Ketika aku mencuci piring, Lavi menjelaskan kondisi Rapat Dewan.
“Aku juga berangkat misi tiga hari lagi. Misi pengawalan. Ada kandidat lagi yang datang dari Lembah Palapa. Di satu waktu, aku juga mengantar kandidat yang lulus. Dan kebenarannya, aku tidak tahu kalau kau mau berangkat misi di hari yang sama. Tidak ada yang bilang itu di Rapat Dewan. Saat aku bertanya pun, Jenderal yang langsung menjawab—ada keperluan khusus yang harus kau lakukan.”
Aku terkejut. “Berarti kalau aku tidak bicara, kau tidak tahu?”
“Itu yang Jenderal bilang. Kalau kau saja tidak mengatakannya padaku, itu artinya aku memang orang luar yang tidak berhak tahu.”
Aku agak kehilangan reaksi. “Itu... keterlaluan.”
“Tapi aku tidak protes—sungguh. Kau pikir aku protes, kan?”
“Biasanya kau memang protes.”
“Aku tahu beberapa hari terakhir kau sering di gubuk Jenderal. Tapi, yah,
Keputusan para kandidat sudah final. Kara memanggil semua kapten.Semestinya aku tidak ikut, tetapi dengan kebijakan Lavi yang semestinya melanggar aturan, dia membiarkanku menemaninya. Haswin datang bersama satu set perlengkapan memancing—dulu dia tidak memilikinya, tetapi setelah Profesor Merla tahu kegemarannya pada memancing, dia memberikan satu set peninggalan suaminya secara cuma-cuma. Haswin menerimanya layaknya harta karun.“Aku tidak terlalu suka mancing, bikin bosan, tapi Forlan membuatku suka, dan tiba-tiba aku sudah jauh lebih menyukai memancing darinya,” ujarnya.Dia kaget melihatku sudah di gelanggang.“Kau bangun?” tanyanya.“Seperti yang kau lihat.”“Tadi Lavi mengusirku. Kupikir aku mengganggu proses suci.”Itu ungkapan terseram yang harus dia ucapkan di gelanggang. Tengkukku merinding. Bulu kudukku berdiri. Beruntungnya tidak ada yang terlalu mendengar, tetapi aku
“Sepertinya kita harus buat peringkat diva terbaru,” cetus Haswin, berhasil melempar satu kail. Dan secara teknis, dia mengatakan itu ketika ada Lavi di kano yang sama—tepat di sampingnya. Dalton dan Yasha langsung melotot padanya—seolah itu hal terjauh yang bisa mereka lakukan, dan aku juga menggertakkan gigi diam-diam menatap Haswin dengan cara paling pelan.Haswin menoleh. Di detik itu dia baru sadar lagi ada Lavi di sampingnya. Darah dinginnya langsung naik ke kepala sampai rautnya pucat.Secara teknis, kami diam. Lavi menghadap arah yang berbeda dari Haswin. Aku menghadap arah yang sama dengan Haswin—berhadapan dengan Dalton dan Yasha. Mereka berdua di kano berbeda, sementara aku, Lavi, dan Haswin di kano paling besar. Jadi, kami saling membisu menatap satu sama lain seolah salah satu dari kami baru ketahuan pipis di danau oleh cewek paling cantik. Secara teknis, Lavi masih sibuk melempar kail ke arah yang tepat. Tampaknya dia tidak t
Kami membawa boks yang terbuat dari campuran perak dan besi berkilau itu ke daratan—merapat lebih cepat dari kano Dalton, Yasha, dan Lavi. Sepertinya karena mereka melihat kami merapat, mereka juga bergegas merapat.“Katakan padaku ini bukan mimpi,” kata Haswin, menyambut mereka.“Boks apa itu?” tanya Yasha.“Em, ikan,” jawabku. Dadaku masih berdebar-debar.“Kau pakai kemampuanmu?” tanya Dalton, menyambar boks. Lavi tertarik ikut melihat dan mereka langsung terkejut mendapati isi boks itu jauh lebih penuh dari semestinya. Dalton sampai menjatuhkan boks saking terkejutnya.“B-Bagaimana bisa?!” tuntutnya.“Katakan padaku ini bukan mimpi,” ulang Haswin.“Apa yang terjadi?” tanya Lavi. “Kemampuan barumu?”“B-Bukan,” jawabku.“Astaga.” Haswin menghela napas panjang. “Ini bukan mimpi.”
Besok malamnya, pesta api unggun berlangsung lebih meriah dari biasanya.Barangkali karena dua hal penting: pertama, kami merayakan kelulusan dan peresmian kandidat baru—terlepas ada delapan kandidat yang punya status dilepas alias dibuang, kami tetap menganggapnya kelulusan—kedua, karena ini pesta api unggun pertama yang dilakukan di kompleks gerha. Sumur tua yang menjadi titik tengah pekarangan sudah hilang, digantikan tungku raksasa—yang jauh lebih besar dari yang pernah ada di kompleks asrama. Api berkobar. Asap membumbung tinggi bersama riuh tawa para penghuni yang bersenang-senang. Di sekitar tungku raksasa ada api unggun kecil tempat para penghuni membakar bahan mentah. Secara teknis, pekarangan kompleks gerha lebih besar dari kompleks asrama, tetapi jarak antara penghuni justru tidak begitu lebar. Joglo bersinar begitu megah, anak tangga yang biasanya kosong kini dipenuhi penghuni yang bercengkerama. Sekarang tangga itu menjadi tempat duduk dewan. Ad
Haswin memintaku datang ke pondok utama keesokan harinya.Secara teknis, aku dan Lavi selalu bersama, jadi aku memintanya agar tidak ikut saat ingin berangkat ke pondok utama. Kupikir dia menuntut sampai bertanya-tanya, tetapi ternyata dia menurut sangat mudah. “Aku di gerhamu. Main sama Fal. Sudah lama aku tidak mengelus Pita.”Itu membuatku tercengang. Dia tertawa ketika kubilang aku sudah berpikir dia akan memaksa ikut. “Ya ampun. Kau pikir aku penjagamu?”Kalau kupikir lagi, Lavi memang seperti itu.Belakangan dia hanya terlalu banyak memikirkan hal idiot—sejujurnya aku juga—jadi Lavi terkesan berbeda. Lavi yang sebenarnya tidak akan membiarkanku terkekang sesuatu. Dia membebaskanku, bahkan alih-alih melarang melakukan hal idiot, dia tipe yang akan ikut melakukan hal idiot—bahkan mendukung keras.Tampaknya yang berpikir Lavi ikut bukan hanya aku. Pondok utama tidak terlalu berubah—jadi di ruangan
Dua hari sebelum keberangkatan, malamnya Lavi tertidur di gerhaku. Saat itu memang tengah malam dan dia sudah meladeni permainan Fal sepanjang hari—mulai dari kejar-kejaran, bermain tanah, atau apa pun. Wajar dia kelelahan.“Tidakkah dia tahu aku bisa menyerangnya kalau ketiduran di sini?” kataku, mengangkatnya ke kamar. “Manis sekali dia saat tidur.”“Itu hal paling tabu yang harus diucapkan di depan adik,” kata Reila.Namun, aku tidak melakukan hal tabu seperti yang dipikirkan Reila. Hanya menyelimuti Lavi, lalu kembali duduk di sofa ruang tengah, menghabiskan kentang goreng yang dibuat Lavi. Sudah dingin—tentu saja—tetapi rasanya masih enak.“Tidak tidur?” tanyaku.“Belum mengantuk,” jawab Reila, melamun.“Lebih baik tidur daripada melamun.”“Lebih baik taruh piring itu di sini, aku juga mau.”Dia menyantap kentang sembari m
Seingatku, aku tengah mimpi indah yang aneh.Jadi, aku sedang membuat istana pasir raksasa. Dan aku melakukannya di kotak pasir bawah ayunan Rumah Pohon—entah, semestinya melihat skala istana yang kubuat, pasir ayunan tidak akan cukup, tetapi aku tidak mementingkan logika itu terutama karena tidak sadar tengah bermimpi. Pokoknya, tiba-tiba aku berhasil membuat tembok benteng raksasa yang mengelilingi istana enam menara tinggi. Itu salah satu mahakarya terbaikku—dan aku belum sadar kalau sedang bermimpi. Aku membuatnya dari campuran pasir dan air, membuatnya sangat lama—entah, kurasa aku tidak menghitung berapa lama pembuatannya—karena logika itu tidak berlaku di mimpi. Aku sudah menjerit bahagia, mengambil kamera, berniat memotret istana pasir itu dari segala arah saat tiba-tiba pegasus muncul mendobrak benteng raksasa tanpa bersalah. Aku menjerit, patah hati, hampir menuntut, tetapi pegasus itu lebih dulu berkata, “Ada Ratu Arwah.”
Lokasi keluar kami tidak strategis. Kami di perbukitan penuh jurang terjal.Namun, Kara bersama kami—yang secara teknis, tidak mengizinkan kami terjun ke bawah. Tiba-tiba saja kami sudah berlari di ketinggian, melintasi batang pohon tinggi seolah-olah udara bisa dipijak. Awalnya aku terkejut—kupikir dalam detik kesepuluh aku melompat ke alam liar, aku benar-benar akan terjun ke dasar jurang yang terjal—dan, secara teknis, aku dan Dalton sudah di udara ketika mereka masih di belakang. Kara langsung bertindak cepat, sehingga tiba-tiba aku berhasil berpijak pada udara, terkejut—mataku juga langsung mengedarkan pandangan—Dalton ternyata bernasib serupa. Bedanya, dia sampai tersungkur. Dia mengerang di belakang, mengusap kepalanya yang terbentur. “Sial, tidak keren sama sekali.”“Maju,” ujar Elton, di atas kami, berlari di udara bersama yang lain.Lavi sempat berhenti, berdiri di udara ketika yang lain tetap berla