Home / Fantasi / Selubung Memori / 312. TITIK SINGGAH #3

Share

312. TITIK SINGGAH #3

last update Last Updated: 2023-05-21 13:00:14

“Aku tidak masalah beda regu dengan Forlan,” kata Lavi, “tapi itu artinya harus ada kemampuan komunikasi sejenis di sisa regu.”

“Aku bisa mengatasi itu,” cetus Nadir. “Aku bisa mengirim pesan melalui hewan. Mengingat itu juga bisa dilakukan Forlan sebagai pelindung alam, kami bisa bertukar informasi. Forlan, temui aku nanti. Kita pilih hewan perantara untukmu. Kita bisa bertukar informasi dengan itu.”

“Baiklah,” kataku.

“Berarti tim pertama kurang satu orang,” kata Jesse, mencatatnya. “Tim dua satu orang. Tim tiga satu orang. Kalian,” kata Jesse, ke sisa tim penyerang. “Bagi.”

Dalton, Reila, Elton saling berpandangan. Tampaknya Elton tahu dia harus satu tim dengan siapa. Matanya sudah mulai menatap incarannya.

“Kurasa tim yang punya potensi terbesar diserang tim pertama,” cetus Reila. “Jumlah manusianya paling banyak. Monster pasti bisa

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Selubung Memori   313. TITIK SINGGAH #4

    Reila mulai menguap berulang kali.Aku tahu dia memang tidak bisa berdiam terlalu lama dalam situasi serius.Meski tidak ada yang menentang keberangkatanku, Haswin memulai topik perdebatan lagi. “Bagaimana kalau regu dua juga ditemani dewan? Kara?”“Kara harus di garis pertahanan,” tolak Jenderal, langsung.“Garis pertahanan sekarang punya tim bertahan dan banyak penghuni yang siap mengangkat senjata,” timpal Haswin. “Kita punya basis pertahanan lebih kuat. Ada banyak menara pertahanan, senjata juga sudah diperkuat, bahkan daya tempur sekarang seribu kali lebih baik. Kurasa penghuni tidak lagi bertempur sebagai tim. Aku mengerti kekhawatiran dewan di garis belakang ketika Kara pergi, tapi posisi regu dua lebih bagus jika Kara berangkat bersama Forlan dan Reila.”“Aku lumayan setuju,” komentar Isha.“Aku keberatan,” usul Nadir. “Aku setuju daya tempur pertahanan kit

    Last Updated : 2023-05-23
  • Selubung Memori   314. TITIK SINGGAH #5

    Persoalan itu selesai dengan cepat. Obrolan penting dengan Reila di Gerha hanya saat dia bilang, “Kalau kau tanya aku mengizinkanmu membuat pelindung atau tidak, aku pasti mengizinkanmu. Bukan maksudku tidak peduli, tapi aku tidak perlu bilang kondisi apa saja yang membolehkan seorang pemilik kemampuan roh membuat pelindung, kan? Kurasa pemilik kemampuan roh juga punya aturan moral masing-masing terkait sisa umur mereka. Jangan salah. Aku peduli soal umurmu. Aku peduli, tapi tidak mau mengekang. Masalah utama menciptakan pelindung, adalah ganjarannya. Aku yakin Bibi Merla juga menentang keras. Jadi, kalau kau tanya restu setiap orang, mustahil mereka tidak menolak. Aku tidak mau melihatmu tersiksa lagi, itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan menolak pelindung. Tapi saat waktunya tiba, ini bukan lagi persoalan izinku, pasti persoalannya antara hidup dan mati. Kalau harus memilih hidup atau mati, aku pasti pilih hidup—dan kalau satu-satunya cara bisa tetap hidup hanya d

