“Aku tidak masalah beda regu dengan Forlan,” kata Lavi, “tapi itu artinya harus ada kemampuan komunikasi sejenis di sisa regu.”
“Aku bisa mengatasi itu,” cetus Nadir. “Aku bisa mengirim pesan melalui hewan. Mengingat itu juga bisa dilakukan Forlan sebagai pelindung alam, kami bisa bertukar informasi. Forlan, temui aku nanti. Kita pilih hewan perantara untukmu. Kita bisa bertukar informasi dengan itu.”
“Baiklah,” kataku.
“Berarti tim pertama kurang satu orang,” kata Jesse, mencatatnya. “Tim dua satu orang. Tim tiga satu orang. Kalian,” kata Jesse, ke sisa tim penyerang. “Bagi.”
Dalton, Reila, Elton saling berpandangan. Tampaknya Elton tahu dia harus satu tim dengan siapa. Matanya sudah mulai menatap incarannya.
“Kurasa tim yang punya potensi terbesar diserang tim pertama,” cetus Reila. “Jumlah manusianya paling banyak. Monster pasti bisa
Reila mulai menguap berulang kali.Aku tahu dia memang tidak bisa berdiam terlalu lama dalam situasi serius.Meski tidak ada yang menentang keberangkatanku, Haswin memulai topik perdebatan lagi. “Bagaimana kalau regu dua juga ditemani dewan? Kara?”“Kara harus di garis pertahanan,” tolak Jenderal, langsung.“Garis pertahanan sekarang punya tim bertahan dan banyak penghuni yang siap mengangkat senjata,” timpal Haswin. “Kita punya basis pertahanan lebih kuat. Ada banyak menara pertahanan, senjata juga sudah diperkuat, bahkan daya tempur sekarang seribu kali lebih baik. Kurasa penghuni tidak lagi bertempur sebagai tim. Aku mengerti kekhawatiran dewan di garis belakang ketika Kara pergi, tapi posisi regu dua lebih bagus jika Kara berangkat bersama Forlan dan Reila.”“Aku lumayan setuju,” komentar Isha.“Aku keberatan,” usul Nadir. “Aku setuju daya tempur pertahanan kit
Persoalan itu selesai dengan cepat. Obrolan penting dengan Reila di Gerha hanya saat dia bilang, “Kalau kau tanya aku mengizinkanmu membuat pelindung atau tidak, aku pasti mengizinkanmu. Bukan maksudku tidak peduli, tapi aku tidak perlu bilang kondisi apa saja yang membolehkan seorang pemilik kemampuan roh membuat pelindung, kan? Kurasa pemilik kemampuan roh juga punya aturan moral masing-masing terkait sisa umur mereka. Jangan salah. Aku peduli soal umurmu. Aku peduli, tapi tidak mau mengekang. Masalah utama menciptakan pelindung, adalah ganjarannya. Aku yakin Bibi Merla juga menentang keras. Jadi, kalau kau tanya restu setiap orang, mustahil mereka tidak menolak. Aku tidak mau melihatmu tersiksa lagi, itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan menolak pelindung. Tapi saat waktunya tiba, ini bukan lagi persoalan izinku, pasti persoalannya antara hidup dan mati. Kalau harus memilih hidup atau mati, aku pasti pilih hidup—dan kalau satu-satunya cara bisa tetap hidup hanya d
Aku baru teringat lagi tentang Fin—peri merah—yang mengikutiku.Ketika aku hampir berbincang dengan Fin—karena aku bisa merasakan aura keberadaannya di sekitarku—tiba-tiba Fal melompat muncul begitu saja di beranda halaman belakang. “IH!” pekik Fal. “Burung besar!”Sejujurnya aku jantungan seolah hampir ketahuan melakukan hal janggal, tetapi aku bisa merespons sangat baik. “Namanya Falcon.”“Falcon besar!”“Fal sekarang sudah wangi,” kataku. “Tadi waktu main sepeda bau.”“Jahat!” Fal mencubit lenganku, tidak sakit, tetapi aku pura-pura sakit.Tadi—selepas aku memilih burung perantara di Nadir—membuat Falcon bertengger di belakang gerha—Fal menemukanku di jalur penghubung. Dia naik sepeda, lalu berseru, “Fal harus temani Forlan latihan sambil main sepeda!”“Fal menyuruhku latihan?” tanyak
Aku baru berdiri di pagarnya, tetapi Lavi keluar, bersedekap di depan pintu.Saat itu matahari sudah hampir terbenam, jadi suasananya hampir gelap. Dia tidak tersenyum menyambut seperti yang biasa dilakukan—hanya berdiri, rasanya ada aura tajam dari caranya bersedekap. Dia menatapku dengan nuansa lurus. Dia seperti tidak mau bicara. Tampaknya menungguku bicara, tetapi aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, dan kikuk. Aku ingin tertawa, tetapi tidak paham harus tertawa karena apa. Rasanya... hanya ingin tertawa.Kami diam di posisi itu hampir dua menit.Itu memecah rekor waktu terlama kami saling terdiam, melebihi ketika kami menikmati momen di danau kano.“Ng,” kataku, akhirnya bicara, “kau sudah tahu?”“Besok misi,” ucapnya, “masih sempat jail? Aku sungguhan kaget.”“M-Maaf.”“Mau sampai kapan kau berdiri di sana?”“Eh, iya.”
