Istirahat di tengah misi bersama dua dewan yang biasa menjadi pusat para penghuni ternyata lebih menenangkan dari yang kubayangkan.
Maksudku, Kara punya penghalang. Dan seperti yang sudah Kara jelaskan, penghalangnya punya keistimewaan menghalangi apa pun dari dalam, bisa berupa visual, suara, atau apa pun. Aku tidak tahu seperti apa kami saat ini dari luar, tetapi bisa kupastikan aku masih bisa melihat luar—danau yang terbentang luas, burung-burung yang bertengger di tepi danau, dan langit cerah yang tidak terlalu terik. Itu benar-benar pemandangan yang cukup indah untuk dirasakan bersama ikan bakar di tengah misi. Kami makan cukup lahap seolah ada di Padang Anushka.
“Orang luar takkan bisa lihat kita, Nak,” jelas Kara. “Tapi kalau mendekat, mereka bisa merasakan dinding tak terlihat. Mungkin itu bedanya dengan pelindung milik kemampuan roh. Pelindungmu mengizinkan orang yang tidak diperkenankan hanya melihat alam liar selayaknya alam liar.&rdq
Tepat detik itu juga, kami harus berangkat lagi.Kara kelewat tegas masalah waktu, jadi meski kami ada di tengah obrolan penting, kami tetap harus berangkat. Kupikir kami akan menyeberangi hamparan air dengan—setidaknya kano sederhana, ternyata tidak. Di sini ada Kara. Tidak ada cara yang lebih efektif selain memakai kemampuan Kara di atas air.Maka itulah yang terjadi. Kami berjalan di atas air—dan karena aku harus melanjutkan cerita, Kara juga melapisi kami dengan penghalang selagi berjalan. Itu teknik yang curang—dan rasanya seperti mengejek para punggawa misi yang harus bergerak diam-diam. Sayangnya, pembicaraan sedang serius, jadi aku tidak punya waktu membuat lelucon. Dan Jenderal—ketika perjalanan awal tadi selalu berjalan agak di depan, kali ini beriringan dengan kami. Agak mengerikan membayangkan dia benar-benar memasang telinga untukku.Jadi, aku menceritakannya.Masih menempel di kepalaku setiap detail tentang mimpi itu.
Malam pertama kami di alam liar berakhir di sebuah ladang terbuka.Ya, ladang terbuka. Benar-benar terbuka. Tidak ada pohon di sekitar, tetapi ada sungai kecil di dekat barisan pohon terdekat. Jenderal sudah membawa daging besar yang didapat dari hutan—entah, di perjalanan, kami sempat terpisah dan Kara bilang tidak perlu khawatir. Tiga puluh menit kemudian, kami bertemu lagi—yang membuatku tercengang karena Jenderal sudah membawa karung besar.“Makan malam,” katanya.Tampaknya aku tidak perlu khawatir masalah makanan bersama mereka.Dan saat kupikir kami akan berkemah di tempat tersembunyi layaknya aku dan Lavi yang berkemah di dekat air terjun; atau aku, Dalton, dan Reila yang lebih memilih di tengah hutan—ternyata kami berkemah di tengah ladang terbuka, yang secara teknis, menjadi sasaran empuk bila kami diserang. Terlihat dari segala arah, tidak ada ruang untuk sembunyi—meski juga berlaku dua arah karena kami mampu
Ketika giliranku menjaga tiba, dengan cepat aku disergap kebosanan. Pada akhirnya yang kulakukan sampai matahari terbit hanya mengawasi alam liar dengan Fin. Tidak ada ancaman berarti. Kalau memang ada ancaman, barangkali trek yang cukup terjal setelah ladang terbuka. Akhirnya trek alam liar dimulai.Begitu matahari terbit, aku membangunkan Jenderal dan Kara.Hanya dengan jentikan jari. Perlahan, mereka bangun.Kami bangun dengan energi terkumpul—siap menghadapi apa yang Kara sebut, tetapi tiba-tiba Jenderal dengan tajam berkata, “Kita percepat langkah.”“Percepat?” tanyaku, terucap begitu saja.“Kita selesaikan misi dalam tiga hari.”Sejujurnya aku sudah sulit terkejut dengan gagasan kontroversial Jenderal. Tampaknya sudah mulai terbiasa. Namun, tetap saja itu membingungkan.“Caranya?” tanya Kara.“Daripada menghemat kemampuan bersiap menghadapi musuh. Lebih baik guna
Tidak ada musuh. Tidak ada monster. Namun, bukan berarti kami lolos dari serangan makhluk hutan. Hewan-hewan mulai mengincar kami.Jenderal sudah menghabisi tiga babi hutan, dua anjing hutan, dan puluhan ular. Sekali lagi, kubilang padanya gagasan yang sama seperti yang kuucapkan pada Dalton. “Dengan segala hormat, Jenderal bisa merusak ekosistem hutan.”“Mereka harusnya bersyukur tidak perlu merasakan kejamnya alam liar.”Itu gagasan yang salah. Balasan Dalton sejauh ini lebih asyik untuk dibalas. Balasan Jenderal terlalu suram untuk dijadikan lelucon.Pada akhirnya, ketika kami sampai di puncak bukit pertama, bisa dipastikan tidak ada tanda-tanda berbahaya seperti monster atau punden berundak atau apalah. Hanya alam liar biasa. Kami beristirahat, menyaksikan pemandangan alam liar di tengah matahari yang cukup terik. Makanan pagi menjelang siang kami semacam sisa daging asap semalam—tidak terlalu nikmat, tetapi cukup mengisi
Aku yakin Lavi akan mengamuk kalau tahu aku mengambil ingatan lagi.Kami akan terputus selama beberapa waktu—setidaknya, hampir sebagian besar energiku habis untuk Fin—dan menurut pengalaman kami, ketika salah satu dari energiku atau Lavi terkuras, komunikasi pasti terputus.Dan ini dia masalahnya: Fin terlambat memberitahuku peringatan.[“Menyambungkan ingatan tidak bisa sembarangan. Kau bisa lihat ingatan siapa pun, kecuali mereka yang terikat dengan kemampuan jiwa. Sekali saja kau menyambungkan ingatan dengan mereka, jiwamu bisa berpotensi diambil alih.”]Itu peringatan yang cukup berarti, tetapi tidak untuk saat ini.Tantangan terbesarnya adalah menyaksikan ingatan masa lalu sembari tetap mempertahankan kesadaran. Fin tidak bilang itu mustahil. Katanya melakukan itu seperti mengeluarkan dua ledakan kemampuan di satu waktu—yang bila diartikan secara kasar pada bahasa manusia: menoleh ke kanan dan kiri dalam
Penglihatan berikutnya kurang begitu terlihat.Namun, aku bisa melihat Bibi duduk di beranda depan gubuk Jenderal. Di hadapannya sudah ada bunga-bunga yang sedikit mekar. Masih sedikit, tidak seluas ladang yang sekarang, dan di citra itu malam telah tiba, sehingga pemandangan tak terlalu terlihat. Beranda depan Jenderal juga tidak memiliki lampu yang terang, dan entah bagaimana caranya citra ini juga buram.Bibi duduk bersama Jenderal, dipisahkan meja kayu. Itu Jenderal yang juga kukenal. Memakai topi—tetap konsisten meski istrinya ada di sampingnya.“Sekarang aku mengerti maksud Meri,” ujar Bibi, tiba-tiba. “Pada dasarnya selama ini kau tidak mengincar hatiku. Aku ini kau anggap apa?”Jenderal hanya diam.Namun, dari auranya, aku tahu Jenderal tengah dipenuhi nuansa janggal.“Kau hidup bukan untuk mati,” gumam Bibi. “Kau lupa aku di sini?”“Aku harus mengurus sesuatu,”
Setidaknya, gagasan Bibi benar. Jenderal adalah dua orang berbeda di depan penghuni dan di depan tim kombat. Aku mengenal begitu banyak tentang Jenderal melalui citra-citra singkat—barangkali dirinya yang selalu mengambil jatah makan paling pertama atau paling terakhir, bahkan dia juga pernah tidak sempat kebagian jatah makan andai Ibu tidak menyadarinya. Ibu barangkali masih takut, tetapi Ibu tim tungku, dan dia sering melihat Jenderal datang sendiri. Aku yakin di suatu titik waktu, akhirnya Ibu mulai membuka dirinya yang ketakutan untuk menghadapi diri Jenderal yang begitu misterius dan gelap.Dan Bibi adalah orang dengan aura tercerah di Padang AnushkaBahkan melebihi Ibu—sungguh.Bibi dicintai penghuni. Dia ceria, mudah bergaul, ramah—tidak seperti tim kombat kebanyakan. Dan Bibi masih sering bersama kandidat percobaan bersama Ibu. Kandidat percobaan mirip kandidat baru, tetapi tampaknya mereka sudah lebih siap untuk menghadapi pertempuran&
“Meri!” seru Bibi, berlari menaiki tangga Balai Dewan. Di pinggangnya ada pedang dengan aura megah. Bibi berlari penuh semangat, rautnya sangat riang, lalu dengan cara paling tidak bersalah, mendobrak pintu ruangan, menemukan Ibu yang sedang mengajar perempuan kecil—lalu menjerit, “MERI!” Yang secara insidental membuat Ibu terkejut dan langsung menjerit:“ASTAGA! KETUK PINTUNYA!”“Meri!” Bibi tidak peduli, langsung meluncur ke meja kecil tempat Ibu dan perempuan kecil itu. “Lihat! Aku dapat pedang baru! Dikasih komandan!”“Komandan?” tanya Ibu, langsung dengan nada normal.“Yah, kita tahu ada semacam peringkat untuk tim kombat, kan?” Bibi mulai menjelaskan, mengedikkan bahunya sesekali. “Aku urutan pertama di keterampilan pedang, dan kemarin aku juga mengalahkan Kapten, jadi aku layak dapat ini.”Ibu melihat pedang itu sejenak—karena secara t
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t