Hela ingin segera berbincang lebih banyak dengan kami, tetapi Reila—dan Kara—melarang. “Sebaiknya kau tenangkan dirimu,” kata Reila. “Kondisimu lebih kacau dari yang kau rasakan. Resapi saja apa yang sudah kau terima tadi. Kakakku membantumu lebih banyak dari yang terlihat. Malam ini tidurmu pasti nyenyak.”
Untuk beberapa saat, dia diam.
Namun, dia mulai memeluk kakinya sendiri.
“Aku—” Suaranya tiba-tiba keluar. “—takut diusir lagi.”
Hanya dalam satu detik, ketika dia mengatakan itu, tanpa perlu menatap satu sama lain, aku dan Reila kembali duduk di dekatnya. Kami di ujung gelanggang—Kara meminta kami menjaga Hela sebentar sementara dia mengurus kandidat baru yang lain. Jadi, kami di sini, ketika Hela memeluk kakinya sendiri.
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Reila.
“Padang Anushka perlu daya tempur. Aku pemilik kemampuan. Aku daya tempur
Di hari yang sama, Dokter Gelda memanggilku ke klinik. Itu panggilan dari telepon pertamaku yang tidak terlalu mengganggu—karena biasanya hanya Jesse yang punya ide memanggil lewat telepon. Suara Dokter Gelda terdengar jauh lebih jernih dari biasanya. [“Hasilnya sudah keluar. Kemarilah.”]“Di sini ada Reila,” kataku.[“Ajak dia.”]Bahkan pertanyaan pertama Reila setelah aku menutup telepon juga seperti dugaanku. “Jesse? Aku diajak juga?”Aktingku ternyata sangat bagus. “Klinik! Fal muntah darah!”Reaksinya lebih dramatis dari yang kubayangkan. Dia langsung bergegas ke klinik tanpa menungguku keluar. Jadi, aku mengunci pintu—yang akhir-akhir ini tak ada gunanya karena Reila tidak butuh kunci. Aku mengejar, mengikuti jejaknya. Dia sungguhan lari sekuat tenaga. Rautnya memang super cemas.Ketika aku sampai di klinik, di detik pertama aku masuk dari pintu u
Sebelum Rapat Dewan dimulai, aku sudah di Rumah Pohon bersama Fal.Ruangan kecil di atas dahan pohon raksasa itu benar-benar seperti ruangan personalku dengan Lavi. Luasnya tak seberapa dan hanya ada dua ruangan utama—atau tiga jika beranda depan dihitung. Ruangan pertama merupakan pintu masuk dari tangga utama, berisi foto anggota tim penyerang—tentu tim penyerang yang sekarang. Di ruangan pertama juga ada jendela terbuka, tempat teropong bertengger untuk melihat bintang. Biasanya bintang terlihat jelas dari sini. Reila suka memakai teropong itu hanya untuk belajar rasi bintang. Dan ruangan kedua, adalah ruangan utama. Ruangan kecil mirip rumah kucing. Dipenuhi bantal-bantal, paling nyaman berbaring di sana sembari memandang jendela terbuka yang mengarah ke hamparan langit dan puncak pohon. Dan itu yang kami sebut ruangan personalku dan Lavi. Ada delapan bingkai berisi foto kami—benar-benar hanya aku dan Lavi. Tidak ada yang protes—karena yang memasan
Posisi Lavi benar-benar tak bisa kurasakan sekuat apa pun memikirkannya.Barangkali itu menjadi salah satu keuntungan untuk detik ini.Seusai Rapat Dewan, Lavi kembali ke markas hanya untuk berkata, “Bubar. Besok kuberitahu apa yang terjadi.”“Kau kelihatan capek,” ujar Dalton. “Berdebat keras?”“Bahan yang diperdebatkan saja tidak ada.”“Dia di atas. Dengan Reila.”“Siapa juga yang bertanya?” Dan Lavi melengos pergi.Lavi berjalan kembali ke gerha, melepas jubah kaptennya, membawanya di tangan seolah itu tas. Rautnya kelihatan lesu. Dia tidak seperti baru selesai debat—biasanya kalau Lavi habis berdebat, dia masih menyimpan sisa-sisa bara api dalam benaknya, jadi ketika selesai Rapat Dewan, dia masih cukup menggebu-gebu. Kali ini tidak seperti itu. Dia hanya lesu, pucat, seperti ingin menangis.Dari pintu masuk kompleks gerha, gerhaku posisinya palin
Kami terlalu lelah untuk bercerita. Jadi, kami tertidur dengan cepat.Namun, ketika pagi tiba, kami benar-benar hampir melewati jam sarapan. Senyum Lavi kembali, raut cerahnya bersinar, matanya berwarna indah, canda tawa yang kupikir sudah teredam itu kembali mekar—dia terus mengoceh seolah tidak ada yang pernah terjadi—dan saat benakku masih mengganjal, dia sama sekali tidak menyinggung tentang itu. Ketika kami membersihkan kekacauan di kamarnya, dia hanya bercerita bagaimana orientasi terjadi selama aku tidak peduli.Dia menceritakan kondisi Calvin setelah latihan tanding—yang sejujurnya tidak terlalu kudengar karena aku terlalu sibuk gelisah atas sifat Lavi yang jauh di luar dugaanku. Dan sejujurnya aku tahu kondisinya. Tara—satu-satunya tim medis yang tidak pernah mengomel atas semua tindakanku—menceritakan semuanya—bahkan sangat detail. Tara juga mengerti aku tidak pernah ingin dengar kondisinya, jadi Tara memberitahuku seolah h
Permainan baru terlihat ujungnya ketika Dalton tiba.Jadi, sebenarnya aku hampir kalah. Ketika adu serangan membuat posisiku seperti sedang senam lantai—posisi pesawat—Profesor Merla membantingku. Aku mengerang, terkejut, dan tangannya langsung mengincar posisi batu. Di sana belum ada tanda-tanda aku kalah—karena aku berhasil menahan tangannya. Namun, tiba-tiba Profesor Merla mengerang, “Sayang, jangan begitu. Sedikit lagi.”Dia menyentil udara di atas wajahku, membuatku bersin.Tanganku terlepas. Profesor Merla menyeringai.Waktu melambat.Ah, tidak. Terambil.“TOLOONGG!” jeritku, putus asa.Dalton menapak di atasku. Dia mengayunkan besi sekuat tenaga ke Profesor Merla. Kalau kena, pasti sangat sakit. Namun, dia berhasil menghindar, dengan cara yang kelewat indah juga. Profesor Merla seperti kertas. Bisa meliuk-liuk.Bodohnya: aku langsung menyerang Dalton.Kupikir dia mau menga
“Padahal sedikit lagi aku menang,” gerutu Dalton.“Kita lawan, bukan kawan,” kataku. Lenganku dipijat keras Isha.“Sebegitu inginnya kalian mengalahkanku?” tanya Profesor Merla.“Sebaiknya kalau mau latihan beritahu yang lain,” sahut Lavi. “Kalian tidak tahu seberapa kagetnya kami saat Forlan tiba-tiba jatuh?”“Sekarang Kapten sudah bisa bicara begitu?” tuntut Dalton. “Dari kemarin ke mana saja? Tidak tahu pacarmu terbakar api cemburu?”“Siapa yang cemburu?” sahutku.“Dia sampai tidak mau mengamati kandidat baru bersamaku,” Tara setuju.“Kubilang aku tidak cemburu,” sergahku.Dokter Gelda menyergah, mengatakan tidak ada luka serius. Tentu saja. Tak ada yang berniat saling melukai—kuanggap serangan Profesor Merla yang sampai membuatku menabrak tiang penyangga gelanggang bukan serangan yang berniat melukai
Sistem penilaian ternyata cukup rumit.Jadi, di markas, Lavi memberiku dua lembaran penilaian. Isinya hanya tabel dan beberapa keterangan yang perlu dipilih. Dua lembar ini kupikir sungguhan dua lembar, tetapi ternyata isinya dua lembar bolak-balik—dan sepuluh rangkap. Secara teknis, empat puluh halaman harus diisi. Aku mengeluh mengapa tidak sejak awal dia menyampaikan ini padaku. Dibilang begitu, dia mengerutkan kening.“Bukannya Tara bilang sudah memberitahumu?”“Aku tidak yakin,” kataku. “Mungkin dia sudah memberitahu, tapi aku tidak menangkap maksudnya.”“Kalau begitu, kau tidak berhak protes.”“Tapi kau tidak memberitahu.”“Sudahlah. Kita bisa kejar hari ini. Aku membantumu.”Kali ini dia menarikku ke gelanggang—tempat para kandidat baru sedang menyesuaikan diri dengan latihan. Lavi bilang Dhiena dan Lukas sudah tidak lagi bertugas sejak lama.
Sore itu, aku dan Lavi bersantai di Rumah Pohon. Aku mencoba memainkan gitar Dalton—belakangan aku menyukai gitar, Lavi sampai memuji betapa aku luar biasa dalam belajar sesuatu. Aku mulai belajar sejak tiba di Padang Anushka, dan sekarang aku sudah bisa memainkan alunan musik hangat untuk Lavi. Ketika aku memainkan jariku berpindah dari satu kunci ke kunci lain, Lavi memejamkan mata, terhanyut pada petikan merdu. Sejujurnya aku juga kaget bisa melakukannya.Namun, permainan gitar tidak berlangsung selamanya. Ketika aku bercerita semua yang terjadi di tim tungku, Dalton memanggilku dari bawah. Lavi jengkel—dia memang tidak suka diganggu kalau sudah di Rumah Pohon—tetapi ketika aku muncul dari beranda, Dalton cukup serius.“Aku mau ke Berlin. Mau ikut?”Aku bahkan hampir lupa ada Berlin di Padang Anushka. Sepertinya Dalton selalu ingat. “Ada Lavi. Kecuali kau tidak keberatan dia ikut, aku tidak mau.”“Ajak sa