah menatapku penuh peringatan, tetapi aku tak tahan lagi. “Karena Lavi melarang?” Aku menoleh ke Lavi. “Lavi—”Plak!Ayunan tangan Lavi ke
Penelitian dibubarkan, Lavi langsung melesat keluar tanpa suara.Aku masih terdiam membeku. Isha memerhatikanku saat disibukkan beres-beres. Profesor Merla membawa jasad kembali ke ruangannya dan Dokter Gelda sibuk membersihkan alat-alat. Di tengah proses itu, Asva pamit undur diri.“Kalau begitu, biar kusampaikan hasil hari ini pada Jesse,” katanya.“Tolong sampaikan ke Haswin juga,” pinta Dokter Gelda.Aku tidak ingin terdiam membeku seperti orang idiot, jadi kuputuskan ikut membantu Isha membereskan barang. Aku menghampirinya. Dia merapikan meja penuh beragam sampah, membuangnya di tempat sampah khusus. Dan kupikir aku idiot. Aku tak tahu mana yang penting atau tidak. Pada akhirnya, aku diam lagi.“Kau tahu, Forlan,” ujar Isha. “Lavi selalu menolak melibatkanmu.”Aku tahu cepat atau lambat Isha akan menyinggung ini, tetapi kukira dia tak akan mengatakan itu. “Kau sekarang tahu alasanny
Sisa hari itu kuhabiskan di mercusuar.Mercusuar ada di bagian belakang Padang Anushka dekat ladang bunga—yang belakangan semakin sering dikunjungi orang-orang setelah gerha rehabilitasi selesai dibuat. Pintu masuknya ada dua: melalui ladang bunga atau barisan pohon di jalur menuju istal. Mercusuar ada di balik pepohonan, terlihat sangat jelas dari gerha rehabilitasi karena bangunan itu bukan menara besi layaknya menara sinyal yang berdiri di dekatnya, tetapi sungguhan mercusuar—menara batu tinggi dengan lampu sorot raksasa di atasnya. Sewaktu-waktu lampu itu akan menyala menyoroti danau saat malam seolah akan ada seseorang yang berniat menyelinap masuk dari danau Pulau Pendiri. Mercusuar sebenarnya bisa populer di kalangan penghuni—terutama ketika bagian bawahnya merupakan taman khusus yang dipenuhi bunga dan pancuran air, tetapi masalahnya: pertama, mercusuar jauh dari pusat penghuni Padang Anushka, dan kedua, menaiki mercusuar sampai lantai atas itu sudah
Empat hari kemudian, akhirnya Jenderal dan Kara kembali.Saat itu terjadi aku sedang bersama Dalton dan Elton—kami sepakat mulai berlatih bersama sejak mereka kewalahan melawan monster yang bisa terbang, dan dengan otak cemerlang Dalton, dia punya gagasan: “Kau bisa terbang, jadi mungkin kau bisa menjadi lawan yang cocok.” Maka terjadilah. Tiga hari terakhir, aku tanpa henti meladeni mereka yang terus menyerangku di udara.Tentunya kami berlatih di hutan belakang. Mustahil kami berlatih di depan kandidat baru dan beberapa darah campuran ketika latihan kami sudah dipastikan memakai kemampuan—meskipun, iya, ketika Lavi mendengar gagasan latihan ini, dia menyarankan kami dengan mata berbinar-binar. “Latihan di gelanggang saja! Aku dukung! Biar aku yang urus perizinannya!” Untuk Elton, itu tawaran menarik. Namun, untukku dan Dalton, kami mengerutkan kening. Lavi dan Elton ingin kami latihan di gelanggang. Aku dan Dalton, tidak. Dua lawan
Rasanya seperti sudah selamanya aku tidak bersama Lavi di siang bolong.Kami di Rumah Pohon, membicarakan titik misi, mempersiapkan semuanya karena alam liar rasanya lebih membara dibanding sebelumnya setelah tim Jenderal dan tim Dalton bertemu pertempuran. Aku menjelaskan semua yang terjadi ketika aku bertemu pertempuran bersama Profesor Merla dan Reila—bagaimana kami bisa memperkirakan posisi musuh sampai ke persiapan dan penyergapan. Sungguh, Lavi mendalami penjelasan dan mencetuskan ide yang sangat ingin kudengar darinya: “Oke, deteksi kuserahkan padamu. Kita takkan terbang di misi ini.”Lalu kami memperkirakan lama perjalanan, titik di mana kami setidaknya bisa istirahat—semua disusun begitu sempurna sampai aku merasa misi ini tak akan punya celah kegagalan seperti penyerangan pada kami. Jenderal mencetuskan tim berikutnya yang berangkat hanya dua. Pertama, tim kami—yang hanya terdiri dari dua orang. Kedua, tim Jenderal dan Nadir&mdas
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan