Dalton akhirnya juga ikut melihat.
Fin berhasil memberitahu posisi pasti, tetapi dia tidak bisa mendekat lebih jauh, yang itu artinya, dia tidak bisa melihat bagian dalam gubuk.
[“Ada penghalang energi.”]
“Penghalang roh?”
[“Batu kristal. Bisa mengambil banyak energi.”]
“Berarti kau tidak bisa memastikan ada manusia di sana?”
[“Itu permintaanmu?”]
“Ya. Tolong cari manusia di sekitar.”
Dalton menatapku dengan frekuensi intens ketika aku bicara sendiri. Reila tidak terlalu peduli, hanya terus mengamati layar.
“Kau bicara dengan roh alam?” tanya Dalton, akhirnya.
“Ya.”
“Kau memang penyihir.”
Gubuk itu sekilas seperti rumah bambu sederhana layaknya gudang kecil. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Sepertinya bisa memuat lima orang dewasa di satu ruangan. T
Waktu semakin menipis, tetapi kami tidak mampu bergerak.Kami harus menjaga napas sedemikian rupa, mengurangi gerakan sekecil apa pun—karena gubuk ini kecil, dan mereka berempat, secara teknis, berkumpul di dalam gubuk. Kami hampir tidak ada jarak. Suara sekecil apa pun bisa mengubah situasi sangat cepat. Ketenangan benar-benar diperlukan.Mereka berempat. Dua orang dewasa. Dua pemuda.Satu orang dewasa kelihatan kekar, seperti sudah melewati rintangan kelas neraka. Sorotnya tajam. Dia sempat melihat tepat ke mataku seolah bisa melihatku dan—meski dia bukan pemilik kemampuan—aku merasa seperti diperhatikan. Aku tahu dia hanya melihat dinding di belakangku, tetapi rasanya dia melihatku.Satu orang dewasa lagi kelihatan seperti pemimpin. Dia juga lumayan kekar meski tidak sekekar orang dewasa satunya. Dia cukup tinggi—yang paling tinggi di antara empat orang ini, dan dia punya pengalaman alam liar paling kuat di antara yang lain&mdas
Ada keheningan sesaat ketika ide itu keluar.Namun, akhirnya Dalton menggeleng.“Aku menolak,” kata Dalton. “Kalau kita pakai kemampuanmu, itu artinya kita mengamankan gubuk ini agar sewaktu-waktu bisa kembali kemari—itu yang kau bilang. Dan kau yang bilang juga—kita tidak tahu siapa mereka. Kemungkinan bukan musuh—itu berisiko. Kalau kita kembali membawa empat orang ini, dan kita ambil misi lain untuk ke tempat ini, paling tidak butuh waktu. Titik akan berpindah lagi. Tidak tahu seberapa jauh. Dan mungkin saja saat itu musuh sudah mengetahui tempat ini telah diambil alih dan bersiap di sini untuk menyergap personil misi yang berangkat. Meski pelindungmu menghilangkan wujud, mereka masih bisa berjaga di sekitar. Aku tahu baru saja menganggap mereka bagian musuh. Tapi bagaimana kalau benar? Kemungkinan terburuknya, mereka memang musuh. Jadi, kita susun rencana cepat dengan asumsi mereka memang musuh.”Gagasan itu benar. S
Dalton sudah mengikat empat orang itu. Dia mengikat mereka dengan satu lapis kantung tidur mereka, lalu dililit dengan tali. Entah bagaimana dia juga bisa menemukan plester, membungkam mulut dan menutup mata mereka.Dia bisa bekerja sangat efisien bahkan di situasi yang menggantung. Ketika aku menghampirinya, kubilang, “Maaf aku memotong ucapanmu. Sebaiknya kita pikirkan apa yang harus dilakukan. Aku sudah menghubungi Lavi.”Jadi, kami duduk mengelilingi api unggun kecil.Fin meminta Reila tidur karena sejatinya: [“Manusia butuh tidur agar cepat mengisi energi yang hilang. Berbeda dengan roh.”]Reila tidak ingin tidur. Dia ingin ikut memikirkan rencana, terutama karena sebagian besar yang terjadi di gubuk ini salahnya. Namun, aku tidak sedang ingin berdebat, dan aku, secara teknis, memberi perintah. Jadi, ketika Reila protes dengan berkata, “Aku juga bisa berpikir cepat, jadi—”Aku menjentikkan jar
Aku menggendong Reila di punggung. Dalton menggendong tas ransel.Masalahnya, adalah membawa empat orang ini. Aku perlu lebih waspada di tengah malam dengan memperluas jangkauan pelacakan, tetapi Dalton juga cukup mustahil membawa empat orang ini dengan kemampuannya. Dia memberi dua opsi: pertama, ambil besi, buat mereka menempel ke besi itu dengan kemampuan magnet lalu kita mengangkat besi itu bersama-sama. Ide pertama agak idiot mengingat ada empat orang, yang tentunya punya bobot lumayan gila—belum lagi dengan kondisi harus melewati medan menantang. Kedua, memakai kemampuan magnet, dengan memanfaatkan kutub yang saling menolak. Mereka bisa mengikuti iringan langkah kami dengan terus memantul-mantul karena tolakan magnet. Lagi-lagi ide kedua cukup idiot, yang bahkan tidak manusiawi.Jadi, kami pakai ide ketiga: kemampuan angin milikku.Aku sudah menduga akan bekerja jauh lebih keras ketika misi ini berlanjut mencari titik. Mereka bisa melayang dengan kem
