Kuakui ada beberapa bagian yang kumengerti dari beberapa citra singkat—cukup jelas terlihat dari respons Ibu. Aku tidak tahu ini karena aku keturunan Ibu atau apa, tetapi tampaknya firasat tajam Ibu mengalir turun padaku. Kami mengerti tentang Bibi. Ibu sejak awal tidak pernah setuju Bibi mendekati Jenderal.
Citra terus bergulir ke hari-hari berikutnya.
Kabar pernikahan sudah tersebar. Semua penghuni menyambutnya dengan suka cita. Jenderal menjadi bulan-bulanan tim kombat—terutama Esgar. Sekarang Jenderal yang menjadi bahan kejailan tim kombat. Mereka berpesta merayakan itu di markas besar tim kombat. Tentu saja Bibi ikut. Dia tokoh utamanya dalam pesta itu. Namun, Ibu tidak ikut. Bibi sudah meminta Ibu ikut, tetapi Ibu menolak. Entah bagaimana Ibu merasa ditolak di markas tim kombat. Jadi, dengan berat hati, meski Bibi sebenarnya tidak terlalu ingin ikut dalam pesta—belakangan Bibi hanya ingin bersama Ibu—Bibi ikut dan tertawa bersama tim komba
Kini terjawab sudah mengapa kondisi Bibi terus menurun.Ibu menolak bicara pada semua orang. Kara, Ayah, atau siapa pun. Banyak yang mencoba mengajaknya bicara setelah dia menjadi satu-satunya orang yang tak ada di padang rumput ketika pengumuman itu, tetapi Ibu selalu menghindar cukup baik, terutama karena ketika tersenyum, Ibu bisa menghipnotis siapa pun. Ibu hanya bicara pada Bibi, dan itu untuk memberinya selamat. Tidak ada maksud lain. Tidak ada kata-kata lain, murni hanya itu. Ibu tersenyum, mengharapkan yang terbaik bagi dia dan calon anaknya, dan Bibi tersenyum membalasnya.“Kau tetap menemaniku, kan?” tanya Bibi.“Iya.” Ibu tidak punya jawaban bagus selain itu.Sejak saat itu, Bibi tak lagi tinggal di gerha Ibu. Bibi resmi tinggal di gubuk.Pada akhirnya, hari pernikahan tiba.Hari yang dinanti-nanti meski mereka dibombardir peperangan. Ibu hadir—tentu saja. Dia menepati janji dengan melihat Bibi yang s
Waktu berlalu cepat. Generasi penerus semakin berdatangan.Suatu hari, tiba-tiba putra Bibi mengeluarkan bakatnya. Dia bisa membuat kemampuan dalam jangkauannya menghilang. Dia melakukan itu tepat setelah Bibi berlatih dengan Jenderal. Bibi menghilangkan kemampuan dalam jangkauan luas, membuat Jenderal tidak berdaya, lalu dihabisi Bibi dengan pedang kayu. Tak lama setelah latihan tanding itu, putra mereka bisa melakukan hal yang sama.Itu membuat Jenderal senang bukan kepalang.Selama ini Jenderal jarang punya kesempatan dengan putranya. Bahkan dia jarang memiliki waktu bersama Padang Anushka. Itu membuatnya hanya memiliki waktu sedikit untuk keluarganya. Dia selalu menjaga posisi medan tempur, kadang juga berulang kali ke Lembah Palapa, mengurus sesuatu yang hanya bisa diketahui Jenderal. Bibi tidak masalah. Operasional Padang Anushka dipegang Bibi dan Kara. Di bawah ide-ide mereka—plus, Ibu—semakin banyak hal yang diubah di Padang Anushka, terutama
Ayah yang berhasil sadar langsung menjelaskan situasinya.Dia berangkat ke Lembah Palapa, mendapati Jenderal sudah tidak di sana. Bahkan sudah dua hari sejak Jenderal pergi lagi. Jenderal datang ketika malam, lalu pulang ketika siang. Jenderal bilang pada pasukan penjaga Lembah Palapa kalau hanya agar Helvin mengerti betapa mengerikannya alam liar.Namun, Jenderal belum kembali sejak dua hari. Ayah menganalisis semua dengan tenang, lalu meminta Lembah Palapa memberinya riwayat perpindahan titik mereka. Ayah bersama Esgar. Mereka menganalisis titik itu, mencoba mencari area sekitar. Esgar bilang, “Firasatku buruk.” Jadi, mereka menelusuri dengan gagasan sama: jangan beritahu Padang Anushka sampai mereka ditemukan.Dan inilah perbedaan pejuang lama dengan sekarang: mereka presisi. Ayah menganalisis semuanya, memperkirakan jalur pulang, kecepatan Jenderal—Ayah sudah berulang kali misi dengannya, jadi dia bisa mengerti. Mungkin akan berbeda karena
Bibi keluar ruang rawat, menggendong anak kecil di lengannya.Dokter Gelda terkejut karena Bibi keluar dengan begitu kasual, bahkan bisa melewati ruang tunggu dan Dokter Gelda. “Tunggu, Nadya.” Dia menghentikan langkahnya—berpikir kalau Bibi akan memberontak sekali lagi, lalu keluar mencari putranya, tetapi ternyata raut Bibi jauh lebih cerah dari yang dibayangkan Dokter Gelda. Bahkan seperti tidak ada bekas-bekas mengamuk.“Aku tidak apa-apa.” Bibi tersenyum. “Aku takkan keluar.”“Nadya,” gumam Dokter Gelda, prihatin.“Sudah ada misi pencarian?”“Sudah banyak yang dikerahkan. Jadi... kau tahu—”“Aku mengerti. Aku menunggu kabar. Kalau mencariku, Meri bersamaku. Forlan bersamaku. Cari saja di tempat dua orang ini.”“Kau... tidak mau lihat kondisinya?”“Biarkan dia istirahat,” pungkas Bibi, mengakhiri pembicara
Jenderal terus mencari Helvin.Nihil.Jenderal juga menyadari ada hal aneh dari penglihatannya. Dia mulai sedikit kehilangan orientasi. Seperti rabun, tetapi juga seperti gelap. Dia memeriksakan itu ke Dokter Gelda. Tentu saja Dokter Gelda sudah mencoba banyak cara. Mulai dari perawatan mata, obat mata, sampai apa pun, tetapi tidak terlihat ada perkembangan apa pun. Dokter Gelda mengira masalahnya ada di area yang tidak bisa dia jangkau, jadi dia memanggil kandidat persiapan yang kemampuannya dia banggakan.“Rhea, bisakah kau membuat selnya beregenerasi?” tanya Dokter Gelda.Anak perempuan itu melakukannya, mengalirkan energinya ke Jenderal. Itu berlangsung cukup singkat sampai Rhea berkata, “Aku sudah mencoba.”Namun, Jenderal bilang, “Masih gelap.”Dari sana, tampaknya Dokter Gelda memahami sesuatu. Dia meminta Rhea keluar, lalu memastikan tidak ada siapa-siapa di klinik selain mereka.“Deng
Di rentang sebelum Bibi pulang, Bibi yang menjaga Ibu sampai Reila lahir.Dalam suatu kesempatan, ketika Ibu sudah tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berat, kecuali tetap di gerhanya, Bibi memberitahu sesuatu padanya.“Aku bermimpi.”“Tentang putramu?”“Sejenis itu, tapi ini bukan dia. Aku didatangi Ratu Arwah.”Ibu masih saja terkejut setelah bertahun-tahun selalu mendengar fakta yang menakjubkan dari Bibi. Ibu lagi-lagi menganga sampai berkedip-kedip.“Katanya aku ibunya, jadi aku berhak tahu,” kata Bibi. “Aku belum bilang ke ayahnya, entah dia bermimpi hal yang sama atau tidak, tapi aku punya firasat dia hanya mengunjungiku. Aku tahu ini aneh. Dia Ratu Arwah. Selama ini kita mencari keberadaannya, tapi tiba-tiba dia mendatangi mimpiku. Kami ada di semacam hutan dengan api unggun. Aku duduk di batang basah, lalu—”“Tunggu,” sela Ibu. “Ratu Arwah
Bibi mempersiapkan semua keberangkatan Ibu.“Dengar, Lembah Palapa tidak seperti di sini. Kau butuh uang kalau berniat melakukan apa pun. Tapi jangan lupa juga kau harus menawar harga. Kadang ada orang sinting yang pasang harga tidak masuk akal. Kau harus berani. Mereka butuh uang darimu, jadi kau harus paksa mereka sampai di harga paling masuk akal. Lalu udara Lembah Palapa itu kotor, jadi usahakan suruh Forlan dan Reila pakai masker. Anak-anak di sana kurang ajar, Forlan dan Reila pasti dimusuhi, jadi pastikan kau selalu membawa mereka ke fasilitas. Dan aku tahu kau berniat memasukkan mereka ke sekolah. Sekali lagi kuingatkan—bahkan berkali-kali: mereka sangat berbakat membenci pemilik keganjilan. Jangan biarkan Forlan sekolah di sana.”Bibi terus mengoceh ketika tangannya memasukkan barang-barang ke satu koper. Koper itu tidak akan dibawa ke Lembah Palapa. Ibu akan menyimpannya di deposit. Barang-barangnya akan disimpan. Gerhanya akan kosong. Kalau
Di akhir hayatnya, Bibi berkata pada Jenderal, “Aku bahagia.”Benarkah Bibi bahagia?Citra itu berakhir di kematian Bibi. Tidak ada citra berikutnya. Sebenarnya aku berharap ada citra penjelasan yang membuatku mengerti mengapa Bibi bangkit sebagai arwah pendar putih. Namun, ketika Bibi menutup mata dan mengembuskan napas terakhirnya, citra itu juga berakhir. Perlahan, kabut memudar. Apa yang ada di hadapanku berubah tidak lagi dipenuhi kabut. Hanya ada medan naik alam liar.Kara dan Jenderal terlihat di depanku. Berjalan dalam hening.Aku menarik napas panjang, mengendalikan diri sebaik mungkin.Aku menutup semua citra. Dadaku bergejolak, mendorong sesuatu di dalam pelupuk mata. Tidak. Aku harus mengendalikan diri. Aku tidak bisa kalau tiba-tiba menangis tanpa sebab. Mereka tidak tahu aku melakukan apa.Jadi, aku mengembuskan napas, menengadah melihat langit. Pagi sudah tiba lagi. Hawanya agak dingin. Embun pagi masih terasa. Hut
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t