Yang paling terkejut justru Hela. “A-Aku tidak tahu kalau bisa memanggil senjata! Loh? Kok, bisa? Kenapa, ya?”
Dia keheranan melihat pedangnya sendiri. Nuel semakin bertanya-tanya apa yang sudah dia lakukan dengan kemampuannya sampai tidak tahu bisa melakukan itu. Hela bilang, di organisasi dia jarang memakai kemampuannya—ada beberapa pemilik kemampuan sepertinya, tetapi mereka bukan golongan mayoritas. Hampir semua pemilik kemampuan di sana bernasib seperti dirinya.
“Lalu untuk apa pasukan itu dibuat?” tanya Nuel, langsung topik sensitif.
“Kami tahu sistem organisasi sangat aneh,” ujar Hela. “Tapi—memangnya apa yang bisa kami perbuat? Kami mendaftar karena ingin membela tanah kelahiran kami. Tidak ada yang tahu kalau ternyata pasukan penjaga hanya ladang bisnis.”
Suasananya mulai muram.
Nuel juga semakin bertanya, tetapi di tengah proses itu, ada seseorang yang menepuk-nepuk bahuku. Aku m
Lavi duduk di sebelah Hanna.Hanna terlalu tercengang untuk mengulang semua kata-katanya. Jadi, aku yang mengulanginya, sangat rinci—yang sampai membuat Hanna terkejut. “Forlan pendengar yang baik,” gumamnya, pada Emy, yang terlalu keras. Aku pura-pura tidak mendengarnya, meski aku sempat menoleh pada Theo, dan dia juga dengar.Lavi berhasil mengerti masalahnya.“Siapa pun yang mengatakan itu padamu,” ucap Lavi, “dia takkan selamat kalau ketahuan kami.” Aku ingin pura-pura tidak tahu siapa yang dia maksud kami, tetapi dia menyebut namaku. “Terutama Forlan. Dia pembela hak wanita.”“Kau terlalu tinggi menilaiku.”“Dan kau tidak perlu cemas penghuni akan mengatakan itu padamu,” imbuh Lavi. “Mungkin nantinya akan ada penghuni yang merayumu mati-matian seolah tidak ada lagi cewek selain dirimu, tapi percayalah—akan ada juga golongan cowok yang tidak hanya merayumu
Akhirnya aku punya waktu menemani Fal lagi.Kali ini dia di perpustakaan. Kami duduk di lantai atas, di meja terpisah dari Reila yang mendapat penjelasan dari Profesor Merla. Dan di meja terpisah lain juga ada sosok manusia yang semestinya sangat sulit ke perpustakaan, kecuali aku bisa menyeretnya dengan alibi menyelidiki sesuatu: Dalton. Dia duduk sendiri, berhasil tenggelam ke buku ajar. Ketika aku datang, aku menyapanya, lalu mendapati sedikit bagian buku yang terpantul di mataku: aksara kuno. Belakangan, setelah tahu kalau aksara kuno sangat berhubungan dengan pemilik keganjilan, dia kembali menggali kemampuan baca tulisnya yang mulai terpendam.Kemudian aku menghampiri Reila dan Profesor Merla. Mereka membahas perhitungan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Reila bilang, “Kalkulus.”“Mantra apa itu?” tanyaku.“Perhitungan. Integral, turunan, dan lain-lain.”Kuputuskan pergi, menghampiri Fal yang duduk bers
Keesokan paginya, aku bangun, menghampiri kotak makan Pita, memberi segumpal makanan sampai kotak makannya penuh—dia menghampiri, mengusap kakiku dengan kepalanya seolah mengucap terima kasih, lalu dia menyantapnya. Aku duduk di sisinya, mengusap pelan bulunya meski dia sedang makan. Dia tidak terlalu terganggu, hanya tetap menyantapnya dengan normal.Mentari pagi bersinar menembus jendela belakang. Aku berdiri, mengambil kotak makan Pita—dia mengeong protes, tetapi ketika aku berjalan, dia mengikuti. Aku meletakkannya di beranda belakang, duduk, lalu dia kembali makan.Puas dengan makanannya, dia melompat ke pangkuanku dan bersantai. Pita jarang duduk di pangkuanku. Dia lebih suka di pangkuan Reila atau Fal. Aku pernah memaksanya duduk di pangkuanku dan dia langsung mencakar seolah aku musuh alaminya. Kurasa dia dendam sejak aku selalu memandikannya. Akhir-akhir ini dia baru melunak. Tiba-tiba dia tidak lagi jual mahal untuk duduk di atasku.Aku men
