Kami membawa boks yang terbuat dari campuran perak dan besi berkilau itu ke daratan—merapat lebih cepat dari kano Dalton, Yasha, dan Lavi. Sepertinya karena mereka melihat kami merapat, mereka juga bergegas merapat.
“Katakan padaku ini bukan mimpi,” kata Haswin, menyambut mereka.
“Boks apa itu?” tanya Yasha.
“Em, ikan,” jawabku. Dadaku masih berdebar-debar.
“Kau pakai kemampuanmu?” tanya Dalton, menyambar boks. Lavi tertarik ikut melihat dan mereka langsung terkejut mendapati isi boks itu jauh lebih penuh dari semestinya. Dalton sampai menjatuhkan boks saking terkejutnya.
“B-Bagaimana bisa?!” tuntutnya.
“Katakan padaku ini bukan mimpi,” ulang Haswin.
“Apa yang terjadi?” tanya Lavi. “Kemampuan barumu?”
“B-Bukan,” jawabku.
“Astaga.” Haswin menghela napas panjang. “Ini bukan mimpi.”
<Besok malamnya, pesta api unggun berlangsung lebih meriah dari biasanya.Barangkali karena dua hal penting: pertama, kami merayakan kelulusan dan peresmian kandidat baru—terlepas ada delapan kandidat yang punya status dilepas alias dibuang, kami tetap menganggapnya kelulusan—kedua, karena ini pesta api unggun pertama yang dilakukan di kompleks gerha. Sumur tua yang menjadi titik tengah pekarangan sudah hilang, digantikan tungku raksasa—yang jauh lebih besar dari yang pernah ada di kompleks asrama. Api berkobar. Asap membumbung tinggi bersama riuh tawa para penghuni yang bersenang-senang. Di sekitar tungku raksasa ada api unggun kecil tempat para penghuni membakar bahan mentah. Secara teknis, pekarangan kompleks gerha lebih besar dari kompleks asrama, tetapi jarak antara penghuni justru tidak begitu lebar. Joglo bersinar begitu megah, anak tangga yang biasanya kosong kini dipenuhi penghuni yang bercengkerama. Sekarang tangga itu menjadi tempat duduk dewan. Ad
Haswin memintaku datang ke pondok utama keesokan harinya.Secara teknis, aku dan Lavi selalu bersama, jadi aku memintanya agar tidak ikut saat ingin berangkat ke pondok utama. Kupikir dia menuntut sampai bertanya-tanya, tetapi ternyata dia menurut sangat mudah. “Aku di gerhamu. Main sama Fal. Sudah lama aku tidak mengelus Pita.”Itu membuatku tercengang. Dia tertawa ketika kubilang aku sudah berpikir dia akan memaksa ikut. “Ya ampun. Kau pikir aku penjagamu?”Kalau kupikir lagi, Lavi memang seperti itu.Belakangan dia hanya terlalu banyak memikirkan hal idiot—sejujurnya aku juga—jadi Lavi terkesan berbeda. Lavi yang sebenarnya tidak akan membiarkanku terkekang sesuatu. Dia membebaskanku, bahkan alih-alih melarang melakukan hal idiot, dia tipe yang akan ikut melakukan hal idiot—bahkan mendukung keras.Tampaknya yang berpikir Lavi ikut bukan hanya aku. Pondok utama tidak terlalu berubah—jadi di ruangan
Dua hari sebelum keberangkatan, malamnya Lavi tertidur di gerhaku. Saat itu memang tengah malam dan dia sudah meladeni permainan Fal sepanjang hari—mulai dari kejar-kejaran, bermain tanah, atau apa pun. Wajar dia kelelahan.“Tidakkah dia tahu aku bisa menyerangnya kalau ketiduran di sini?” kataku, mengangkatnya ke kamar. “Manis sekali dia saat tidur.”“Itu hal paling tabu yang harus diucapkan di depan adik,” kata Reila.Namun, aku tidak melakukan hal tabu seperti yang dipikirkan Reila. Hanya menyelimuti Lavi, lalu kembali duduk di sofa ruang tengah, menghabiskan kentang goreng yang dibuat Lavi. Sudah dingin—tentu saja—tetapi rasanya masih enak.“Tidak tidur?” tanyaku.“Belum mengantuk,” jawab Reila, melamun.“Lebih baik tidur daripada melamun.”“Lebih baik taruh piring itu di sini, aku juga mau.”Dia menyantap kentang sembari m
Seingatku, aku tengah mimpi indah yang aneh.Jadi, aku sedang membuat istana pasir raksasa. Dan aku melakukannya di kotak pasir bawah ayunan Rumah Pohon—entah, semestinya melihat skala istana yang kubuat, pasir ayunan tidak akan cukup, tetapi aku tidak mementingkan logika itu terutama karena tidak sadar tengah bermimpi. Pokoknya, tiba-tiba aku berhasil membuat tembok benteng raksasa yang mengelilingi istana enam menara tinggi. Itu salah satu mahakarya terbaikku—dan aku belum sadar kalau sedang bermimpi. Aku membuatnya dari campuran pasir dan air, membuatnya sangat lama—entah, kurasa aku tidak menghitung berapa lama pembuatannya—karena logika itu tidak berlaku di mimpi. Aku sudah menjerit bahagia, mengambil kamera, berniat memotret istana pasir itu dari segala arah saat tiba-tiba pegasus muncul mendobrak benteng raksasa tanpa bersalah. Aku menjerit, patah hati, hampir menuntut, tetapi pegasus itu lebih dulu berkata, “Ada Ratu Arwah.”