    Last Updated : 2023-05-25
  • Selubung Memori   315. TITIK SINGGAH #6

    Aku baru teringat lagi tentang Fin—peri merah—yang mengikutiku.Ketika aku hampir berbincang dengan Fin—karena aku bisa merasakan aura keberadaannya di sekitarku—tiba-tiba Fal melompat muncul begitu saja di beranda halaman belakang. “IH!” pekik Fal. “Burung besar!”Sejujurnya aku jantungan seolah hampir ketahuan melakukan hal janggal, tetapi aku bisa merespons sangat baik. “Namanya Falcon.”“Falcon besar!”“Fal sekarang sudah wangi,” kataku. “Tadi waktu main sepeda bau.”“Jahat!” Fal mencubit lenganku, tidak sakit, tetapi aku pura-pura sakit.Tadi—selepas aku memilih burung perantara di Nadir—membuat Falcon bertengger di belakang gerha—Fal menemukanku di jalur penghubung. Dia naik sepeda, lalu berseru, “Fal harus temani Forlan latihan sambil main sepeda!”“Fal menyuruhku latihan?” tanyak

    Last Updated : 2023-05-27
  • Selubung Memori   316. TITIK SINGGAH #7

    Aku baru berdiri di pagarnya, tetapi Lavi keluar, bersedekap di depan pintu.Saat itu matahari sudah hampir terbenam, jadi suasananya hampir gelap. Dia tidak tersenyum menyambut seperti yang biasa dilakukan—hanya berdiri, rasanya ada aura tajam dari caranya bersedekap. Dia menatapku dengan nuansa lurus. Dia seperti tidak mau bicara. Tampaknya menungguku bicara, tetapi aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, dan kikuk. Aku ingin tertawa, tetapi tidak paham harus tertawa karena apa. Rasanya... hanya ingin tertawa.Kami diam di posisi itu hampir dua menit.Itu memecah rekor waktu terlama kami saling terdiam, melebihi ketika kami menikmati momen di danau kano.“Ng,” kataku, akhirnya bicara, “kau sudah tahu?”“Besok misi,” ucapnya, “masih sempat jail? Aku sungguhan kaget.”“M-Maaf.”“Mau sampai kapan kau berdiri di sana?”“Eh, iya.”

    Last Updated : 2023-05-29
  • Selubung Memori   317. LOKASI IDENTITAS #1

    Lavi menunjukkan bingkai yang ingin dia pajang di markas.“Ini,” katanya, menunjuk foto dengan bingkai besar.Sejujurnya aku membayangkan foto yang ingin dia pajang itu foto seluruh tim penyerang. Namun, itu foto kami—hanya aku bersamanya. Aku ingat momen saat foto itu diambil. Kami sudah berpacaran. Aku berniat ikut mengambil buah di perkebunan Padang Anushka—aku bahkan sudah memakai satu set pakaian kebun mulai dari caping sampai celemek kulit. Namun, Lavi tiba-tiba memaksa agar aku ikut berkuda. Karena aku lebih ingin memetik buah, dan Lavi tidak terhentikan, aku memakaikan caping ke kepala Lavi, lalu merangkul bahunya ke kebun. Di foto itu, momen yang terambil adalah saat aku merangkul pundak Lavi dengan tawa lebar dan sorakan penuh semangat, sementara Lavi membenarkan caping di kepalanya. Satu tanganku merangkul Lavi, satu tanganku lagi memegang keranjang buah. Lavi cemberut, tetapi tidak terlihat keberatan. Itu salah satu foto yang diambil

    Last Updated : 2023-05-31
  • Selubung Memori   318. LOKASI IDENTITAS #2

    Itu pertama kali aku bermimpi aneh ketika terlelap di gerha Lavi.Kali ini aku ingat sepenuhnya apa yang terjadi sebelum bermimpi. Bahkan di awal penglihatan ini tampaknya ada bagian dalam diriku yang sadar, sehingga aku sadar kalau tengah bermimpi. Aku tak yakin Fin punya kuasa memperlihatkan sesuatu—meskipun itu juga bukan hal mustahil.Hal pertama yang kulihat, adalah air terjun.Sejujurnya ada begitu banyak air terjun yang kulihat selama hidupku. Ketika di pondok bersama Aza dan Nenek, mereka selalu punya ide menyeretku ke setiap air terjun di semua sudut gunung. Terkadang itu air terjun yang punya muara begitu besar—yang juga punya ruang untuk berenang. Terkadang air terjun yang begitu curam ke bawah jurang—kami biasanya berhenti di suatu tebing yang tidak terlalu mengerikan. Biasanya air terjun seperti itu hanya dikunjungi olehku dan Aza di sela lari gunung. Terkadang kami juga mengunjungi air terjun yang begitu indah hingga memunculkan p

    Last Updated : 2023-06-02
  • Selubung Memori   319. LOKASI IDENTITAS #3

    Aku terbangun dengan cara paling normal di awal pagi.Mataku terbuka perlahan, samar-samar segera mendapati mata seseorang. Hal pertama yang kulihat, adalah bercak merah kecil di matanya. Lalu pandanganku semakin jelas, mendapati senyum kecilnya merekah. Ketika mataku tak lagi melihat hal buram kecuali senyum murni, suaraku juga kembali cerah.“Selamat pagi.”“Selamat pagi,” sapa senyum Lavi. “Di luar masih gelap.”“Hm-mm.”“Nyenyak sekali tidurmu. Semalam tidak tidur?”“Hm. Ya.”Mimpi itu masih terekam jelas dalam kepalaku. Namun, yang paling kuingat justru tentang perempuan itu. Benarkah itu Lavi?“Lavi, kau suka air terjun?” tanyaku.“Aku suka pemandangan alam yang bagus. Kenapa?”“Tadi aku mimpi kau duduk di air terjun. Katanya aku rekanmu yang paling bisa kau percaya. Tapi kau mengusirku karena itu mimpimu.&r

    Last Updated : 2023-06-04
  • Selubung Memori   320. LOKASI IDENTITAS #4

    Matahari baru terbit, kubilang pada Lavi. “Mau jalan-jalan pagi, tidak?”“Danau kano?”“Terserah. Aku cuma mau jalan-jalan denganmu. Mau?”Lavi mau. Tanpa harus kuajak, sebenarnya Lavi juga akan keluar. Ini waktu rutinnya untuk lari pagi, dan sebenarnya aku tidak bermaksud menahannya latihan, tetapi dia bilang, “Masa-masa sebelum misi ini lumayan krusial. Melihat apa yang terjadi belakangan ini, saat aku meninggalkanmu beberapa jam saja, kau bisa tiba-tiba mengalami hal yang membuatmu syok. Lebih baik aku menemanimu.”“Aku tidak serapuh itu sampai harus dijaga,” kataku.Hanya saja, sebenarnya ini bukan pertama kalinya kami jalan-jalan pagi. Terakhir kami mengambil momen di pagi buta, adalah saat aku kembali dari Pulau Pendiri, menceritakan hal penting di tepi danau kano. Rasanya sudah berlalu lama.“Pagi ini dingin, ya,” kata Lavi, saat keluar pagar, menggosok telapaknya

    Last Updated : 2023-06-06

Latest chapter

  • Selubung Memori   595. UJUNG TALI #1

    Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-

  • Selubung Memori   594. BENANG BUNGA #8

    Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa

  • Selubung Memori   593. BENANG BUNGA #7

    Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&

  • Selubung Memori   592. BENANG BUNGA #6

    Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla

  • Selubung Memori   591. BENANG BUNGA #5

    Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw

  • Selubung Memori   590. BENANG BUNGA #4

    Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar

  • Selubung Memori   589. BENANG BUNGA #3

    Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud

  • Selubung Memori   588. BENANG BUNGA #2

    Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c

  • Selubung Memori   587. BENANG BUNGA #1

    Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da

DMCA.com Protection Status