Kalau aku berpikir itu markas pasukan bertopeng, tampaknya itu salah. Bila dilihat dari sisi mana pun, mereka bukan sedang bertahan. Mereka menyerang. Tak terlihat jelas berapa banyak, tetapi mereka bertempur melawan pasukan berjubah.
Jenderal ternyata sedang bertempur melawan pemilik kemampuan. Tak bisa terlihat jelas dari posisi kami, tetapi cukup jelas Jenderal sibuk.
Sejujurnya kami ingin membantu, tetapi posisi kami bahkan juga buruk.
Seseorang dengan jubah hitam tiba di ujung tebing—orang yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dia langsung mengayunkan kaki ketika kami sibuk mengamati pertempuran di bawah jurang. Dia laki-laki berambut gondrong yang punya wajah penuh bekas luka. Dia menendangku, menjerit sangat keras. Matanya membara.
“KENAPA PADANG ANUSHKA DI SINI JUGA?!”
Tendangannya sangat keras seolah-olah kakinya terbuat dari besi. Tekanan dari sepakan keras membuatku terhempas ke bawah tebing. Laki-laki itu menapak, kemudi
Lavi sempat bingung mengapa aku seperti baru tersiksa, tetapi tidak terlihat ada luka di sekujur tubuhku. Dilihat dari reaksinya, tampaknya dia belum tahu aku baru adu pedang dengan dua musuh sekaligus—kuanggap pasukan topeng karakter sebagai musuh karena aku belum tahu apa tujuannya.Namun, aku memberitahu semuanya dalam sekejap pada Lavi.Tentunya tidak semudah itu. Di sekitar kami juga ada monster. Jadi, ketika aku melaporkan semua ke kepala Lavi, kami juga menghabisi monster.“Aku juga bertemu mereka,” kata Lavi.“Apa? Kapan?”“Tadi. Dia membantu menghabisi musuh yang menyerang kita. Aku hampir menang, tapi si topeng karakter datang memukul jatuh si musuh ke bawah. Dia juga sempat bicara. Tadinya tidak terlalu kudengar, tapi sepertinya aku paham apa yang dia ucapkan. Semacam: bukan musuh itu yang harus kuhadapi.”Obrolan kami sempat terhenti karena pasukan kelelawar raksasa menerjang kami. Agakny
“Lavi, izinkan aku melakukan hal brutal,” kataku.“Oke. Kuberi sedikit bantuan.”Di tengah pertempuran, Fin cukup berguna—bahkan lebih dari berguna. Dia eksistensi yang bersama alam, bisa mengumpulkan energi, dan lebih hebat lagi, dia bisa menyalurkannya padaku. Aku tidak mengerti bagaimana konsep kekuatan bagi roh alam, tetapi Fin bilang sudah lebih leluasa meningkatkan kekuatan di kondisi tidak stabil—seperti medan tempur penuh monster. Dia juga bilang kalau roh alam pendamping Akshaya termasuk yang paling kuat di antara roh alam. Aku baru tahu ada sistem peringkat kekuatan juga di antara roh alam.Jadi, ketika aku mengumpulkan energi, Fin juga membantuku. Tampaknya itu cukup membuat Lavi bergidik—dia cukup sensitif dengan energi. Kuputuskan berjongkok, menempelkan tanganku ke tanah. Aku bisa merasakan banyak energi di segala arah—tanda bahwa pertempuran belum ada tanda surut. Monster sedikit demi sedikit terus b
Kening kami masih saling bertemu—entah berapa lama.Napas Lavi lumayan diburu. Semestinya dia minum empon-empon, tetapi tak ada yang bergerak di antara kami. Dia hanya bergumam pelan, “Forlan.” Hanya menyebut nama dan tidak bergerak. Perlahan, aku memberinya energi.Ketenangan juga kembali ke dadaku. Kuputuskan merasakan sekitar.Kosong. Tidak ada apa-apa. Celah lubang yang sangat luas.“Lavi, kau harus minum,” kataku.“...di mana?”“Kita pikirkan itu nanti. Kau harus minum.” Aku meraih milikku karena dia terlalu lama. Meski kegelapan menguasai sekitar, aku tahu letak pasti bibirnya, jadi aku mengarahkan mulut botol ke sana. Dia mengangguk, meneguknya perlahan.Energinya kembali sangat cepat. Dia mulai segar.Dan dia mencengkeram tubuhku, menahan muntah. “HOEK!”“Oke,” kataku, “jangan muntah di punggungku.”.Aku bisa merasaka