Lokasi keluar kami tidak strategis. Kami di perbukitan penuh jurang terjal.Namun, Kara bersama kami—yang secara teknis, tidak mengizinkan kami terjun ke bawah. Tiba-tiba saja kami sudah berlari di ketinggian, melintasi batang pohon tinggi seolah-olah udara bisa dipijak. Awalnya aku terkejut—kupikir dalam detik kesepuluh aku melompat ke alam liar, aku benar-benar akan terjun ke dasar jurang yang terjal—dan, secara teknis, aku dan Dalton sudah di udara ketika mereka masih di belakang. Kara langsung bertindak cepat, sehingga tiba-tiba aku berhasil berpijak pada udara, terkejut—mataku juga langsung mengedarkan pandangan—Dalton ternyata bernasib serupa. Bedanya, dia sampai tersungkur. Dia mengerang di belakang, mengusap kepalanya yang terbentur. “Sial, tidak keren sama sekali.”“Maju,” ujar Elton, di atas kami, berlari di udara bersama yang lain.Lavi sempat berhenti, berdiri di udara ketika yang lain tetap berla
Kalau aku berpikir itu markas pasukan bertopeng, tampaknya itu salah. Bila dilihat dari sisi mana pun, mereka bukan sedang bertahan. Mereka menyerang. Tak terlihat jelas berapa banyak, tetapi mereka bertempur melawan pasukan berjubah.Jenderal ternyata sedang bertempur melawan pemilik kemampuan. Tak bisa terlihat jelas dari posisi kami, tetapi cukup jelas Jenderal sibuk.Sejujurnya kami ingin membantu, tetapi posisi kami bahkan juga buruk.Seseorang dengan jubah hitam tiba di ujung tebing—orang yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dia langsung mengayunkan kaki ketika kami sibuk mengamati pertempuran di bawah jurang. Dia laki-laki berambut gondrong yang punya wajah penuh bekas luka. Dia menendangku, menjerit sangat keras. Matanya membara.“KENAPA PADANG ANUSHKA DI SINI JUGA?!”Tendangannya sangat keras seolah-olah kakinya terbuat dari besi. Tekanan dari sepakan keras membuatku terhempas ke bawah tebing. Laki-laki itu menapak, kemudi
Lavi sempat bingung mengapa aku seperti baru tersiksa, tetapi tidak terlihat ada luka di sekujur tubuhku. Dilihat dari reaksinya, tampaknya dia belum tahu aku baru adu pedang dengan dua musuh sekaligus—kuanggap pasukan topeng karakter sebagai musuh karena aku belum tahu apa tujuannya.Namun, aku memberitahu semuanya dalam sekejap pada Lavi.Tentunya tidak semudah itu. Di sekitar kami juga ada monster. Jadi, ketika aku melaporkan semua ke kepala Lavi, kami juga menghabisi monster.“Aku juga bertemu mereka,” kata Lavi.“Apa? Kapan?”“Tadi. Dia membantu menghabisi musuh yang menyerang kita. Aku hampir menang, tapi si topeng karakter datang memukul jatuh si musuh ke bawah. Dia juga sempat bicara. Tadinya tidak terlalu kudengar, tapi sepertinya aku paham apa yang dia ucapkan. Semacam: bukan musuh itu yang harus kuhadapi.”Obrolan kami sempat terhenti karena pasukan kelelawar raksasa menerjang kami. Agakny
“Lavi, izinkan aku melakukan hal brutal,” kataku.“Oke. Kuberi sedikit bantuan.”Di tengah pertempuran, Fin cukup berguna—bahkan lebih dari berguna. Dia eksistensi yang bersama alam, bisa mengumpulkan energi, dan lebih hebat lagi, dia bisa menyalurkannya padaku. Aku tidak mengerti bagaimana konsep kekuatan bagi roh alam, tetapi Fin bilang sudah lebih leluasa meningkatkan kekuatan di kondisi tidak stabil—seperti medan tempur penuh monster. Dia juga bilang kalau roh alam pendamping Akshaya termasuk yang paling kuat di antara roh alam. Aku baru tahu ada sistem peringkat kekuatan juga di antara roh alam.Jadi, ketika aku mengumpulkan energi, Fin juga membantuku. Tampaknya itu cukup membuat Lavi bergidik—dia cukup sensitif dengan energi. Kuputuskan berjongkok, menempelkan tanganku ke tanah. Aku bisa merasakan banyak energi di segala arah—tanda bahwa pertempuran belum ada tanda surut. Monster sedikit demi sedikit terus b
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak