Terjadi kemelut berulang kali di sisa permainan.
Intinya, aku berhasil merebut satu batu dari Elton. Bodohnya, itu bukan batu dengan namaku. Itu batu dengan nama Elton. Kemudian aku menyerbu Dalton. Dia sudah lumayan babak belur, lelah, dan kacau. Fokusnya sudah hilang setelah kami terus bertempur selama hampir seharian penuh. Dia sudah kelihatan ingin tidur, jadi aku berhasil merebut batunya. Setelahnya, dia ambruk begitu saja.
Dibilang aku yang paling bugar, sebenarnya tidak. Kondisiku justru lebih kacau dibanding sebelum istirahat. Keringatku tidak terkendali lagi. Napasku habis. Fokusku tidak bisa lagi berkompromi dengan mata. Ketika mencari Elton, berulang kali aku harus berhenti, berpangku pada lutut, menarik napas panjang. Aku berhasil menemukan Elton di cekungan semak-semak, sedang bersembunyi, dengan kondisi yang hampir sama sepertiku. Pada akhirnya, kami tidak punya lagi kekuatan yang cukup untuk adu kemampuan khusus. Kami adu tonjok. Dan aku kacau. Benakku m
Omong-omong, tim tungku sudah tidak lagi bermarkas di Balai Dewan.Mereka memiliki gedung sendiri. Markas besar tim tungku. Bangunan yang paling punya banyak kaca di Padang Anushka. Dua lantai. Lantai pertama adalah dapur utama. Lantai dua adalah pusat pembuatan baju sekaligus tempat tidur kedua Dhiena dan Mika. Dulunya tempat itu hampir dijadikan pusat hiburan oleh Dalton dan Haswin. Namun, Dhiena protes. “Pusat hiburan? Kau mau buat tempat ini jadi apa? Taruh semua itu di pondok utama! Buat apa kita punya gedung hiburan kalau penghuni lebih suka bersenang-senang di sana?” Jadi, bioskop, karaoke, atau jenis hiburan lain mulai dipindahkan ke pondok utama. Itu sebabnya belakangan terakhir para penghuni lebih suka menghabiskan waktu di pondok utama.Persiapan tim tungku membuat sarapan dimulai pukul enam. Sangat pagi. Mereka berkumpul sejenak. Dhiena mengumumkan menu. Dari sana, mereka akan memecah anggotanya ke beberapa bagian—yang sudah terbentuk seca
Ketika jam sarapan selesai, akhirnya piring-piring kotor mulai berhenti.Ada banyak yang kurenungkan selama mencuci, terlebih karena tidak ada teman mengobrol. Pikiranku ke mana-mana. Aku tidak pernah melihatnya dari sisi bak pencucian piring, tetapi di tempat ini, aku bisa melihat ada banyak cara dalam menghabiskan makanan—termasuk piring-piring yang masih menyisakan makanan layak santap. Itu pertama kalinya aku merasa kecewa seolah ikut memasak bersama tim tungku meski sebenarnya yang kulakukan hanya menjadi buruh angkut. Aku mulai merasa marah, bukan karena mereka yang menyisakan makanan di piring ini tidak menghargai makanan, tetapi karena mereka tidak menghargai jerih payah tim tungku yang rela bekerja keras demi kepuasan perut para penghuni tak tahu diri.Dan ketika gagasan itu tiba di kepalaku, aku juga mulai bersalah. Terlepas dari apa yang Layla ucapkan, Kapten tim tungku sekarang itu Dhiena. Sekarang aku benar-benar mengerti mengapa terkadang Dhiena mar
Aku mengubah lari gunung menjadi lari melintasi hutan markas lama.Tidak segila lari gunung, tetapi setidaknya cukup membantu pergerakanku nanti. Medan misi berikutnya pasti jauh lebih menyakitkan dari perbukitan. Belum lagi, pasangan misi kali ini bukan orang yang bisa diajak kompromi, jalan lambat, atau menikmati pemandangan. Kami harus bergerak cepat.Jenderal memberi waktu setidaknya sampai kandidat baru dinyatakan lulus.Setelahnya, kami harus bersiap pergi.Kara bilang sepuluh kandidat baru lebih siap dibanding kandidat yang lain. Mereka sudah terbiasa dengan suasana latihan—semuanya, bahkan termasuk yang perempuan. Mereka mengikuti kegiatan latihan rutin yang disesuaikan standar di sini, dan betapa hebatnya, mereka bisa melewati semuanya sangat mudah. Calvin—yang babak belur karena pertandingan, kini sudah mulai kembali bisa beraktivitas normal. Kemarin, setelah kami menyelesaikan dua ratus papan, aku sempat melihat padang rumput, menya
