Keputusan para kandidat sudah final. Kara memanggil semua kapten.
Semestinya aku tidak ikut, tetapi dengan kebijakan Lavi yang semestinya melanggar aturan, dia membiarkanku menemaninya. Haswin datang bersama satu set perlengkapan memancing—dulu dia tidak memilikinya, tetapi setelah Profesor Merla tahu kegemarannya pada memancing, dia memberikan satu set peninggalan suaminya secara cuma-cuma. Haswin menerimanya layaknya harta karun.
“Aku tidak terlalu suka mancing, bikin bosan, tapi Forlan membuatku suka, dan tiba-tiba aku sudah jauh lebih menyukai memancing darinya,” ujarnya.
Dia kaget melihatku sudah di gelanggang.
“Kau bangun?” tanyanya.
“Seperti yang kau lihat.”
“Tadi Lavi mengusirku. Kupikir aku mengganggu proses suci.”
Itu ungkapan terseram yang harus dia ucapkan di gelanggang. Tengkukku merinding. Bulu kudukku berdiri. Beruntungnya tidak ada yang terlalu mendengar, tetapi aku
“Sepertinya kita harus buat peringkat diva terbaru,” cetus Haswin, berhasil melempar satu kail. Dan secara teknis, dia mengatakan itu ketika ada Lavi di kano yang sama—tepat di sampingnya. Dalton dan Yasha langsung melotot padanya—seolah itu hal terjauh yang bisa mereka lakukan, dan aku juga menggertakkan gigi diam-diam menatap Haswin dengan cara paling pelan.Haswin menoleh. Di detik itu dia baru sadar lagi ada Lavi di sampingnya. Darah dinginnya langsung naik ke kepala sampai rautnya pucat.Secara teknis, kami diam. Lavi menghadap arah yang berbeda dari Haswin. Aku menghadap arah yang sama dengan Haswin—berhadapan dengan Dalton dan Yasha. Mereka berdua di kano berbeda, sementara aku, Lavi, dan Haswin di kano paling besar. Jadi, kami saling membisu menatap satu sama lain seolah salah satu dari kami baru ketahuan pipis di danau oleh cewek paling cantik. Secara teknis, Lavi masih sibuk melempar kail ke arah yang tepat. Tampaknya dia tidak t
Kami membawa boks yang terbuat dari campuran perak dan besi berkilau itu ke daratan—merapat lebih cepat dari kano Dalton, Yasha, dan Lavi. Sepertinya karena mereka melihat kami merapat, mereka juga bergegas merapat.“Katakan padaku ini bukan mimpi,” kata Haswin, menyambut mereka.“Boks apa itu?” tanya Yasha.“Em, ikan,” jawabku. Dadaku masih berdebar-debar.“Kau pakai kemampuanmu?” tanya Dalton, menyambar boks. Lavi tertarik ikut melihat dan mereka langsung terkejut mendapati isi boks itu jauh lebih penuh dari semestinya. Dalton sampai menjatuhkan boks saking terkejutnya.“B-Bagaimana bisa?!” tuntutnya.“Katakan padaku ini bukan mimpi,” ulang Haswin.“Apa yang terjadi?” tanya Lavi. “Kemampuan barumu?”“B-Bukan,” jawabku.“Astaga.” Haswin menghela napas panjang. “Ini bukan mimpi.”
Besok malamnya, pesta api unggun berlangsung lebih meriah dari biasanya.Barangkali karena dua hal penting: pertama, kami merayakan kelulusan dan peresmian kandidat baru—terlepas ada delapan kandidat yang punya status dilepas alias dibuang, kami tetap menganggapnya kelulusan—kedua, karena ini pesta api unggun pertama yang dilakukan di kompleks gerha. Sumur tua yang menjadi titik tengah pekarangan sudah hilang, digantikan tungku raksasa—yang jauh lebih besar dari yang pernah ada di kompleks asrama. Api berkobar. Asap membumbung tinggi bersama riuh tawa para penghuni yang bersenang-senang. Di sekitar tungku raksasa ada api unggun kecil tempat para penghuni membakar bahan mentah. Secara teknis, pekarangan kompleks gerha lebih besar dari kompleks asrama, tetapi jarak antara penghuni justru tidak begitu lebar. Joglo bersinar begitu megah, anak tangga yang biasanya kosong kini dipenuhi penghuni yang bercengkerama. Sekarang tangga itu menjadi tempat duduk dewan. Ad
Haswin memintaku datang ke pondok utama keesokan harinya.Secara teknis, aku dan Lavi selalu bersama, jadi aku memintanya agar tidak ikut saat ingin berangkat ke pondok utama. Kupikir dia menuntut sampai bertanya-tanya, tetapi ternyata dia menurut sangat mudah. “Aku di gerhamu. Main sama Fal. Sudah lama aku tidak mengelus Pita.”Itu membuatku tercengang. Dia tertawa ketika kubilang aku sudah berpikir dia akan memaksa ikut. “Ya ampun. Kau pikir aku penjagamu?”Kalau kupikir lagi, Lavi memang seperti itu.Belakangan dia hanya terlalu banyak memikirkan hal idiot—sejujurnya aku juga—jadi Lavi terkesan berbeda. Lavi yang sebenarnya tidak akan membiarkanku terkekang sesuatu. Dia membebaskanku, bahkan alih-alih melarang melakukan hal idiot, dia tipe yang akan ikut melakukan hal idiot—bahkan mendukung keras.Tampaknya yang berpikir Lavi ikut bukan hanya aku. Pondok utama tidak terlalu berubah—jadi di ruangan
Dua hari sebelum keberangkatan, malamnya Lavi tertidur di gerhaku. Saat itu memang tengah malam dan dia sudah meladeni permainan Fal sepanjang hari—mulai dari kejar-kejaran, bermain tanah, atau apa pun. Wajar dia kelelahan.“Tidakkah dia tahu aku bisa menyerangnya kalau ketiduran di sini?” kataku, mengangkatnya ke kamar. “Manis sekali dia saat tidur.”“Itu hal paling tabu yang harus diucapkan di depan adik,” kata Reila.Namun, aku tidak melakukan hal tabu seperti yang dipikirkan Reila. Hanya menyelimuti Lavi, lalu kembali duduk di sofa ruang tengah, menghabiskan kentang goreng yang dibuat Lavi. Sudah dingin—tentu saja—tetapi rasanya masih enak.“Tidak tidur?” tanyaku.“Belum mengantuk,” jawab Reila, melamun.“Lebih baik tidur daripada melamun.”“Lebih baik taruh piring itu di sini, aku juga mau.”Dia menyantap kentang sembari m
Seingatku, aku tengah mimpi indah yang aneh.Jadi, aku sedang membuat istana pasir raksasa. Dan aku melakukannya di kotak pasir bawah ayunan Rumah Pohon—entah, semestinya melihat skala istana yang kubuat, pasir ayunan tidak akan cukup, tetapi aku tidak mementingkan logika itu terutama karena tidak sadar tengah bermimpi. Pokoknya, tiba-tiba aku berhasil membuat tembok benteng raksasa yang mengelilingi istana enam menara tinggi. Itu salah satu mahakarya terbaikku—dan aku belum sadar kalau sedang bermimpi. Aku membuatnya dari campuran pasir dan air, membuatnya sangat lama—entah, kurasa aku tidak menghitung berapa lama pembuatannya—karena logika itu tidak berlaku di mimpi. Aku sudah menjerit bahagia, mengambil kamera, berniat memotret istana pasir itu dari segala arah saat tiba-tiba pegasus muncul mendobrak benteng raksasa tanpa bersalah. Aku menjerit, patah hati, hampir menuntut, tetapi pegasus itu lebih dulu berkata, “Ada Ratu Arwah.”
Lokasi keluar kami tidak strategis. Kami di perbukitan penuh jurang terjal.Namun, Kara bersama kami—yang secara teknis, tidak mengizinkan kami terjun ke bawah. Tiba-tiba saja kami sudah berlari di ketinggian, melintasi batang pohon tinggi seolah-olah udara bisa dipijak. Awalnya aku terkejut—kupikir dalam detik kesepuluh aku melompat ke alam liar, aku benar-benar akan terjun ke dasar jurang yang terjal—dan, secara teknis, aku dan Dalton sudah di udara ketika mereka masih di belakang. Kara langsung bertindak cepat, sehingga tiba-tiba aku berhasil berpijak pada udara, terkejut—mataku juga langsung mengedarkan pandangan—Dalton ternyata bernasib serupa. Bedanya, dia sampai tersungkur. Dia mengerang di belakang, mengusap kepalanya yang terbentur. “Sial, tidak keren sama sekali.”“Maju,” ujar Elton, di atas kami, berlari di udara bersama yang lain.Lavi sempat berhenti, berdiri di udara ketika yang lain tetap berla
Kalau aku berpikir itu markas pasukan bertopeng, tampaknya itu salah. Bila dilihat dari sisi mana pun, mereka bukan sedang bertahan. Mereka menyerang. Tak terlihat jelas berapa banyak, tetapi mereka bertempur melawan pasukan berjubah.Jenderal ternyata sedang bertempur melawan pemilik kemampuan. Tak bisa terlihat jelas dari posisi kami, tetapi cukup jelas Jenderal sibuk.Sejujurnya kami ingin membantu, tetapi posisi kami bahkan juga buruk.Seseorang dengan jubah hitam tiba di ujung tebing—orang yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dia langsung mengayunkan kaki ketika kami sibuk mengamati pertempuran di bawah jurang. Dia laki-laki berambut gondrong yang punya wajah penuh bekas luka. Dia menendangku, menjerit sangat keras. Matanya membara.“KENAPA PADANG ANUSHKA DI SINI JUGA?!”Tendangannya sangat keras seolah-olah kakinya terbuat dari besi. Tekanan dari sepakan keras membuatku terhempas ke bawah tebing. Laki-laki itu menapak, kemudi
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da