Malam sisa sedikit lagi, tetapi Bibi menemaniku menjelajahi Joglo.
Dari pusat Joglo, bangunan ini terlihat seperti hanya punya dua lantai. Satu lantai untuk ruangan luas, kursi perapian, dan relief. Satu lantai lagi terlihat untuk penyimpanan dokumen-dokumen bertuliskan aksara kuno. Hanya beberapa orang yang bisa membaca aksara kuno. Meski salah satu syarat kelulusan orientasi harus mampu membaca aksara kuno, seiring berjalannya waktu, karena jarang digunakan, kemampuan membaca aksara kuno juga mulai terkikis. Sejauh yang kutahu, Lavi, Reila, dan Nuel adalah orang-orang yang punya kemampuan baca tulis terbaik.
Aku salah satu yang bisa membaca. Aza punya pelajaran sangat ketat untuk aksara kuno. Itu mengizinkanku mengerti sebagian buku-buku di lantai dua—meski aku juga tidak punya terlalu banyak waktu untuk mempelajari isi bukunya.
Bicara tentang Joglo, rahasia bangunan ini tidak terletak di apa yang terlihat melalui pusatnya. Namun, bagian dalamnya. Dan be
“Dibilang Perbatasan, sebenarnya tempat ini juga sudah di dunia roh,” jelas Bibi. “Pelindung mungkin lebih tepat disebut perbatasan.”Kami duduk di bilik kantor.Di tempat aneh itu juga ada sebuah bangunan mirip istana. Bibi mengajakku masuk ke sana, mendapati lebih banyak makhluk aneh yang tidak pernah kulihat. Aku melihat kakek cebol yang membuatku teringat dengan kengerian vila monster, tetapi begitu kusadari dia agak berbeda. Dibilang kakek, mereka lebih seperti orang kerdil yang punya kulit seperti kadal. Entah, aku tidak tahu cara mendeskripsikan itu, tetapi Bibi bilang, “Mereka roh alam. Peri pohon. Kalau yang mengelilingimu ini—” Bibi menunjuk peri-peri berwarna-warni yang mengelilingiku. “Peri bunga.”“Peri bunga?”[“Kau merawatku di pondok. Lupa? Aku pendampingmu.”]“Eh begitu? Anda bisa bahasa manusia?” tanyaku, entah bagaimana.
Kunjungan terakhirku di tempat itu adalah ketika Bibi mengantarku ke area penyimpanan layaknya bilik loker raksasa. Bilik itu ada di bagian terdalam gedung aneh, yang terdiri dari banyak pintu besi dengan gembok.“Senjata dan peninggalan pejuang yang telah pergi tersimpan di sini,” jelas Bibi. “Biasanya dewan meletakkan senjatanya di tempat penyimpanan Joglo, lalu senjata itu terkirim kemari. Saat mau mengambilnya lagi, tulis senjatanya, tunggu semalam. Senjatanya akan ada di sana lagi. Kau pasti pernah dengar ini.”“Mirip sistem pembangunan,” kataku. “Atau botol kaca Pulau Pendiri.”“Sistem itu juga berlaku untuk penyimpanan. Ibumu pernah menggunakan sistem ini untuk uang. Di sinilah benda itu terkirim.”“Ibu pernah?” tanyaku, entah bagaimana kaget.“Hampir semua orang pernah.” Bibi mengangguk. “Meski tidak sungguhan mengerti apa yang terjadi, tapi penyimpana
Ketika sampai di loker Bibi, yang berjarak lumayan jauh dari lokerku, Bibi menawariku masuk, tetapi aku menolak.“Kata Bibi penyimpanan setiap orang itu rahasia.”“Kan, Bibi yang mengajakmu masuk.”“Tidak mau. Aku menunggu di sini saja.”Bibi tidak bertanya alasanku. Barangkali bila Bibi bertanya pun, aku tidak yakin mengapa tidak mau masuk. Aku hanya merasa harus di sini. Entah bagaimana Bibi justru terlihat mengerti hal yang tidak kumengerti itu, jadi ketika akhirnya Bibi memutuskan membiarkanku, Bibi bilang, “Jangan menjerit ketakutan.”“Jangan begitu. Nanti aku jadi ingin masuk.”Bibi tertawa memasuki loker. Samar-samar aku memang merasakan adanya eksistensi tertentu yang mirip seperti nuansa pedang perunggu. Barangkali pedang perak Aza juga memancarkan nuansa kuat seperti ini. Nuansa ini seperti berhadapan dengan eksistensi Ratu Arwah. Sesuatu yang misterius, aneh, tetapi
Seolah hal tidak masuk akal ini belum selesai, aku kehilangan kendali atas reaksiku ketika melihat seseorang di tengah kerumunan kucing.Dengan cara paling normal, dia bermain-main dengan kucing, mengelus bulu tebal, memberi makan, lalu menjadi tempat tidur mereka. Dilihat-lihat dia juga menikmati interaksi itu sampai tidak menyadari sekitarnya.Ratu Arwah di sini.Bahkan Bibi juga sampai terkejut. Kami berpandangan. Entah bagaimana kami sepakat menghampiri Ratu Arwah. Sepertinya kepulanganku ke permukaan kembali ditunda sedikit lebih lama lagi.Kami berjongkok di sebelah Ratu Arwah.“Ratu,” panggilku.“Halo, Forlan,” sapanya, seolah sudah tahu keberadaanku. “Sepertinya kau punya banyak kabar bagus untukku. Bagaimana kabarmu?”“Em, belakangan ini baik.”“Aku sempat meletakkan kesadaranku di Padang Anushka. Tampaknya di sana sedang ada acara meriah, Menarik sekali.”