Reila yang punya ide: “Bangunkan si kacung. Ancam dia menjawab.”Tidak sampai lima detik setelah Reila mengatakannya, kami sudah sepakat.Perundingan dilakukan cepat. Dalton bersedia melakukannya. Kondisi yang bisa diterima si penerima laporan adalah pimpinan regu yang menjawab. Namun, poin utamanya adalah adanya orang yang menyahut—setidaknya, sebagai tanda mereka masih hidup. Kami tidak bisa mengambil risiko dengan membangunkan si pemimpin—dia pasti mengamuk—intinya, semua akan berbuntut panjang. Begitu juga dengan si kekar dan si ahli masak. Dua orang itu bukan tipe yang membuka mulut. Pilihan tersisa hanya si kacung.Jadi, aku mengikat si kacung ke pohon terdekat, membuatnya tidak mampu bergerak atau meloloskan diri—lalu sementara tiga orang lain ditidurkan di tempat kubangan tanah, aku dan Reila mengawasi Dalton dari dahan atas mereka.Kalau terjadi sesuatu di luar rencana, kami yang melakukannya.Dalton men
Kami memutuskan tidak melanjutkan perjalanan sampai matahari terbit.Tidak ada penunjuk arah pasti. Tidak ada penunjuk pasti berapa kilometer lagi yang harus kami tempuh—dan kami tidak mau melakukan perjalanan sia-sia. Di kawasan ini, aku tidak merasa begitu terancam, jadi kubilang pada mereka kalau tempat ini cocok untuk tempat peristirahatan. Mereka setuju dengan cepat.Pada akhirnya, tidak ada satu pun dari kami yang memakai kubangan tanah.Tempat itu justru menjadi tempat penyimpanan barang sekaligus tempat tiga orang tersisa ditempatkan. Mereka masih tidur. Sebenarnya aku ingin meminta Fin menjaga mereka, tetapi ransel juga disimpan di sana—yang secara teknis, memiliki batu kristal penghalang roh. Dan tampaknya dugaanku benar. Satu batu kristal tidak memiliki pengaruh apa-apa. Fin hanya benci dekat dengan batu kristal itu. Keadaan di gubuk itu jauh lebih mengerikan untuk roh. Batu kristal tertanam di mana-mana. Itu menjawab mengapa suasananya te
Pada akhirnya, kami berusaha tetap terjaga sepanjang malam. Tak seorang pun berniat tidur. Jadi, kami hanya mengisi waktu dengan apa pun.Lavi sempat terhubung lagi saat aku sedang melihat area sekitar dengan Fin. Dia bersuara dengan suara rusuh seolah baru tertinggal sesuatu yang penting—plus, suaranya kaget.[“Forlan, kau baik-baik saja?”]Aku menjawab senormal yang bisa kulakukan. “Kau bermimpi?”[“Tidak. Aku—Aku ketiduran. Maaf. Kau baik-baik saja?”]“Tenanglah. Tidak ada masalah. Kau juga baru kembali dari misi, jangan memaksakan diri. Boleh aku minta bantuanmu?”Jadi, akhirnya kami mendapat titik pasti lokasi tujuan kami. Aku yakin dari semua barang rampasan kami, ada satu alat yang fungsinya menunjukkan koordinat tertentu. Mengingat tugas empat orang ini semacam melacak keberadaan wilayah, semestinya alat itu wajib dimiliki.“Lavi, nanti ada per
Ternyata komunikasi sewaktu matahari terbit bisa dilalui dengan mudah.Sebenarnya cukup aneh. Maksudku, si kacung berubah lagi. Dia kelihatan takut, lalu gagap, tidak yakin apa yang harus dikatakan, tetapi barangkali dia dan Dalton sudah berunding membahas hal tertentu, sehingga mereka punya rencana untuk dikatakan dalam jalur komunikasi. Sayangnya, si kacung terlihat begitu aneh seolah dia tidak yakin ingin membantu kami lagi.Setelah si kacung melapor ke jalur komunikasi bahwa semua orang sedang bersiap, dan si pemimpin mengambil kayu bakar, komunikasi berhenti.Aku dan Reila kembali ke tempat mereka setelah mengemas barang-barang di kubangan tanah, mendapati tiga orang masih tertidur. Jadi, Reila mengangkatnya dengan kemampuan. Tak ada yang berbeda antara angin yang mengangkatnya atau kemampuan Reila, tetapi setidaknya, beban kemampuanku berkurang.Ketika itulah, si kacung, dengan suara bergetar mulai menggerakkan mulut.“J-Jika perjanjian
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak