“Padahal sedikit lagi aku menang,” gerutu Dalton.
“Kita lawan, bukan kawan,” kataku. Lenganku dipijat keras Isha.
“Sebegitu inginnya kalian mengalahkanku?” tanya Profesor Merla.
“Sebaiknya kalau mau latihan beritahu yang lain,” sahut Lavi. “Kalian tidak tahu seberapa kagetnya kami saat Forlan tiba-tiba jatuh?”
“Sekarang Kapten sudah bisa bicara begitu?” tuntut Dalton. “Dari kemarin ke mana saja? Tidak tahu pacarmu terbakar api cemburu?”
“Siapa yang cemburu?” sahutku.
“Dia sampai tidak mau mengamati kandidat baru bersamaku,” Tara setuju.
“Kubilang aku tidak cemburu,” sergahku.
Dokter Gelda menyergah, mengatakan tidak ada luka serius. Tentu saja. Tak ada yang berniat saling melukai—kuanggap serangan Profesor Merla yang sampai membuatku menabrak tiang penyangga gelanggang bukan serangan yang berniat melukai
Sistem penilaian ternyata cukup rumit.Jadi, di markas, Lavi memberiku dua lembaran penilaian. Isinya hanya tabel dan beberapa keterangan yang perlu dipilih. Dua lembar ini kupikir sungguhan dua lembar, tetapi ternyata isinya dua lembar bolak-balik—dan sepuluh rangkap. Secara teknis, empat puluh halaman harus diisi. Aku mengeluh mengapa tidak sejak awal dia menyampaikan ini padaku. Dibilang begitu, dia mengerutkan kening.“Bukannya Tara bilang sudah memberitahumu?”“Aku tidak yakin,” kataku. “Mungkin dia sudah memberitahu, tapi aku tidak menangkap maksudnya.”“Kalau begitu, kau tidak berhak protes.”“Tapi kau tidak memberitahu.”“Sudahlah. Kita bisa kejar hari ini. Aku membantumu.”Kali ini dia menarikku ke gelanggang—tempat para kandidat baru sedang menyesuaikan diri dengan latihan. Lavi bilang Dhiena dan Lukas sudah tidak lagi bertugas sejak lama.
Sore itu, aku dan Lavi bersantai di Rumah Pohon. Aku mencoba memainkan gitar Dalton—belakangan aku menyukai gitar, Lavi sampai memuji betapa aku luar biasa dalam belajar sesuatu. Aku mulai belajar sejak tiba di Padang Anushka, dan sekarang aku sudah bisa memainkan alunan musik hangat untuk Lavi. Ketika aku memainkan jariku berpindah dari satu kunci ke kunci lain, Lavi memejamkan mata, terhanyut pada petikan merdu. Sejujurnya aku juga kaget bisa melakukannya.Namun, permainan gitar tidak berlangsung selamanya. Ketika aku bercerita semua yang terjadi di tim tungku, Dalton memanggilku dari bawah. Lavi jengkel—dia memang tidak suka diganggu kalau sudah di Rumah Pohon—tetapi ketika aku muncul dari beranda, Dalton cukup serius.“Aku mau ke Berlin. Mau ikut?”Aku bahkan hampir lupa ada Berlin di Padang Anushka. Sepertinya Dalton selalu ingat. “Ada Lavi. Kecuali kau tidak keberatan dia ikut, aku tidak mau.”“Ajak sa
“Normalnya, kandidat butuh satu dua bulan sampai penilaian membuktikan mereka pantas memilih,” ujar Jesse. “Tapi mereka langka.”“Sebenarnya aku lebih langka,” protesku.“Kau itu bentuk kemalasan dewan. Beda persoalan.”“Kuanggap itu permintaan maaf.”Setidaknya, aku bangga dia mengakui kemalasan semua personil yang saat itu terlibat di masa orientasiku.Ini pembicaraan rahasia yang sudah sekian kali antara aku, Kara, Jesse dan Jenderal. Jenderal terus meminta perkembangan pembongkaran laptop—yang kini bertemu tantangan terbesar lagi. “Di antara kandidat baru ada yang mengenal dekat algoritma, tapi percuma kalau kita tidak bisa masuk ke panel programnya.”“Panel?” kataku.“Intinya, harus dibuka dengan kata sandi. Tapi tidak ada yang tahu. Kurasa Fal mengerti sesuatu—aku tahu, mustahil dia mengingat sesuatu dan sangat bahaya membuatnya
Aku memaksa Lavi meminta maaf pada Hela.Yang sebenarnya sudah dilakukan Lavi, tetapi aku tidak percaya kalau tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jadi, Lavi merangkul Hela—yang kurasa tidak pernah dilakukan Lavi, jadi Hela terkejut sampai merona. Dan dia tersenyum malu seolah tidak menyangka Lavi akan memeluknya. Setelahnya, Lavi yang malu. Hela bilang, “Kau jadi orang yang beda kalau ada Forlan.”Sepertinya Lavi sudah minta maaf, tetapi Hela tetap takut padanya.Jadi, ketika Lavi disibukkan oleh Hanna—tentunya seputar panahan, Hela mendengar semua penjelasanku tentang Lavi. Setidaknya, dia harus tahu kalau Lavi tidak bermaksud seperti itu, dan kalau memang ada yang perlu disalahkan setelah Lavi bersikap seperti itu—aku orangnya. Hela hanya tertawa, berkata, “Sekarang aku mengerti kenapa Lavi sangat mencintaimu. Kalian benar-benar dipenuhi cinta seperti bukan di garis terdepan.”“Tapi yang kukatak
Yang paling terkejut justru Hela. “A-Aku tidak tahu kalau bisa memanggil senjata! Loh? Kok, bisa? Kenapa, ya?”Dia keheranan melihat pedangnya sendiri. Nuel semakin bertanya-tanya apa yang sudah dia lakukan dengan kemampuannya sampai tidak tahu bisa melakukan itu. Hela bilang, di organisasi dia jarang memakai kemampuannya—ada beberapa pemilik kemampuan sepertinya, tetapi mereka bukan golongan mayoritas. Hampir semua pemilik kemampuan di sana bernasib seperti dirinya.“Lalu untuk apa pasukan itu dibuat?” tanya Nuel, langsung topik sensitif.“Kami tahu sistem organisasi sangat aneh,” ujar Hela. “Tapi—memangnya apa yang bisa kami perbuat? Kami mendaftar karena ingin membela tanah kelahiran kami. Tidak ada yang tahu kalau ternyata pasukan penjaga hanya ladang bisnis.”Suasananya mulai muram.Nuel juga semakin bertanya, tetapi di tengah proses itu, ada seseorang yang menepuk-nepuk bahuku. Aku m
Lavi duduk di sebelah Hanna.Hanna terlalu tercengang untuk mengulang semua kata-katanya. Jadi, aku yang mengulanginya, sangat rinci—yang sampai membuat Hanna terkejut. “Forlan pendengar yang baik,” gumamnya, pada Emy, yang terlalu keras. Aku pura-pura tidak mendengarnya, meski aku sempat menoleh pada Theo, dan dia juga dengar.Lavi berhasil mengerti masalahnya.“Siapa pun yang mengatakan itu padamu,” ucap Lavi, “dia takkan selamat kalau ketahuan kami.” Aku ingin pura-pura tidak tahu siapa yang dia maksud kami, tetapi dia menyebut namaku. “Terutama Forlan. Dia pembela hak wanita.”“Kau terlalu tinggi menilaiku.”“Dan kau tidak perlu cemas penghuni akan mengatakan itu padamu,” imbuh Lavi. “Mungkin nantinya akan ada penghuni yang merayumu mati-matian seolah tidak ada lagi cewek selain dirimu, tapi percayalah—akan ada juga golongan cowok yang tidak hanya merayumu
Akhirnya aku punya waktu menemani Fal lagi.Kali ini dia di perpustakaan. Kami duduk di lantai atas, di meja terpisah dari Reila yang mendapat penjelasan dari Profesor Merla. Dan di meja terpisah lain juga ada sosok manusia yang semestinya sangat sulit ke perpustakaan, kecuali aku bisa menyeretnya dengan alibi menyelidiki sesuatu: Dalton. Dia duduk sendiri, berhasil tenggelam ke buku ajar. Ketika aku datang, aku menyapanya, lalu mendapati sedikit bagian buku yang terpantul di mataku: aksara kuno. Belakangan, setelah tahu kalau aksara kuno sangat berhubungan dengan pemilik keganjilan, dia kembali menggali kemampuan baca tulisnya yang mulai terpendam.Kemudian aku menghampiri Reila dan Profesor Merla. Mereka membahas perhitungan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Reila bilang, “Kalkulus.”“Mantra apa itu?” tanyaku.“Perhitungan. Integral, turunan, dan lain-lain.”Kuputuskan pergi, menghampiri Fal yang duduk bers
Keesokan paginya, aku bangun, menghampiri kotak makan Pita, memberi segumpal makanan sampai kotak makannya penuh—dia menghampiri, mengusap kakiku dengan kepalanya seolah mengucap terima kasih, lalu dia menyantapnya. Aku duduk di sisinya, mengusap pelan bulunya meski dia sedang makan. Dia tidak terlalu terganggu, hanya tetap menyantapnya dengan normal.Mentari pagi bersinar menembus jendela belakang. Aku berdiri, mengambil kotak makan Pita—dia mengeong protes, tetapi ketika aku berjalan, dia mengikuti. Aku meletakkannya di beranda belakang, duduk, lalu dia kembali makan.Puas dengan makanannya, dia melompat ke pangkuanku dan bersantai. Pita jarang duduk di pangkuanku. Dia lebih suka di pangkuan Reila atau Fal. Aku pernah memaksanya duduk di pangkuanku dan dia langsung mencakar seolah aku musuh alaminya. Kurasa dia dendam sejak aku selalu memandikannya. Akhir-akhir ini dia baru melunak. Tiba-tiba dia tidak lagi jual mahal untuk duduk di atasku.Aku men