Tidak ada musuh. Tidak ada monster. Namun, bukan berarti kami lolos dari serangan makhluk hutan. Hewan-hewan mulai mengincar kami.
Jenderal sudah menghabisi tiga babi hutan, dua anjing hutan, dan puluhan ular. Sekali lagi, kubilang padanya gagasan yang sama seperti yang kuucapkan pada Dalton. “Dengan segala hormat, Jenderal bisa merusak ekosistem hutan.”
“Mereka harusnya bersyukur tidak perlu merasakan kejamnya alam liar.”
Itu gagasan yang salah. Balasan Dalton sejauh ini lebih asyik untuk dibalas. Balasan Jenderal terlalu suram untuk dijadikan lelucon.
Pada akhirnya, ketika kami sampai di puncak bukit pertama, bisa dipastikan tidak ada tanda-tanda berbahaya seperti monster atau punden berundak atau apalah. Hanya alam liar biasa. Kami beristirahat, menyaksikan pemandangan alam liar di tengah matahari yang cukup terik. Makanan pagi menjelang siang kami semacam sisa daging asap semalam—tidak terlalu nikmat, tetapi cukup mengisi
Aku yakin Lavi akan mengamuk kalau tahu aku mengambil ingatan lagi.Kami akan terputus selama beberapa waktu—setidaknya, hampir sebagian besar energiku habis untuk Fin—dan menurut pengalaman kami, ketika salah satu dari energiku atau Lavi terkuras, komunikasi pasti terputus.Dan ini dia masalahnya: Fin terlambat memberitahuku peringatan.[“Menyambungkan ingatan tidak bisa sembarangan. Kau bisa lihat ingatan siapa pun, kecuali mereka yang terikat dengan kemampuan jiwa. Sekali saja kau menyambungkan ingatan dengan mereka, jiwamu bisa berpotensi diambil alih.”]Itu peringatan yang cukup berarti, tetapi tidak untuk saat ini.Tantangan terbesarnya adalah menyaksikan ingatan masa lalu sembari tetap mempertahankan kesadaran. Fin tidak bilang itu mustahil. Katanya melakukan itu seperti mengeluarkan dua ledakan kemampuan di satu waktu—yang bila diartikan secara kasar pada bahasa manusia: menoleh ke kanan dan kiri dalam
Penglihatan berikutnya kurang begitu terlihat.Namun, aku bisa melihat Bibi duduk di beranda depan gubuk Jenderal. Di hadapannya sudah ada bunga-bunga yang sedikit mekar. Masih sedikit, tidak seluas ladang yang sekarang, dan di citra itu malam telah tiba, sehingga pemandangan tak terlalu terlihat. Beranda depan Jenderal juga tidak memiliki lampu yang terang, dan entah bagaimana caranya citra ini juga buram.Bibi duduk bersama Jenderal, dipisahkan meja kayu. Itu Jenderal yang juga kukenal. Memakai topi—tetap konsisten meski istrinya ada di sampingnya.“Sekarang aku mengerti maksud Meri,” ujar Bibi, tiba-tiba. “Pada dasarnya selama ini kau tidak mengincar hatiku. Aku ini kau anggap apa?”Jenderal hanya diam.Namun, dari auranya, aku tahu Jenderal tengah dipenuhi nuansa janggal.“Kau hidup bukan untuk mati,” gumam Bibi. “Kau lupa aku di sini?”“Aku harus mengurus sesuatu,”
Setidaknya, gagasan Bibi benar. Jenderal adalah dua orang berbeda di depan penghuni dan di depan tim kombat. Aku mengenal begitu banyak tentang Jenderal melalui citra-citra singkat—barangkali dirinya yang selalu mengambil jatah makan paling pertama atau paling terakhir, bahkan dia juga pernah tidak sempat kebagian jatah makan andai Ibu tidak menyadarinya. Ibu barangkali masih takut, tetapi Ibu tim tungku, dan dia sering melihat Jenderal datang sendiri. Aku yakin di suatu titik waktu, akhirnya Ibu mulai membuka dirinya yang ketakutan untuk menghadapi diri Jenderal yang begitu misterius dan gelap.Dan Bibi adalah orang dengan aura tercerah di Padang AnushkaBahkan melebihi Ibu—sungguh.Bibi dicintai penghuni. Dia ceria, mudah bergaul, ramah—tidak seperti tim kombat kebanyakan. Dan Bibi masih sering bersama kandidat percobaan bersama Ibu. Kandidat percobaan mirip kandidat baru, tetapi tampaknya mereka sudah lebih siap untuk menghadapi pertempuran&
“Meri!” seru Bibi, berlari menaiki tangga Balai Dewan. Di pinggangnya ada pedang dengan aura megah. Bibi berlari penuh semangat, rautnya sangat riang, lalu dengan cara paling tidak bersalah, mendobrak pintu ruangan, menemukan Ibu yang sedang mengajar perempuan kecil—lalu menjerit, “MERI!” Yang secara insidental membuat Ibu terkejut dan langsung menjerit:“ASTAGA! KETUK PINTUNYA!”“Meri!” Bibi tidak peduli, langsung meluncur ke meja kecil tempat Ibu dan perempuan kecil itu. “Lihat! Aku dapat pedang baru! Dikasih komandan!”“Komandan?” tanya Ibu, langsung dengan nada normal.“Yah, kita tahu ada semacam peringkat untuk tim kombat, kan?” Bibi mulai menjelaskan, mengedikkan bahunya sesekali. “Aku urutan pertama di keterampilan pedang, dan kemarin aku juga mengalahkan Kapten, jadi aku layak dapat ini.”Ibu melihat pedang itu sejenak—karena secara t
Ibu sedang mencuci sayur ketika Bibi bercerita dengan muram.“Dia sudah berkhianat,” gumam Bibi. “Kita tahu dia hilang, kan? Kemarin aku bertemu dengannya. Baik-baik saja—benar-benar tidak seperti yang selalu kita cemaskan. Dia mengacungkan pedang padaku, dan—dia tidak sedang dipengaruhi. Saat pedang kami bertemu, dia mengucap kekecewaannya, lalu mengajakku ikut ke sisi lain bersamanya. Katanya kami bisa lebih bahagia di sisi lain.”Ibu masih mencuci sayur. Satu ember. Dan membelakangi Bibi, sehingga Ibu tidak benar-benar melihat ekspresi Bibi. Ibu hanya diam, tidak berkomentar apa pun. Bibi semakin gelisah, menggerakkan jemarinya dengan tidak nyaman.“Meri, aku membunuhnya,” ujar Bibi.“Kalau begitu, baguslah,” kata Ibu, langsung.“Apa?”Ibu akhirnya beranjak dari bak pencucian, mengelap tangannya, mendekati Bibi yang sedang duduk di balik meja dapur. “Dia masa la
Di markas tim kombat—yang ada di tengah hutan—Bibi tengah menarget papan panahan ketika Ayahku berdiri di pagar. Ayah tidak lagi basa-basi.“Kau bermasalah dengan Meri?”“Bukannya bagus?” sahut Bibi. “Kau punya bahan obrolan dengannya.”“Aku selalu tidak suka saat kau mengalihkan pembicaraan begini, kulempar bumerang kalau kau masih menghindar. Minta maaf padanya.”“Bukannya kau mau misi?” tanya Bibi.Dan Ayah benar-benar melempar bumerang pada Bibi—yang bisa dihindari Bibi cukup mudah. Bibi melompat ke samping, baru akhirnya menoleh dengan aura penuh tuntutan. “Untuk apa itu? Kau sungguhan?”“Kau yang kebanyakan bercanda. Aku serius sejak awal.”“Aku juga serius tanya padamu. Kau mau misi?”“Kau iri, kan? Kau mau ambil posisiku?”“Bisakah kau berhenti membalasku dengan emosi seperti itu? Cu
Ibu harus berangkat ke pusat medis. Setidaknya selama beberapa hari. Dan Ibu merasa membutuhkan restu Bibi meski situasinya masih belum reda.Berita keberangkatan misi sebenarnya sudah menyebar di kalangan orang-orang yang sering berkumpul di pondok utama. Namun, karena Bibi jarang terlibat lagi di sana, akhirnya dia tidak tahu apa-apa. Yang dia tahu hanya ketika Ibu tiba-tiba terlihat di padang rumput selepas latihan wajib. Para penghuni masih menetap seolah punya bahan tontonan yang lebih menarik. Bibi tentu saja lumayan heran. Firasatnya pasti menangkap sesuatu. Dia melihat Ibu mendekatinya. Tampaknya Bibi berdebar-debar seolah itu menjadi momen ketika akhirnya Ibu berani melabrak dirinya. Ketika Bibi berdiri mengusap keringat dengan handuk, Ibu berhasil sampai di tempatnya, lalu bersuara dengan mantap.“Aku mau pergi misi. Aku butuh restumu.”Bibi terkejut—sejauh yang bisa dia tahan. Bukannya langsung membalas, dia justru memerhatikan sekit
Bibi dan Ibu kembali tak terpisahkan. Perbedaannya, kali ini Bibi yang tidak ingin mereka dipisahkan. Semua penghuni kembali bereaksi seperti ketika mereka tidak berkonflik. Bibi juga meminta maaf pada Esgar, yang hanya mendapat tawa sebagai balasan. “Meri rela membawakanmu oleh-oleh seolah kita berlibur.”Ibu juga mengembalikan izin misi Bibi, membuat Bibi langsung diutus misi dua hari setelah Ibu kembali.“Tidak bisakah aku di sini sedikit lebih lama lagi?” tuntut Bibi, cemberut.“Aku merestuimu,” balas Ibu, tidak peduli. “Sana. Pergi.”Lalu Bibi misi. Lalu Bibi kembali, mendapat sambutan dari Ibu, yang kini agak berubah. Bibi yang sekarang langsung melompat ke pelukan Ibu.Jenderal, tampaknya juga senang melihat mereka kembali bersama. Kini Ibu tidak takut lagi pada Jenderal. Ibu bahkan sering mengutuk sumpah serapah seolah Jenderal sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan dengan mengamb