Kening kami masih saling bertemu—entah berapa lama.
Napas Lavi lumayan diburu. Semestinya dia minum empon-empon, tetapi tak ada yang bergerak di antara kami. Dia hanya bergumam pelan, “Forlan.” Hanya menyebut nama dan tidak bergerak. Perlahan, aku memberinya energi.
Ketenangan juga kembali ke dadaku. Kuputuskan merasakan sekitar.
Kosong. Tidak ada apa-apa. Celah lubang yang sangat luas.
“Lavi, kau harus minum,” kataku.
“...di mana?”
“Kita pikirkan itu nanti. Kau harus minum.” Aku meraih milikku karena dia terlalu lama. Meski kegelapan menguasai sekitar, aku tahu letak pasti bibirnya, jadi aku mengarahkan mulut botol ke sana. Dia mengangguk, meneguknya perlahan.
Energinya kembali sangat cepat. Dia mulai segar.
Dan dia mencengkeram tubuhku, menahan muntah. “HOEK!”
“Oke,” kataku, “jangan muntah di punggungku.”.
Aku bisa merasaka
Mereka terlalu terkejut untuk bergerak—padahal Dalton, Elton, dan Reila sudah melihatnya terlebih dahulu. Kondisinya memang berbahaya, tetapi aku masih bisa merasakan kehadirannya. Sangat tipis. Dia bisa ditolong.“Kalau kalian tidak mau melakukan sesuatu, sebaiknya jaga sekitar, jangan halangi jalanku,” sergahku, menyeret Dalton pergi dari depan celah.“Tapi—”“Bisa jadi dia musuh,” sambung Elton, tanpa nada.“Tapi aku butuh kau,” aku menyeret Dalton lagi, memasuki celah kecil.Celah itu benar-benar kecil. Kami harus berjalan miring untuk muat masuk ke sana. Dalton kesulitan karena dia lumayan kekar. Aku juga cukup kekar, tetapi tidak seperti Dalton. Dalton menggandakan ototnya seperti mengembang.Aku berhasil masuk celah. Dalton kesulitan.“Oke, lupakan,” kataku, mendorongnya, “pinjam jam tanganmu.”Dia mengerti, langsung memberikan jam tangan
Mengeluarkan Irene dari jeruji ternyata tidak jadi masalah. Lavi punya opsi.Pertama, aku memakai kemampuan mengerakkan tanah milikku agar celah terbuka lebih lebar—sejujurnya aku tidak memikirkan ini ketika masuk celah, kalau kupikirkan lagi, Lavi memang tahu setiap jengkal tentangku melebihi pola pikirku sendiri. Kedua, memakai kemampuan Reila agar Irene bisa tetap tegak melewati celah kecil. Itu lebih mudah dilakukan. Jadi, keputusan dibuat dengan pengambilan suara. Hasilnya, satu suara untuk ide pertama. Empat suara untuk ide kedua. Benar. Aku memilih ide pertama, dan semua orang pilih ide kedua.Lavi—yang punya ide itu—memarahiku.“Berhentilah menjadi satu-satunya pahlawan di sini. Aku kaptenmu. Aku partnermu. Mengerti, tidak, sih?”“Aku cuma pakai hak pilih,” belaku.“Sekali lagi kau bermain pahlawan, aku meninjumu sampai mimisan.”Hanya kami—aku dan Lavi—yang bisa bersi
Suara Lavi bergema berulang kali di kepalaku.Aku berhasil membalas, berkata, “Lanjutkan. Aku tidak apa-apa.” Namun, hanya untuk mengatakan itu, aku harus mengucapkannya secara terpisah. Kira-kira menjadi: “Lanjut—aduh—lanjutkan! Aku, ukh, tidak apa—apa.”Dua musuh menyerangku brutal di tengah jalur sempit.Jalur ini sama-sama menyulitkan kami, tetapi kerja sama mereka lumayan bagus. Pertama, tendangan mengarah ke kepalaku. Aku mundur sampai kakinya tak bisa menjangkau. Dia mendekat lagi, mengarahkan tonjokan. Aku menangkapnya dengan mudah. Namun, tiba-tiba dia menunduk. Temannya melompati dirinya—langsung mengarahkan sepakan lurus padaku. Aku kaget, menahannya dengan satu lengan, dan saat itulah orang yang tangannya kupegang mengarahkan tendangannya ke perutku. Berhasil kena. Cukup telak. Aku mundur sampai mengerang. Melihat itu berhasil, mereka semakin brutal mengandalkan kelincahan di lorong sempit.Fokus
Benakku gelisah di sepanjang perjalanan ke atas. Bukan karena merasa ada musuh menyerang, tetapi karena aku sendirian dan Fin tidak terlalu membantu.Kuputuskan membiarkan Fin merangkum apa yang setidaknya dia mengerti dari ingatan musuh, dan tampaknya itu juga bukan ide bagus. Awalnya dia bicara hal penting, seperti: [“Dia bangga dengan posisinya di Sendi Empat.”] atau [“Dia tangan kanan wakil bosnya.”] atau [“Dia sering mengurusi tahanan.”] Semestinya dia mengucapkan hal-hal bagus semacam itu seterusnya, tetapi karena identitasnya sudah terbongkar di awal—hal berikutnya membuatku mual.[“Dia ikut menyiksa Irene.”]Tampaknya Fin iseng—dia terkadang tahu apa yang membuatku terganggu dan dia terang-terangan menyebut itu. Kuputuskan menghentikan rangkumannya.Namun, Fin merasa perlu mengatakan ini.[“Dia membunuh penghuni Padang Anushka. Beberapa