Mereka terlalu terkejut untuk bergerak—padahal Dalton, Elton, dan Reila sudah melihatnya terlebih dahulu. Kondisinya memang berbahaya, tetapi aku masih bisa merasakan kehadirannya. Sangat tipis. Dia bisa ditolong.“Kalau kalian tidak mau melakukan sesuatu, sebaiknya jaga sekitar, jangan halangi jalanku,” sergahku, menyeret Dalton pergi dari depan celah.“Tapi—”“Bisa jadi dia musuh,” sambung Elton, tanpa nada.“Tapi aku butuh kau,” aku menyeret Dalton lagi, memasuki celah kecil.Celah itu benar-benar kecil. Kami harus berjalan miring untuk muat masuk ke sana. Dalton kesulitan karena dia lumayan kekar. Aku juga cukup kekar, tetapi tidak seperti Dalton. Dalton menggandakan ototnya seperti mengembang.Aku berhasil masuk celah. Dalton kesulitan.“Oke, lupakan,” kataku, mendorongnya, “pinjam jam tanganmu.”Dia mengerti, langsung memberikan jam tangan
Mengeluarkan Irene dari jeruji ternyata tidak jadi masalah. Lavi punya opsi.Pertama, aku memakai kemampuan mengerakkan tanah milikku agar celah terbuka lebih lebar—sejujurnya aku tidak memikirkan ini ketika masuk celah, kalau kupikirkan lagi, Lavi memang tahu setiap jengkal tentangku melebihi pola pikirku sendiri. Kedua, memakai kemampuan Reila agar Irene bisa tetap tegak melewati celah kecil. Itu lebih mudah dilakukan. Jadi, keputusan dibuat dengan pengambilan suara. Hasilnya, satu suara untuk ide pertama. Empat suara untuk ide kedua. Benar. Aku memilih ide pertama, dan semua orang pilih ide kedua.Lavi—yang punya ide itu—memarahiku.“Berhentilah menjadi satu-satunya pahlawan di sini. Aku kaptenmu. Aku partnermu. Mengerti, tidak, sih?”“Aku cuma pakai hak pilih,” belaku.“Sekali lagi kau bermain pahlawan, aku meninjumu sampai mimisan.”Hanya kami—aku dan Lavi—yang bisa bersi
Suara Lavi bergema berulang kali di kepalaku.Aku berhasil membalas, berkata, “Lanjutkan. Aku tidak apa-apa.” Namun, hanya untuk mengatakan itu, aku harus mengucapkannya secara terpisah. Kira-kira menjadi: “Lanjut—aduh—lanjutkan! Aku, ukh, tidak apa—apa.”Dua musuh menyerangku brutal di tengah jalur sempit.Jalur ini sama-sama menyulitkan kami, tetapi kerja sama mereka lumayan bagus. Pertama, tendangan mengarah ke kepalaku. Aku mundur sampai kakinya tak bisa menjangkau. Dia mendekat lagi, mengarahkan tonjokan. Aku menangkapnya dengan mudah. Namun, tiba-tiba dia menunduk. Temannya melompati dirinya—langsung mengarahkan sepakan lurus padaku. Aku kaget, menahannya dengan satu lengan, dan saat itulah orang yang tangannya kupegang mengarahkan tendangannya ke perutku. Berhasil kena. Cukup telak. Aku mundur sampai mengerang. Melihat itu berhasil, mereka semakin brutal mengandalkan kelincahan di lorong sempit.Fokus
Benakku gelisah di sepanjang perjalanan ke atas. Bukan karena merasa ada musuh menyerang, tetapi karena aku sendirian dan Fin tidak terlalu membantu.Kuputuskan membiarkan Fin merangkum apa yang setidaknya dia mengerti dari ingatan musuh, dan tampaknya itu juga bukan ide bagus. Awalnya dia bicara hal penting, seperti: [“Dia bangga dengan posisinya di Sendi Empat.”] atau [“Dia tangan kanan wakil bosnya.”] atau [“Dia sering mengurusi tahanan.”] Semestinya dia mengucapkan hal-hal bagus semacam itu seterusnya, tetapi karena identitasnya sudah terbongkar di awal—hal berikutnya membuatku mual.[“Dia ikut menyiksa Irene.”]Tampaknya Fin iseng—dia terkadang tahu apa yang membuatku terganggu dan dia terang-terangan menyebut itu. Kuputuskan menghentikan rangkumannya.Namun, Fin merasa perlu mengatakan ini.[“Dia membunuh penghuni Padang Anushka. Beberapa
Ada raut lega yang sulit digambarkan ketika Kara mendengar situasi Irene secara lengkap. Kara seperti bahagia, tetapi di waktu yang sama juga pedih. Aku bisa mengerti. Barangkali Padang Anushka telah melakukan pemakamannya secara formalitas—sama seperti yang terjadi pada Dalton. Namun, bukan berarti Padang Anushka berhenti berharap. Sayangnya, kami semua tahu—setidaknya apa yang terjadi jika penghuni tertangkap. Dan mungkin aku juga sudah merasakannya. Dia tidak akan pernah persis sama lagi.“Irene,” gumam Kara, “pejuang tim penyerang yang punya senyum paling manis. Dia mencerahkan kondisi tim penyerang yang muram sejak Hayden hilang. Kurasa dia mirip Dalton, Nak. Dia kandidat terkuat Kapten sepeninggal Hayden. Gadis tangguh yang pantang menyerah.”Ada sorot muram yang tidak bisa hilang dari raut Kara.Aku ingin bilang kalau sudah melihat ingatan Irene selama di penjara keji, tetapi tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa berka