Sebelum Rapat Dewan dimulai, aku sudah di Rumah Pohon bersama Fal.
Ruangan kecil di atas dahan pohon raksasa itu benar-benar seperti ruangan personalku dengan Lavi. Luasnya tak seberapa dan hanya ada dua ruangan utama—atau tiga jika beranda depan dihitung. Ruangan pertama merupakan pintu masuk dari tangga utama, berisi foto anggota tim penyerang—tentu tim penyerang yang sekarang. Di ruangan pertama juga ada jendela terbuka, tempat teropong bertengger untuk melihat bintang. Biasanya bintang terlihat jelas dari sini. Reila suka memakai teropong itu hanya untuk belajar rasi bintang. Dan ruangan kedua, adalah ruangan utama. Ruangan kecil mirip rumah kucing. Dipenuhi bantal-bantal, paling nyaman berbaring di sana sembari memandang jendela terbuka yang mengarah ke hamparan langit dan puncak pohon. Dan itu yang kami sebut ruangan personalku dan Lavi. Ada delapan bingkai berisi foto kami—benar-benar hanya aku dan Lavi. Tidak ada yang protes—karena yang memasan
Posisi Lavi benar-benar tak bisa kurasakan sekuat apa pun memikirkannya.Barangkali itu menjadi salah satu keuntungan untuk detik ini.Seusai Rapat Dewan, Lavi kembali ke markas hanya untuk berkata, “Bubar. Besok kuberitahu apa yang terjadi.”“Kau kelihatan capek,” ujar Dalton. “Berdebat keras?”“Bahan yang diperdebatkan saja tidak ada.”“Dia di atas. Dengan Reila.”“Siapa juga yang bertanya?” Dan Lavi melengos pergi.Lavi berjalan kembali ke gerha, melepas jubah kaptennya, membawanya di tangan seolah itu tas. Rautnya kelihatan lesu. Dia tidak seperti baru selesai debat—biasanya kalau Lavi habis berdebat, dia masih menyimpan sisa-sisa bara api dalam benaknya, jadi ketika selesai Rapat Dewan, dia masih cukup menggebu-gebu. Kali ini tidak seperti itu. Dia hanya lesu, pucat, seperti ingin menangis.Dari pintu masuk kompleks gerha, gerhaku posisinya palin
Kami terlalu lelah untuk bercerita. Jadi, kami tertidur dengan cepat.Namun, ketika pagi tiba, kami benar-benar hampir melewati jam sarapan. Senyum Lavi kembali, raut cerahnya bersinar, matanya berwarna indah, canda tawa yang kupikir sudah teredam itu kembali mekar—dia terus mengoceh seolah tidak ada yang pernah terjadi—dan saat benakku masih mengganjal, dia sama sekali tidak menyinggung tentang itu. Ketika kami membersihkan kekacauan di kamarnya, dia hanya bercerita bagaimana orientasi terjadi selama aku tidak peduli.Dia menceritakan kondisi Calvin setelah latihan tanding—yang sejujurnya tidak terlalu kudengar karena aku terlalu sibuk gelisah atas sifat Lavi yang jauh di luar dugaanku. Dan sejujurnya aku tahu kondisinya. Tara—satu-satunya tim medis yang tidak pernah mengomel atas semua tindakanku—menceritakan semuanya—bahkan sangat detail. Tara juga mengerti aku tidak pernah ingin dengar kondisinya, jadi Tara memberitahuku seolah h
Permainan baru terlihat ujungnya ketika Dalton tiba.Jadi, sebenarnya aku hampir kalah. Ketika adu serangan membuat posisiku seperti sedang senam lantai—posisi pesawat—Profesor Merla membantingku. Aku mengerang, terkejut, dan tangannya langsung mengincar posisi batu. Di sana belum ada tanda-tanda aku kalah—karena aku berhasil menahan tangannya. Namun, tiba-tiba Profesor Merla mengerang, “Sayang, jangan begitu. Sedikit lagi.”Dia menyentil udara di atas wajahku, membuatku bersin.Tanganku terlepas. Profesor Merla menyeringai.Waktu melambat.Ah, tidak. Terambil.“TOLOONGG!” jeritku, putus asa.Dalton menapak di atasku. Dia mengayunkan besi sekuat tenaga ke Profesor Merla. Kalau kena, pasti sangat sakit. Namun, dia berhasil menghindar, dengan cara yang kelewat indah juga. Profesor Merla seperti kertas. Bisa meliuk-liuk.Bodohnya: aku langsung menyerang Dalton.Kupikir dia mau menga
“Padahal sedikit lagi aku menang,” gerutu Dalton.“Kita lawan, bukan kawan,” kataku. Lenganku dipijat keras Isha.“Sebegitu inginnya kalian mengalahkanku?” tanya Profesor Merla.“Sebaiknya kalau mau latihan beritahu yang lain,” sahut Lavi. “Kalian tidak tahu seberapa kagetnya kami saat Forlan tiba-tiba jatuh?”“Sekarang Kapten sudah bisa bicara begitu?” tuntut Dalton. “Dari kemarin ke mana saja? Tidak tahu pacarmu terbakar api cemburu?”“Siapa yang cemburu?” sahutku.“Dia sampai tidak mau mengamati kandidat baru bersamaku,” Tara setuju.“Kubilang aku tidak cemburu,” sergahku.Dokter Gelda menyergah, mengatakan tidak ada luka serius. Tentu saja. Tak ada yang berniat saling melukai—kuanggap serangan Profesor Merla yang sampai membuatku menabrak tiang penyangga gelanggang bukan serangan yang berniat melukai
Sistem penilaian ternyata cukup rumit.Jadi, di markas, Lavi memberiku dua lembaran penilaian. Isinya hanya tabel dan beberapa keterangan yang perlu dipilih. Dua lembar ini kupikir sungguhan dua lembar, tetapi ternyata isinya dua lembar bolak-balik—dan sepuluh rangkap. Secara teknis, empat puluh halaman harus diisi. Aku mengeluh mengapa tidak sejak awal dia menyampaikan ini padaku. Dibilang begitu, dia mengerutkan kening.“Bukannya Tara bilang sudah memberitahumu?”“Aku tidak yakin,” kataku. “Mungkin dia sudah memberitahu, tapi aku tidak menangkap maksudnya.”“Kalau begitu, kau tidak berhak protes.”“Tapi kau tidak memberitahu.”“Sudahlah. Kita bisa kejar hari ini. Aku membantumu.”Kali ini dia menarikku ke gelanggang—tempat para kandidat baru sedang menyesuaikan diri dengan latihan. Lavi bilang Dhiena dan Lukas sudah tidak lagi bertugas sejak lama.
Sore itu, aku dan Lavi bersantai di Rumah Pohon. Aku mencoba memainkan gitar Dalton—belakangan aku menyukai gitar, Lavi sampai memuji betapa aku luar biasa dalam belajar sesuatu. Aku mulai belajar sejak tiba di Padang Anushka, dan sekarang aku sudah bisa memainkan alunan musik hangat untuk Lavi. Ketika aku memainkan jariku berpindah dari satu kunci ke kunci lain, Lavi memejamkan mata, terhanyut pada petikan merdu. Sejujurnya aku juga kaget bisa melakukannya.Namun, permainan gitar tidak berlangsung selamanya. Ketika aku bercerita semua yang terjadi di tim tungku, Dalton memanggilku dari bawah. Lavi jengkel—dia memang tidak suka diganggu kalau sudah di Rumah Pohon—tetapi ketika aku muncul dari beranda, Dalton cukup serius.“Aku mau ke Berlin. Mau ikut?”Aku bahkan hampir lupa ada Berlin di Padang Anushka. Sepertinya Dalton selalu ingat. “Ada Lavi. Kecuali kau tidak keberatan dia ikut, aku tidak mau.”“Ajak sa
“Normalnya, kandidat butuh satu dua bulan sampai penilaian membuktikan mereka pantas memilih,” ujar Jesse. “Tapi mereka langka.”“Sebenarnya aku lebih langka,” protesku.“Kau itu bentuk kemalasan dewan. Beda persoalan.”“Kuanggap itu permintaan maaf.”Setidaknya, aku bangga dia mengakui kemalasan semua personil yang saat itu terlibat di masa orientasiku.Ini pembicaraan rahasia yang sudah sekian kali antara aku, Kara, Jesse dan Jenderal. Jenderal terus meminta perkembangan pembongkaran laptop—yang kini bertemu tantangan terbesar lagi. “Di antara kandidat baru ada yang mengenal dekat algoritma, tapi percuma kalau kita tidak bisa masuk ke panel programnya.”“Panel?” kataku.“Intinya, harus dibuka dengan kata sandi. Tapi tidak ada yang tahu. Kurasa Fal mengerti sesuatu—aku tahu, mustahil dia mengingat sesuatu dan sangat bahaya membuatnya
Aku memaksa Lavi meminta maaf pada Hela.Yang sebenarnya sudah dilakukan Lavi, tetapi aku tidak percaya kalau tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jadi, Lavi merangkul Hela—yang kurasa tidak pernah dilakukan Lavi, jadi Hela terkejut sampai merona. Dan dia tersenyum malu seolah tidak menyangka Lavi akan memeluknya. Setelahnya, Lavi yang malu. Hela bilang, “Kau jadi orang yang beda kalau ada Forlan.”Sepertinya Lavi sudah minta maaf, tetapi Hela tetap takut padanya.Jadi, ketika Lavi disibukkan oleh Hanna—tentunya seputar panahan, Hela mendengar semua penjelasanku tentang Lavi. Setidaknya, dia harus tahu kalau Lavi tidak bermaksud seperti itu, dan kalau memang ada yang perlu disalahkan setelah Lavi bersikap seperti itu—aku orangnya. Hela hanya tertawa, berkata, “Sekarang aku mengerti kenapa Lavi sangat mencintaimu. Kalian benar-benar dipenuhi cinta seperti bukan di garis terdepan.”“Tapi yang kukatak
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak