Itu pertama kali aku bermimpi aneh ketika terlelap di gerha Lavi.
Kali ini aku ingat sepenuhnya apa yang terjadi sebelum bermimpi. Bahkan di awal penglihatan ini tampaknya ada bagian dalam diriku yang sadar, sehingga aku sadar kalau tengah bermimpi. Aku tak yakin Fin punya kuasa memperlihatkan sesuatu—meskipun itu juga bukan hal mustahil.
Hal pertama yang kulihat, adalah air terjun.
Sejujurnya ada begitu banyak air terjun yang kulihat selama hidupku. Ketika di pondok bersama Aza dan Nenek, mereka selalu punya ide menyeretku ke setiap air terjun di semua sudut gunung. Terkadang itu air terjun yang punya muara begitu besar—yang juga punya ruang untuk berenang. Terkadang air terjun yang begitu curam ke bawah jurang—kami biasanya berhenti di suatu tebing yang tidak terlalu mengerikan. Biasanya air terjun seperti itu hanya dikunjungi olehku dan Aza di sela lari gunung. Terkadang kami juga mengunjungi air terjun yang begitu indah hingga memunculkan p
Aku terbangun dengan cara paling normal di awal pagi.Mataku terbuka perlahan, samar-samar segera mendapati mata seseorang. Hal pertama yang kulihat, adalah bercak merah kecil di matanya. Lalu pandanganku semakin jelas, mendapati senyum kecilnya merekah. Ketika mataku tak lagi melihat hal buram kecuali senyum murni, suaraku juga kembali cerah.“Selamat pagi.”“Selamat pagi,” sapa senyum Lavi. “Di luar masih gelap.”“Hm-mm.”“Nyenyak sekali tidurmu. Semalam tidak tidur?”“Hm. Ya.”Mimpi itu masih terekam jelas dalam kepalaku. Namun, yang paling kuingat justru tentang perempuan itu. Benarkah itu Lavi?“Lavi, kau suka air terjun?” tanyaku.“Aku suka pemandangan alam yang bagus. Kenapa?”“Tadi aku mimpi kau duduk di air terjun. Katanya aku rekanmu yang paling bisa kau percaya. Tapi kau mengusirku karena itu mimpimu.&r
Matahari baru terbit, kubilang pada Lavi. “Mau jalan-jalan pagi, tidak?”“Danau kano?”“Terserah. Aku cuma mau jalan-jalan denganmu. Mau?”Lavi mau. Tanpa harus kuajak, sebenarnya Lavi juga akan keluar. Ini waktu rutinnya untuk lari pagi, dan sebenarnya aku tidak bermaksud menahannya latihan, tetapi dia bilang, “Masa-masa sebelum misi ini lumayan krusial. Melihat apa yang terjadi belakangan ini, saat aku meninggalkanmu beberapa jam saja, kau bisa tiba-tiba mengalami hal yang membuatmu syok. Lebih baik aku menemanimu.”“Aku tidak serapuh itu sampai harus dijaga,” kataku.Hanya saja, sebenarnya ini bukan pertama kalinya kami jalan-jalan pagi. Terakhir kami mengambil momen di pagi buta, adalah saat aku kembali dari Pulau Pendiri, menceritakan hal penting di tepi danau kano. Rasanya sudah berlalu lama.“Pagi ini dingin, ya,” kata Lavi, saat keluar pagar, menggosok telapaknya
Satu jam sebelum keberangkatan misi, kami berkumpul di markas.Perintah Lavi sederhana. “Misi hanya enam jam. Sekarang jam dua siang, misi berakhir jam sembilan malam. Malam nanti, aku harus lihat wajah kalian di sini lagi. Tanpa terkecuali. Kawal kandidat baru, jaga area, tetap komunikasi. Kalau ada yang aneh, langsung hubungi tiap tim. Mengerti?”Tidak ada bantahan. Kami mengangguk.Aku juga sempat berbincang dengan Dalton dan Reila tentang pergerakan kami di alam liar. Pembicaraan itu juga didengar Jesse. Kami di padang rumput—Jesse bilang, inti utama misi ada di tim kami.“Kalian menjaga area tengah. Tim pertama mungkin mengawal mereka dari awal sampai akhir, tapi kalau memang ada potensi serangan, yang paling pertama tahu itu tim kalian. Tidak ada komunikasi ke Padang Anushka. Jadi, kuharap tidak ada hal aneh terjadi. Ingat, ini bukan misi patroli. Ini misi pengawalan. Selama yang kalian kawal berhasil melewati pos, misi kalia
Medan awal yang kami temukan, adalah puing-puing.Benar-benar membangkitkan banyak kenangan.Aku tidak yakin itu puing-puing kota. Setelah 500 tahun peradaban, cukup mustahil masih ada bekas-bekas peninggalan manusia yang bertahan—meski ada begitu banyak bekas bangunan tersebar. Vegetasi sudah menguasai alam. Lumut di mana-mana. Hanya saja, bekas bangunan masih tersisa.“Memang benar,” gumam Reila, memandang sekitar. “Bukan puing-puing yang sama seperti dulu. Kupikir kita bakal bertemu jembatan itu lagi.”Reila berjalan di dekatku, mengiringi langkah kaki yang sebenarnya cukup cepat dibanding jalan normal. Setelah—entah berapa kilometer berlari—kini kami agak mulai memelankan laju. Dalton berjalan agak ke depan. Tidak ada apa-apa di sekitar kami. Hanya puing-puing dan aspal retak berlapis lumut dan sulur, jadi kami bisa lihat Dalton secara jelas. Pohon-pohon liar tumbuh di sekitar, tetapi tak terlalu banyak hingga