Lavi menunjukkan bingkai yang ingin dia pajang di markas.“Ini,” katanya, menunjuk foto dengan bingkai besar.Sejujurnya aku membayangkan foto yang ingin dia pajang itu foto seluruh tim penyerang. Namun, itu foto kami—hanya aku bersamanya. Aku ingat momen saat foto itu diambil. Kami sudah berpacaran. Aku berniat ikut mengambil buah di perkebunan Padang Anushka—aku bahkan sudah memakai satu set pakaian kebun mulai dari caping sampai celemek kulit. Namun, Lavi tiba-tiba memaksa agar aku ikut berkuda. Karena aku lebih ingin memetik buah, dan Lavi tidak terhentikan, aku memakaikan caping ke kepala Lavi, lalu merangkul bahunya ke kebun. Di foto itu, momen yang terambil adalah saat aku merangkul pundak Lavi dengan tawa lebar dan sorakan penuh semangat, sementara Lavi membenarkan caping di kepalanya. Satu tanganku merangkul Lavi, satu tanganku lagi memegang keranjang buah. Lavi cemberut, tetapi tidak terlihat keberatan. Itu salah satu foto yang diambil
Itu pertama kali aku bermimpi aneh ketika terlelap di gerha Lavi.Kali ini aku ingat sepenuhnya apa yang terjadi sebelum bermimpi. Bahkan di awal penglihatan ini tampaknya ada bagian dalam diriku yang sadar, sehingga aku sadar kalau tengah bermimpi. Aku tak yakin Fin punya kuasa memperlihatkan sesuatu—meskipun itu juga bukan hal mustahil.Hal pertama yang kulihat, adalah air terjun.Sejujurnya ada begitu banyak air terjun yang kulihat selama hidupku. Ketika di pondok bersama Aza dan Nenek, mereka selalu punya ide menyeretku ke setiap air terjun di semua sudut gunung. Terkadang itu air terjun yang punya muara begitu besar—yang juga punya ruang untuk berenang. Terkadang air terjun yang begitu curam ke bawah jurang—kami biasanya berhenti di suatu tebing yang tidak terlalu mengerikan. Biasanya air terjun seperti itu hanya dikunjungi olehku dan Aza di sela lari gunung. Terkadang kami juga mengunjungi air terjun yang begitu indah hingga memunculkan p
Aku terbangun dengan cara paling normal di awal pagi.Mataku terbuka perlahan, samar-samar segera mendapati mata seseorang. Hal pertama yang kulihat, adalah bercak merah kecil di matanya. Lalu pandanganku semakin jelas, mendapati senyum kecilnya merekah. Ketika mataku tak lagi melihat hal buram kecuali senyum murni, suaraku juga kembali cerah.“Selamat pagi.”“Selamat pagi,” sapa senyum Lavi. “Di luar masih gelap.”“Hm-mm.”“Nyenyak sekali tidurmu. Semalam tidak tidur?”“Hm. Ya.”Mimpi itu masih terekam jelas dalam kepalaku. Namun, yang paling kuingat justru tentang perempuan itu. Benarkah itu Lavi?“Lavi, kau suka air terjun?” tanyaku.“Aku suka pemandangan alam yang bagus. Kenapa?”“Tadi aku mimpi kau duduk di air terjun. Katanya aku rekanmu yang paling bisa kau percaya. Tapi kau mengusirku karena itu mimpimu.&r
Matahari baru terbit, kubilang pada Lavi. “Mau jalan-jalan pagi, tidak?”“Danau kano?”“Terserah. Aku cuma mau jalan-jalan denganmu. Mau?”Lavi mau. Tanpa harus kuajak, sebenarnya Lavi juga akan keluar. Ini waktu rutinnya untuk lari pagi, dan sebenarnya aku tidak bermaksud menahannya latihan, tetapi dia bilang, “Masa-masa sebelum misi ini lumayan krusial. Melihat apa yang terjadi belakangan ini, saat aku meninggalkanmu beberapa jam saja, kau bisa tiba-tiba mengalami hal yang membuatmu syok. Lebih baik aku menemanimu.”“Aku tidak serapuh itu sampai harus dijaga,” kataku.Hanya saja, sebenarnya ini bukan pertama kalinya kami jalan-jalan pagi. Terakhir kami mengambil momen di pagi buta, adalah saat aku kembali dari Pulau Pendiri, menceritakan hal penting di tepi danau kano. Rasanya sudah berlalu lama.“Pagi ini dingin, ya,” kata Lavi, saat keluar pagar, menggosok telapaknya