Siangnya, aku dan Reila dipanggil Kara ke gelanggang.Gelanggang dipenuhi kandidat—termasuk sepuluh kandidat baru. Di tempat yang tidak pernah ingin kutemui, Lavi juga di gelanggang. Sebenarnya dia bersama Nadir—tetapi lagi-lagi dia kelihatan asyik dengan kandidat baru yang baru dihajar habis-habisan. Tampaknya sedang pelajaran pedang.Dan di depan kami—aku dan Reila—ada Hela.“Perkenalkan,” kata Kara, menunjukku dan Reila. “Kakak beradik ini punya kemampuan instruktur terbaik masalah kemampuan khusus.”“Sejak kapan kami menjadi instruktur?” tuntut Reila.Sepertinya aku tahu sejak kapan. Kami berhasil mengurusi Fal.“Kenapa kami dipanggil?” tanyaku.“Hela juga punya masalah serupa dengan kemampuannya,” jelas Kara. “Dia sulit mengendalikan kemampuan. Dia hanya bisa melakukan beberapa, padahal apa yang bisa dia lakukan harusnya lebih dari yang seka
Hela ingin segera berbincang lebih banyak dengan kami, tetapi Reila—dan Kara—melarang. “Sebaiknya kau tenangkan dirimu,” kata Reila. “Kondisimu lebih kacau dari yang kau rasakan. Resapi saja apa yang sudah kau terima tadi. Kakakku membantumu lebih banyak dari yang terlihat. Malam ini tidurmu pasti nyenyak.”Untuk beberapa saat, dia diam.Namun, dia mulai memeluk kakinya sendiri.“Aku—” Suaranya tiba-tiba keluar. “—takut diusir lagi.”Hanya dalam satu detik, ketika dia mengatakan itu, tanpa perlu menatap satu sama lain, aku dan Reila kembali duduk di dekatnya. Kami di ujung gelanggang—Kara meminta kami menjaga Hela sebentar sementara dia mengurus kandidat baru yang lain. Jadi, kami di sini, ketika Hela memeluk kakinya sendiri.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Reila.“Padang Anushka perlu daya tempur. Aku pemilik kemampuan. Aku daya tempur
Di hari yang sama, Dokter Gelda memanggilku ke klinik. Itu panggilan dari telepon pertamaku yang tidak terlalu mengganggu—karena biasanya hanya Jesse yang punya ide memanggil lewat telepon. Suara Dokter Gelda terdengar jauh lebih jernih dari biasanya. [“Hasilnya sudah keluar. Kemarilah.”]“Di sini ada Reila,” kataku.[“Ajak dia.”]Bahkan pertanyaan pertama Reila setelah aku menutup telepon juga seperti dugaanku. “Jesse? Aku diajak juga?”Aktingku ternyata sangat bagus. “Klinik! Fal muntah darah!”Reaksinya lebih dramatis dari yang kubayangkan. Dia langsung bergegas ke klinik tanpa menungguku keluar. Jadi, aku mengunci pintu—yang akhir-akhir ini tak ada gunanya karena Reila tidak butuh kunci. Aku mengejar, mengikuti jejaknya. Dia sungguhan lari sekuat tenaga. Rautnya memang super cemas.Ketika aku sampai di klinik, di detik pertama aku masuk dari pintu u
Sebelum Rapat Dewan dimulai, aku sudah di Rumah Pohon bersama Fal.Ruangan kecil di atas dahan pohon raksasa itu benar-benar seperti ruangan personalku dengan Lavi. Luasnya tak seberapa dan hanya ada dua ruangan utama—atau tiga jika beranda depan dihitung. Ruangan pertama merupakan pintu masuk dari tangga utama, berisi foto anggota tim penyerang—tentu tim penyerang yang sekarang. Di ruangan pertama juga ada jendela terbuka, tempat teropong bertengger untuk melihat bintang. Biasanya bintang terlihat jelas dari sini. Reila suka memakai teropong itu hanya untuk belajar rasi bintang. Dan ruangan kedua, adalah ruangan utama. Ruangan kecil mirip rumah kucing. Dipenuhi bantal-bantal, paling nyaman berbaring di sana sembari memandang jendela terbuka yang mengarah ke hamparan langit dan puncak pohon. Dan itu yang kami sebut ruangan personalku dan Lavi. Ada delapan bingkai berisi foto kami—benar-benar hanya aku dan Lavi. Tidak ada yang protes—karena yang memasan
Posisi Lavi benar-benar tak bisa kurasakan sekuat apa pun memikirkannya.Barangkali itu menjadi salah satu keuntungan untuk detik ini.Seusai Rapat Dewan, Lavi kembali ke markas hanya untuk berkata, “Bubar. Besok kuberitahu apa yang terjadi.”“Kau kelihatan capek,” ujar Dalton. “Berdebat keras?”“Bahan yang diperdebatkan saja tidak ada.”“Dia di atas. Dengan Reila.”“Siapa juga yang bertanya?” Dan Lavi melengos pergi.Lavi berjalan kembali ke gerha, melepas jubah kaptennya, membawanya di tangan seolah itu tas. Rautnya kelihatan lesu. Dia tidak seperti baru selesai debat—biasanya kalau Lavi habis berdebat, dia masih menyimpan sisa-sisa bara api dalam benaknya, jadi ketika selesai Rapat Dewan, dia masih cukup menggebu-gebu. Kali ini tidak seperti itu. Dia hanya lesu, pucat, seperti ingin menangis.Dari pintu masuk kompleks gerha, gerhaku posisinya palin
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da