Misi semakin sinting. Tanda-tanda kekacauan terus bermunculan.Kami sampai di pos hutan kurang lebih dua jam setelah keberangkatan.Penentuan posisi pasti pos ditetapkan Jesse melalui citra gelombang dalam alat dan jarak ideal antar pos ke Padang Anushka. Kalau berpikir pos hutan akan ada di daerah yang—setidaknya layak ditempati—harapan itu tentunya idiot. Kami harus berhenti di kedalaman hutan paling lembap, yang permukaan tanahnya cukup berlumpur, dengan kondisi topografi yang tidak beraturan, dan tidak ada jalur yang terlihat, kecuali semak-semak keterlaluan panjang yang menutupi rawa. Jadi, satu-satunya yang bisa kami lakukan untuk berjaga di pos, adalah duduk di dahan pohon. Dan kami harus selektif mencari pohon, karena ngengat di mana-mana—dan meski kami sudah memakai satu set pengusir nyamuk dari Isha, bunyi ngengat hutan ini masih cukup mengganggu. Ranting pohon yang dipilih harus nyaman untuk berjaga empat jam, yang setidaknya mampu menahan
Dalton akhirnya juga ikut melihat.Fin berhasil memberitahu posisi pasti, tetapi dia tidak bisa mendekat lebih jauh, yang itu artinya, dia tidak bisa melihat bagian dalam gubuk.[“Ada penghalang energi.”]“Penghalang roh?”[“Batu kristal. Bisa mengambil banyak energi.”]“Berarti kau tidak bisa memastikan ada manusia di sana?”[“Itu permintaanmu?”]“Ya. Tolong cari manusia di sekitar.”Dalton menatapku dengan frekuensi intens ketika aku bicara sendiri. Reila tidak terlalu peduli, hanya terus mengamati layar.“Kau bicara dengan roh alam?” tanya Dalton, akhirnya.“Ya.”“Kau memang penyihir.”Gubuk itu sekilas seperti rumah bambu sederhana layaknya gudang kecil. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Sepertinya bisa memuat lima orang dewasa di satu ruangan. T
Waktu semakin menipis, tetapi kami tidak mampu bergerak.Kami harus menjaga napas sedemikian rupa, mengurangi gerakan sekecil apa pun—karena gubuk ini kecil, dan mereka berempat, secara teknis, berkumpul di dalam gubuk. Kami hampir tidak ada jarak. Suara sekecil apa pun bisa mengubah situasi sangat cepat. Ketenangan benar-benar diperlukan.Mereka berempat. Dua orang dewasa. Dua pemuda.Satu orang dewasa kelihatan kekar, seperti sudah melewati rintangan kelas neraka. Sorotnya tajam. Dia sempat melihat tepat ke mataku seolah bisa melihatku dan—meski dia bukan pemilik kemampuan—aku merasa seperti diperhatikan. Aku tahu dia hanya melihat dinding di belakangku, tetapi rasanya dia melihatku.Satu orang dewasa lagi kelihatan seperti pemimpin. Dia juga lumayan kekar meski tidak sekekar orang dewasa satunya. Dia cukup tinggi—yang paling tinggi di antara empat orang ini, dan dia punya pengalaman alam liar paling kuat di antara yang lain&mdas
Ada keheningan sesaat ketika ide itu keluar.Namun, akhirnya Dalton menggeleng.“Aku menolak,” kata Dalton. “Kalau kita pakai kemampuanmu, itu artinya kita mengamankan gubuk ini agar sewaktu-waktu bisa kembali kemari—itu yang kau bilang. Dan kau yang bilang juga—kita tidak tahu siapa mereka. Kemungkinan bukan musuh—itu berisiko. Kalau kita kembali membawa empat orang ini, dan kita ambil misi lain untuk ke tempat ini, paling tidak butuh waktu. Titik akan berpindah lagi. Tidak tahu seberapa jauh. Dan mungkin saja saat itu musuh sudah mengetahui tempat ini telah diambil alih dan bersiap di sini untuk menyergap personil misi yang berangkat. Meski pelindungmu menghilangkan wujud, mereka masih bisa berjaga di sekitar. Aku tahu baru saja menganggap mereka bagian musuh. Tapi bagaimana kalau benar? Kemungkinan terburuknya, mereka memang musuh. Jadi, kita susun rencana cepat dengan asumsi mereka memang musuh.”Gagasan itu benar. S