Gerha Lavi terkunci.Gerhaku kosong.Aku menyusuri jalur penghubung asrama dan padang rumput, menemukan markas baru tim penyerang selesai sepenuhnya. Markas baru itu dikelilingi pagar marmer dan gerbang kecil. Pintu masuknya berupa tangga kecil ke bawah, sehingga markas kami ada di bawah permukaan tanah. Pekarangan masih kosong. Tidak ada pernak-pernik hiasan dari Lavi, tetapi panji pesta olahraga kami dengan gagah telah berkibar dikibaskan angin. Di sekitar markas hanya ada hutan pinus. Ada jalan kecil menembus sisi bangunan ke belakang. Dari pekarangan depan, sudah terasa nuansa danau yang tertutup barisan pohon. Jalan setapak itu tembus ke bibir danau.Markas ini lebih mirip rumah singgah. Rumah yang cocok sebagai tempat peristirahatan setelah misi. Hawanya sejuk. Nuansanya hangat. Sinar matahari tak terlalu tertahan oleh dahan-dahan pohon, tetapi juga tidak cukup terik. Kelembapan pohon pinus membuat segaris cahaya matahari lebih banyak terlihat. Kalau dilih
Ternyata sudah ada bangku khusus untuk kami di Rapat Dewan.Seperti biasa, Kara menyambut ceria. “Selamat datang di Rapat Dewan. Ada banyak yang harus dibicarakan. Kalian bisa duduk di kursi yang kosong.”Susunan Rapat Dewan mirip seperti terakhir kali—Lavi duduk di sebelahku, dan kami berada di hadapan para dewan dalam susunan setengah lingkaran tempat duduk. Aku tidak ingin memikirkan apa yang terjadi semalam, jadi aku hanya tiba di Pendopo, mendapati semua Kapten melihat kedatangan kami, lalu Kara segera menyambut, meminta kami duduk.Aku duduk di sisi Lavi. Lavi melihatku. Cukup lama. Jadi, aku menoleh.Dari semua sapaan yang bisa kupikirkan, Lavi lebih dulu menyapa di dalam benakku. [“Selamat pagi. Kau kelihatan banyak pikiran.”] Akhirnya aku juga menjawab dengan apa yang langsung terlintas. Ironisnya, hal pertama yang terlintas justru permintaan maaf karena tiba-tiba tidak bisa dia temukan. Tampak
“Aku tidak masalah beda regu dengan Forlan,” kata Lavi, “tapi itu artinya harus ada kemampuan komunikasi sejenis di sisa regu.”“Aku bisa mengatasi itu,” cetus Nadir. “Aku bisa mengirim pesan melalui hewan. Mengingat itu juga bisa dilakukan Forlan sebagai pelindung alam, kami bisa bertukar informasi. Forlan, temui aku nanti. Kita pilih hewan perantara untukmu. Kita bisa bertukar informasi dengan itu.”“Baiklah,” kataku.“Berarti tim pertama kurang satu orang,” kata Jesse, mencatatnya. “Tim dua satu orang. Tim tiga satu orang. Kalian,” kata Jesse, ke sisa tim penyerang. “Bagi.”Dalton, Reila, Elton saling berpandangan. Tampaknya Elton tahu dia harus satu tim dengan siapa. Matanya sudah mulai menatap incarannya.“Kurasa tim yang punya potensi terbesar diserang tim pertama,” cetus Reila. “Jumlah manusianya paling banyak. Monster pasti bisa
Reila mulai menguap berulang kali.Aku tahu dia memang tidak bisa berdiam terlalu lama dalam situasi serius.Meski tidak ada yang menentang keberangkatanku, Haswin memulai topik perdebatan lagi. “Bagaimana kalau regu dua juga ditemani dewan? Kara?”“Kara harus di garis pertahanan,” tolak Jenderal, langsung.“Garis pertahanan sekarang punya tim bertahan dan banyak penghuni yang siap mengangkat senjata,” timpal Haswin. “Kita punya basis pertahanan lebih kuat. Ada banyak menara pertahanan, senjata juga sudah diperkuat, bahkan daya tempur sekarang seribu kali lebih baik. Kurasa penghuni tidak lagi bertempur sebagai tim. Aku mengerti kekhawatiran dewan di garis belakang ketika Kara pergi, tapi posisi regu dua lebih bagus jika Kara berangkat bersama Forlan dan Reila.”“Aku lumayan setuju,” komentar Isha.“Aku keberatan,” usul Nadir. “Aku setuju daya tempur pertahanan kit