Aku tidak mengerti mengapa setiap aku keluar Padang Anushka selalu saja berujung pada masalah serius. Rasanya seperti tidak diizinkan kembali.
Dan sekarang ada masalah yang lebih serius.
“Yang membawa mereka Reila, keputusan di tangannya,” kata Dalton.
“Jangan memberiku pilihan sulit,” erang Reila. “Bukan aku yang harusnya mengambil keputusan sepenting ini.”
“Tapi kau yang membawanya.”
“Dan? Hanya aku yang harus menjaga mereka sampai kembali? Untuk apa tujuh orang di sini? Jangan bersikap seolah kau lepas tangan.”
“Yang setuju semua dibawa pulang?” tukas Kara.
Dan inilah titik baliknya. Sejujurnya bukan maksudku jahat, tetapi kami di alam liar. Meskipun kemampuan menghalau monster milikku aktif, bukan berarti bisa sepenuhnya menghilangkan keberadaan kami dari monster. Syarat kemampuan itu cukup berat. Kehadiranku harus menguat. Ganjaran utamanya, musuh dengan indr
Falcon masih belum tiba sampai pembakaran selesai. Dalton membawa tiga kotak kecil berisi abu sisa pembakaran, lalu bertanya soal titik berikutnya. Kubilang Falcon belum kembali, menyarankan sebaiknya kami pindah tempat. Semua orang setuju. Kami bergerak ke ujung bukit yang menunjukkan pemandangan luar biasa khas matahari terbit. Itu momen menunggu paling hebat yang pernah kurasakan.Sebenarnya itu ide Dalton.“Sebaiknya kita menunggu di sana.” Dalton menunjuk arah. “Di sana langit terbuka lebar. Kita bisa lihat Falcon. Falcon bisa lihat kita.”Dan pemandangan yang terlihat itu benar-benar berhasil membuat mataku terbuka. Matahari baru terbit, sehingga langit masih berwarna kemerahan. Matahari masih belum bersinar terlalu terang. Hanya kelihatan seperti bulatan kecil di jarak yang kelewat jauh, tetapi bersinar di antara kegelapan awan fajar. Langit malam di atas mulai berangsur berganti, dihapuskan cahaya merah. Kami seperti ada di ujung
Hal paling pertama yang membuatku mengerang pada misi ini, adalah jarak yang kelewat kejam. Koordinat berhasil ditemukan, dan Kara memeriksa melalui peta, lalu dengan kecerdikan serta pengalaman Kara—dan Jenderal selama di alam liar, mereka menggunakan rekam jejak untuk menghitung berapa estimasi kami bisa sampai di vila monster—dekat gua bawah tanah itu.“Tiga hari sudah paling wajar,” kata Kara.Aku ingin bertanya apa yang Kara maksud wajar—kalau yang Kara maksud itu kecepatan yang sama seperti ketika kami menempuh medan tempur dari Padang Anushka, itu siksaan yang lebih kejam dari mendengar Dalton menyanyi. Dan kabar buruknya, Jenderal sudah memutuskan, “Pemilihan jalur itu urusanmu, Kara.”Jadi, ketika kami berjalan dengan bantuan kompas, Jenderal berjalan agak di depan, aku bertanya pada Kara. Dia bilang, “Kita berjalan santai, Nak. Mustahil kita menjaga kecepatan yang sama seperti tadi.”Setidakn
Istirahat di tengah misi bersama dua dewan yang biasa menjadi pusat para penghuni ternyata lebih menenangkan dari yang kubayangkan.Maksudku, Kara punya penghalang. Dan seperti yang sudah Kara jelaskan, penghalangnya punya keistimewaan menghalangi apa pun dari dalam, bisa berupa visual, suara, atau apa pun. Aku tidak tahu seperti apa kami saat ini dari luar, tetapi bisa kupastikan aku masih bisa melihat luar—danau yang terbentang luas, burung-burung yang bertengger di tepi danau, dan langit cerah yang tidak terlalu terik. Itu benar-benar pemandangan yang cukup indah untuk dirasakan bersama ikan bakar di tengah misi. Kami makan cukup lahap seolah ada di Padang Anushka.“Orang luar takkan bisa lihat kita, Nak,” jelas Kara. “Tapi kalau mendekat, mereka bisa merasakan dinding tak terlihat. Mungkin itu bedanya dengan pelindung milik kemampuan roh. Pelindungmu mengizinkan orang yang tidak diperkenankan hanya melihat alam liar selayaknya alam liar.&rdq
Tepat detik itu juga, kami harus berangkat lagi.Kara kelewat tegas masalah waktu, jadi meski kami ada di tengah obrolan penting, kami tetap harus berangkat. Kupikir kami akan menyeberangi hamparan air dengan—setidaknya kano sederhana, ternyata tidak. Di sini ada Kara. Tidak ada cara yang lebih efektif selain memakai kemampuan Kara di atas air.Maka itulah yang terjadi. Kami berjalan di atas air—dan karena aku harus melanjutkan cerita, Kara juga melapisi kami dengan penghalang selagi berjalan. Itu teknik yang curang—dan rasanya seperti mengejek para punggawa misi yang harus bergerak diam-diam. Sayangnya, pembicaraan sedang serius, jadi aku tidak punya waktu membuat lelucon. Dan Jenderal—ketika perjalanan awal tadi selalu berjalan agak di depan, kali ini beriringan dengan kami. Agak mengerikan membayangkan dia benar-benar memasang telinga untukku.Jadi, aku menceritakannya.Masih menempel di kepalaku setiap detail tentang mimpi itu.
Malam pertama kami di alam liar berakhir di sebuah ladang terbuka.Ya, ladang terbuka. Benar-benar terbuka. Tidak ada pohon di sekitar, tetapi ada sungai kecil di dekat barisan pohon terdekat. Jenderal sudah membawa daging besar yang didapat dari hutan—entah, di perjalanan, kami sempat terpisah dan Kara bilang tidak perlu khawatir. Tiga puluh menit kemudian, kami bertemu lagi—yang membuatku tercengang karena Jenderal sudah membawa karung besar.“Makan malam,” katanya.Tampaknya aku tidak perlu khawatir masalah makanan bersama mereka.Dan saat kupikir kami akan berkemah di tempat tersembunyi layaknya aku dan Lavi yang berkemah di dekat air terjun; atau aku, Dalton, dan Reila yang lebih memilih di tengah hutan—ternyata kami berkemah di tengah ladang terbuka, yang secara teknis, menjadi sasaran empuk bila kami diserang. Terlihat dari segala arah, tidak ada ruang untuk sembunyi—meski juga berlaku dua arah karena kami mampu
Ketika giliranku menjaga tiba, dengan cepat aku disergap kebosanan. Pada akhirnya yang kulakukan sampai matahari terbit hanya mengawasi alam liar dengan Fin. Tidak ada ancaman berarti. Kalau memang ada ancaman, barangkali trek yang cukup terjal setelah ladang terbuka. Akhirnya trek alam liar dimulai.Begitu matahari terbit, aku membangunkan Jenderal dan Kara.Hanya dengan jentikan jari. Perlahan, mereka bangun.Kami bangun dengan energi terkumpul—siap menghadapi apa yang Kara sebut, tetapi tiba-tiba Jenderal dengan tajam berkata, “Kita percepat langkah.”“Percepat?” tanyaku, terucap begitu saja.“Kita selesaikan misi dalam tiga hari.”Sejujurnya aku sudah sulit terkejut dengan gagasan kontroversial Jenderal. Tampaknya sudah mulai terbiasa. Namun, tetap saja itu membingungkan.“Caranya?” tanya Kara.“Daripada menghemat kemampuan bersiap menghadapi musuh. Lebih baik guna
Tidak ada musuh. Tidak ada monster. Namun, bukan berarti kami lolos dari serangan makhluk hutan. Hewan-hewan mulai mengincar kami.Jenderal sudah menghabisi tiga babi hutan, dua anjing hutan, dan puluhan ular. Sekali lagi, kubilang padanya gagasan yang sama seperti yang kuucapkan pada Dalton. “Dengan segala hormat, Jenderal bisa merusak ekosistem hutan.”“Mereka harusnya bersyukur tidak perlu merasakan kejamnya alam liar.”Itu gagasan yang salah. Balasan Dalton sejauh ini lebih asyik untuk dibalas. Balasan Jenderal terlalu suram untuk dijadikan lelucon.Pada akhirnya, ketika kami sampai di puncak bukit pertama, bisa dipastikan tidak ada tanda-tanda berbahaya seperti monster atau punden berundak atau apalah. Hanya alam liar biasa. Kami beristirahat, menyaksikan pemandangan alam liar di tengah matahari yang cukup terik. Makanan pagi menjelang siang kami semacam sisa daging asap semalam—tidak terlalu nikmat, tetapi cukup mengisi
Aku yakin Lavi akan mengamuk kalau tahu aku mengambil ingatan lagi.Kami akan terputus selama beberapa waktu—setidaknya, hampir sebagian besar energiku habis untuk Fin—dan menurut pengalaman kami, ketika salah satu dari energiku atau Lavi terkuras, komunikasi pasti terputus.Dan ini dia masalahnya: Fin terlambat memberitahuku peringatan.[“Menyambungkan ingatan tidak bisa sembarangan. Kau bisa lihat ingatan siapa pun, kecuali mereka yang terikat dengan kemampuan jiwa. Sekali saja kau menyambungkan ingatan dengan mereka, jiwamu bisa berpotensi diambil alih.”]Itu peringatan yang cukup berarti, tetapi tidak untuk saat ini.Tantangan terbesarnya adalah menyaksikan ingatan masa lalu sembari tetap mempertahankan kesadaran. Fin tidak bilang itu mustahil. Katanya melakukan itu seperti mengeluarkan dua ledakan kemampuan di satu waktu—yang bila diartikan secara kasar pada bahasa manusia: menoleh ke kanan dan kiri dalam