Ada raut lega yang sulit digambarkan ketika Kara mendengar situasi Irene secara lengkap. Kara seperti bahagia, tetapi di waktu yang sama juga pedih. Aku bisa mengerti. Barangkali Padang Anushka telah melakukan pemakamannya secara formalitas—sama seperti yang terjadi pada Dalton. Namun, bukan berarti Padang Anushka berhenti berharap. Sayangnya, kami semua tahu—setidaknya apa yang terjadi jika penghuni tertangkap. Dan mungkin aku juga sudah merasakannya. Dia tidak akan pernah persis sama lagi.“Irene,” gumam Kara, “pejuang tim penyerang yang punya senyum paling manis. Dia mencerahkan kondisi tim penyerang yang muram sejak Hayden hilang. Kurasa dia mirip Dalton, Nak. Dia kandidat terkuat Kapten sepeninggal Hayden. Gadis tangguh yang pantang menyerah.”Ada sorot muram yang tidak bisa hilang dari raut Kara.Aku ingin bilang kalau sudah melihat ingatan Irene selama di penjara keji, tetapi tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa berka
“Penghalang milikku bisa memerangkap banyak unsur,” ujar Kara. “Salah satunya suara dan visual. Aku bisa membuat mereka tidak bisa mendengar apa pun. Sayangnya, berlaku dua arah. Kita tidak bisa dengar mereka.”Itu kemampuan yang... cukup rumit.Kara meminta mereka satu per satu keluar. Sebenarnya rautnya sudah cukup pedih melihat lima orang—termasuk Irene—yang dibawa keluar, tetapi prosedur tetap harus dilakukan. Hanya Irene yang diperbolehkan ikut keluar.Ketika aku dan Lavi berpelukan, sudut mataku juga melihat Kara. Dengan cara paling lembut, Kara mulai memeluk Irene yang tidak sadarkan diri. Sorotnya terasa pedih. Dia memeluknya, seolah memberinya ucapan selamat datang kembali dalam tidurnya. Irene sudah terlihat lebih baik. Rautnya lebih cerah dibanding saata pertama kami menemukannya. Kini dia juga sudah memakai jubah Reila, membuat perawakannya lebih baik dipandang. Sayangnya, itu tidak mengubah betapa dirinya sudah sa
Aku tidak mengerti mengapa setiap aku keluar Padang Anushka selalu saja berujung pada masalah serius. Rasanya seperti tidak diizinkan kembali.Dan sekarang ada masalah yang lebih serius.“Yang membawa mereka Reila, keputusan di tangannya,” kata Dalton.“Jangan memberiku pilihan sulit,” erang Reila. “Bukan aku yang harusnya mengambil keputusan sepenting ini.”“Tapi kau yang membawanya.”“Dan? Hanya aku yang harus menjaga mereka sampai kembali? Untuk apa tujuh orang di sini? Jangan bersikap seolah kau lepas tangan.”“Yang setuju semua dibawa pulang?” tukas Kara.Dan inilah titik baliknya. Sejujurnya bukan maksudku jahat, tetapi kami di alam liar. Meskipun kemampuan menghalau monster milikku aktif, bukan berarti bisa sepenuhnya menghilangkan keberadaan kami dari monster. Syarat kemampuan itu cukup berat. Kehadiranku harus menguat. Ganjaran utamanya, musuh dengan indr
Falcon masih belum tiba sampai pembakaran selesai. Dalton membawa tiga kotak kecil berisi abu sisa pembakaran, lalu bertanya soal titik berikutnya. Kubilang Falcon belum kembali, menyarankan sebaiknya kami pindah tempat. Semua orang setuju. Kami bergerak ke ujung bukit yang menunjukkan pemandangan luar biasa khas matahari terbit. Itu momen menunggu paling hebat yang pernah kurasakan.Sebenarnya itu ide Dalton.“Sebaiknya kita menunggu di sana.” Dalton menunjuk arah. “Di sana langit terbuka lebar. Kita bisa lihat Falcon. Falcon bisa lihat kita.”Dan pemandangan yang terlihat itu benar-benar berhasil membuat mataku terbuka. Matahari baru terbit, sehingga langit masih berwarna kemerahan. Matahari masih belum bersinar terlalu terang. Hanya kelihatan seperti bulatan kecil di jarak yang kelewat jauh, tetapi bersinar di antara kegelapan awan fajar. Langit malam di atas mulai berangsur berganti, dihapuskan cahaya merah. Kami seperti ada di ujung