Aku jarang memperlakukannya sebagai adik—aku bersumpah mencobanya berulang kali, tetapi Reila juga tidak suka kalau aku berlebihan—menurutnya, aku memperlakukannya sebagai adik adalah hal berlebihan. Sayangnya, untuk kali ini aku ingin memanjakannya selayaknya dulu aku sering menemaninya. Reila tidak kelihatan ingin protes. Kali ini dia menurut.Pagi itu aku membuatkannya sarapan. Hanya ada kami—ditambah Falcon dan Pita—tentu juga Fin—tetapi mereka sedang bercengkerama sejauh yang bisa dilakukan kucing, alap-alap kawah, dan roh alam. Hewan lebih peka pada eksistensi roh alam. Mereka bisa menyadari keberadaan Fin, tetapi dipisahkan jurang bahasa. Jadi, ketika mereka di selasar belakang, aku membuatkan menu komplit.Bukan ikan bakar—sumpah.Kami menyantapnya di ruang tengah, bercengkerama hal-hal normal yang bisa dibicarakan. Barangkali tentang kesulitannya pada pelajaran Profesor Merla—dan itu topik yang bagus karena dia
Tiga hari kemudian, akhirnya Jesse punya laporan.Jesse memberi kabar singkat—personal padaku ketika dia memanggilku ke ruangannya. “Empat hari lagi. Nanti malam Rapat Dewan.”Malamnya, itu sungguhan terjadi. Bahkan di tengah hujan.Lavi memanggil kami ke markas. Ketika dia bilang, “Sekarang pasti berniat membicarakan kelulusan, jadi—” Elang Nadir hinggap di beranda markas. Dalton bergegas menghampiri, mengambil surat undangan sebelum basah. Biasanya kalau surat undangan datang dari Elang Nadir, isinya mengundang semua anggota.Namun, Dalton mengumumkan. “Semua tim penyerang diundang ke Rapat Dewan, kecuali nama berikut: Forlan.”“Apa?” protes Lavi. “Apa maksudnya?”“Tidak tahu. Itu yang tertulis.”Lavi langsung merebut amplop. Tampaknya isi suratnya memang benar. Dia protes lagi. “Kenapa Forlan tidak diundang? Justru dia harusnya ikut!”
Untuk pertama kalinya, pembicaraanku dengan Ratu Arwah tidak berakhir ketika matahari terbit. Banyak yang perlu dibicarakan dan Ratu Arwah meladeninya seolah tidak ada sesuatu yang membuatnya terburu-buru kembali.“Aku tidak punya mata di alam liar, Forlan. Aku berterima kasih apabila kau membagikan pengetahuanmu padaku.”Itu yang membuatku menceritakan semua yang terjadi sejak gubuk hutan.Ketika aku bertanya tentang Sendi, Ratu Arwah mengangguk. “Sudah sejak lama aku tahu sistem itu muncul. Dulu Aza berhasil menghancurkan semua Sendi. Sayangnya, asumsimu tepat. Sistem dalam musuh tidak hanya Sendi. Bila kita tahu seluruh pasukannya, kita tidak akan mampu melawannya. Karena itu, Forlan, kita perlu mendekat secara perlahan. Sistem Sendi bukan prioritas utama. Sebanyak apa pun kita menghancurkannya, mereka akan membangunnya lagi.”Aku belum pernah melawan satu Sendi, tetapi membayangkan Aza hampir menghancurkan semua Sendi—tet
Ketika kesadaranku kembali ke Padang Anushka, jam sarapan telah lewat. Aku, secara teknis, terbangun di jam paling terlambat.Aku terbangun di kamar markas. Awalnya tidak ada siapa-siapa, tetapi saat kuputuskan mencari sesuatu yang bisa kusantap di dapur markas, kusadari ada teko tengah menyala. Di bak pencucian juga ada bekas-bekas memasak seolah seseorang baru selesai membuat kue. Kemudian baru kusadari bahwa ruang tengah kelihatan baru ditempati seseorang. Dan tampaknya dia tengah menyelidiki sesuatu. Banyak lembaran berserakan di sofa santai.Aku tidak ingin bertemu seseorang sebelum mandi, jadi aku mandi.Maka ketika kembali memasuki ruang tengah, bekas-bekas kehidupan yang kulihat telah menampakkan wujudnya. Tiba-tiba apa yang terjadi semalam terlintas di kepalaku—suara-suara samar Reila yang kudengar ketika setengah tertidur atau bahkan hal-hal lain yang bisa kurasakan dari batu yang mengikat kami.Hanya ada Lavi di sofa santai. Dia dud
Ketika aku mencuci piring, Lavi menjelaskan kondisi Rapat Dewan.“Aku juga berangkat misi tiga hari lagi. Misi pengawalan. Ada kandidat lagi yang datang dari Lembah Palapa. Di satu waktu, aku juga mengantar kandidat yang lulus. Dan kebenarannya, aku tidak tahu kalau kau mau berangkat misi di hari yang sama. Tidak ada yang bilang itu di Rapat Dewan. Saat aku bertanya pun, Jenderal yang langsung menjawab—ada keperluan khusus yang harus kau lakukan.”Aku terkejut. “Berarti kalau aku tidak bicara, kau tidak tahu?”“Itu yang Jenderal bilang. Kalau kau saja tidak mengatakannya padaku, itu artinya aku memang orang luar yang tidak berhak tahu.”Aku agak kehilangan reaksi. “Itu... keterlaluan.”“Tapi aku tidak protes—sungguh. Kau pikir aku protes, kan?”“Biasanya kau memang protes.”“Aku tahu beberapa hari terakhir kau sering di gubuk Jenderal. Tapi, yah,
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da