Aku menggendong Reila di punggung. Dalton menggendong tas ransel.
Masalahnya, adalah membawa empat orang ini. Aku perlu lebih waspada di tengah malam dengan memperluas jangkauan pelacakan, tetapi Dalton juga cukup mustahil membawa empat orang ini dengan kemampuannya. Dia memberi dua opsi: pertama, ambil besi, buat mereka menempel ke besi itu dengan kemampuan magnet lalu kita mengangkat besi itu bersama-sama. Ide pertama agak idiot mengingat ada empat orang, yang tentunya punya bobot lumayan gila—belum lagi dengan kondisi harus melewati medan menantang. Kedua, memakai kemampuan magnet, dengan memanfaatkan kutub yang saling menolak. Mereka bisa mengikuti iringan langkah kami dengan terus memantul-mantul karena tolakan magnet. Lagi-lagi ide kedua cukup idiot, yang bahkan tidak manusiawi.
Jadi, kami pakai ide ketiga: kemampuan angin milikku.
Aku sudah menduga akan bekerja jauh lebih keras ketika misi ini berlanjut mencari titik. Mereka bisa melayang dengan kem
Reila yang punya ide: “Bangunkan si kacung. Ancam dia menjawab.”Tidak sampai lima detik setelah Reila mengatakannya, kami sudah sepakat.Perundingan dilakukan cepat. Dalton bersedia melakukannya. Kondisi yang bisa diterima si penerima laporan adalah pimpinan regu yang menjawab. Namun, poin utamanya adalah adanya orang yang menyahut—setidaknya, sebagai tanda mereka masih hidup. Kami tidak bisa mengambil risiko dengan membangunkan si pemimpin—dia pasti mengamuk—intinya, semua akan berbuntut panjang. Begitu juga dengan si kekar dan si ahli masak. Dua orang itu bukan tipe yang membuka mulut. Pilihan tersisa hanya si kacung.Jadi, aku mengikat si kacung ke pohon terdekat, membuatnya tidak mampu bergerak atau meloloskan diri—lalu sementara tiga orang lain ditidurkan di tempat kubangan tanah, aku dan Reila mengawasi Dalton dari dahan atas mereka.Kalau terjadi sesuatu di luar rencana, kami yang melakukannya.Dalton men
Kami memutuskan tidak melanjutkan perjalanan sampai matahari terbit.Tidak ada penunjuk arah pasti. Tidak ada penunjuk pasti berapa kilometer lagi yang harus kami tempuh—dan kami tidak mau melakukan perjalanan sia-sia. Di kawasan ini, aku tidak merasa begitu terancam, jadi kubilang pada mereka kalau tempat ini cocok untuk tempat peristirahatan. Mereka setuju dengan cepat.Pada akhirnya, tidak ada satu pun dari kami yang memakai kubangan tanah.Tempat itu justru menjadi tempat penyimpanan barang sekaligus tempat tiga orang tersisa ditempatkan. Mereka masih tidur. Sebenarnya aku ingin meminta Fin menjaga mereka, tetapi ransel juga disimpan di sana—yang secara teknis, memiliki batu kristal penghalang roh. Dan tampaknya dugaanku benar. Satu batu kristal tidak memiliki pengaruh apa-apa. Fin hanya benci dekat dengan batu kristal itu. Keadaan di gubuk itu jauh lebih mengerikan untuk roh. Batu kristal tertanam di mana-mana. Itu menjawab mengapa suasananya te
Pada akhirnya, kami berusaha tetap terjaga sepanjang malam. Tak seorang pun berniat tidur. Jadi, kami hanya mengisi waktu dengan apa pun.Lavi sempat terhubung lagi saat aku sedang melihat area sekitar dengan Fin. Dia bersuara dengan suara rusuh seolah baru tertinggal sesuatu yang penting—plus, suaranya kaget.[“Forlan, kau baik-baik saja?”]Aku menjawab senormal yang bisa kulakukan. “Kau bermimpi?”[“Tidak. Aku—Aku ketiduran. Maaf. Kau baik-baik saja?”]“Tenanglah. Tidak ada masalah. Kau juga baru kembali dari misi, jangan memaksakan diri. Boleh aku minta bantuanmu?”Jadi, akhirnya kami mendapat titik pasti lokasi tujuan kami. Aku yakin dari semua barang rampasan kami, ada satu alat yang fungsinya menunjukkan koordinat tertentu. Mengingat tugas empat orang ini semacam melacak keberadaan wilayah, semestinya alat itu wajib dimiliki.“Lavi, nanti ada per
Ternyata komunikasi sewaktu matahari terbit bisa dilalui dengan mudah.Sebenarnya cukup aneh. Maksudku, si kacung berubah lagi. Dia kelihatan takut, lalu gagap, tidak yakin apa yang harus dikatakan, tetapi barangkali dia dan Dalton sudah berunding membahas hal tertentu, sehingga mereka punya rencana untuk dikatakan dalam jalur komunikasi. Sayangnya, si kacung terlihat begitu aneh seolah dia tidak yakin ingin membantu kami lagi.Setelah si kacung melapor ke jalur komunikasi bahwa semua orang sedang bersiap, dan si pemimpin mengambil kayu bakar, komunikasi berhenti.Aku dan Reila kembali ke tempat mereka setelah mengemas barang-barang di kubangan tanah, mendapati tiga orang masih tertidur. Jadi, Reila mengangkatnya dengan kemampuan. Tak ada yang berbeda antara angin yang mengangkatnya atau kemampuan Reila, tetapi setidaknya, beban kemampuanku berkurang.Ketika itulah, si kacung, dengan suara bergetar mulai menggerakkan mulut.“J-Jika perjanjian
Badai berlangsung tidak lebih dari setengah jam.Reila hampir menutupi seluruh tubuhku, jadi bagian tubuhku hanya sedikit basah. Masalah utamanya: Dalton hangus dan basah. Si kacung juga basah. Hujan menerpa kantung tidur yang menyelimutinya, dan dia bersin.Dalton terbangun ketika badai mulai reda.Kabar baiknya: dia tidak terlalu terluka. Ternyata Dalton sudah melapisi diri dengan kemampuan medan magnetnya—dengan asumsi sandera yang terikat bisa menyerangnya. Persiapannya cukup matang, tidak hanya sekadar mengancam, jadi dia hanya pingsan karena efek ledakan sangat dekat. Permukaan tanah yang tiba-tiba turun juga menyelamatkannya dari efek langsung jarak dekat—terutama ketika aku juga membantunya sedikit terlontar ke udara dengan tanah.Reila langsung membantu Dalton meneguk empon-empon. Kurang lebih, Dalton segera pulih tanpa jeda. Dia memang tidak terlalu terluka. Hanya syok.Aku juga sudah menghabiskan semua pisang—sebagai ga
Akhirnya, Berlin menjelaskan semua alat yang kami rampas.Reila memang bilang padaku kalau Berlin tidak menjelaskan fungsi semua alat yang mereka tanyakan ketika di pos sebelumnya. Kali ini, dia benar-benar bisa menjelaskan semuanya—isi satu ransel kami.“Kau keberatan kami tetap mengikatmu?” tanyaku, sebelum bertanya.“Tidak.”“Bagus. Kami tidak punya pilihan lain.”Penjelasan dimulai, dan penjelasan awalnya saja sebenarnya sudah cukup mencengangkan. Dia bilang tentang kondisi kematian.“Setiap orang juga harus menyimpan pil di balik gusinya. Pil dosis tinggi. Aku pernah lihat rekanku tewas terpaksa menenggak pil itu. Dia langsung kejang-kejang, sangat lama, benar-benar menyiksa, lalu berbusa—”“Cukup,” aku menghentikannya. “Kau punya pil itu?”“Ada di barang yang kalian rampas.”“Maksudku, di gusimu.”&ldq
Kami menempuh tiga jam perjalanan sampai bertemu Jenderal dan Nadir.Tentunya setelah melewati beragam medan terjal—yang kurang lebih tanpa istirahat. Maksudku, kami sempat beristirahat beberapa kali, tetapi tak terlalu lama. Hanya untuk menarik napas. Sebagian perjalanan juga kami tempuh dengan lari—meski yang sering terjadi adalah Dalton di belakang bersama Berlin, sementara aku lebih dulu dengan Reila. Aku tidak ingin terlalu peduli dengan sandera kami—sejak ledakan itu terjadi dan kami kehilangan tiga orang, itu sudah tanda kegagalan kami dalam misi ini. Berlin hanya kacung. Baru kusadari dia tidak membawa informasi sepenting tiga orang lain yang jelas lebih berpengalaman dalam tugasnya.Bukan maksudku meremehkan Berlin—barangkali ada yang perlu diambil dari pengetahuan Berlin, tetapi fokus utamaku sekarang bukan membawanya agar bisa diinterogasi Padang Anushka. Berlin bilang komunikasi akan terputus apabila bos regu inti mereka sudah menget
Titik Padang Anushka ada di ujung hutan.Aku tidak yakin menyebut tempat ini ujung hutan karena pada dasarnya ada hutan setelah hutan. Hanya saja, nuansa hutannya sedikit lebih berbeda karena area sudah keluar dari perbukitan. Hanya ada tanah rata dan pepohonan liar yang mulai semakin raksasa. Alam liar dipenuhi pohon raksasa—barangkali dua kali lipat lebih besar dari pohon-pohon Padang Anushka. Suasananya juga hening. Bila memang terdengar suara, biasanya itu dari hewan liar, dan itu sinyal terbaik bagi kami untuk mengangkat senjata. Coba saja tidak memegang senjata setelah mendengar suara-suara aneh—kau pasti mati dalam hitungan detik.Jadi, titik Padang Anushka yang ini barangkali ada di kaki bukit. Tak terlalu banyak pohon di sekitar kami. Hanya ada beberapa pohon. Kesannya tidak terlalu mencekam, dan karena kami tiba saat tengah hari, suasananya hanya normal.Sudah hampir satu jam kami menunggu.Hingga akhirnya tanda-tanda kemunculan Pada
Medan awal kami tidak terlalu mengerikan. Bahkan sesuai dugaanku. Tanah cukup rata. Pohon-pohon juga renggang, tidak seperti hutan alam liar biasanya. Aku bisa merasakan kami ada di area luar gunung. Kami di dataran tinggi normal. Tidak ada area berbahaya yang kurasakan. Hanya seperti alam liar normal.Meskipun begitu, bukan berarti areanya benar-benar datar. Masih ada celah-celah kecil seperti jurang bekas longsor. Biasanya itu bisa dihindari dengan mudah. Sayangnya, gelap. Malam telah menguasai alam liar. Haswin dan Yasha memakai senter sorot di kepalanya. Mereka mengikat senter itu di kepala, lalu mengarahkan itu ke sekitar yang membuat semua kelihatan jelas.“Cahayanya terlalu terang,” kata Dalton.“Kurasa begitu,” ujar Haswin.“Memberi cahaya terlalu terang seperti memberi sinyal musuh.”“Aku tahu itu.” Haswin akhirnya mengecilkan tingkat kecerahan senter.“Kelihatannya kita tidak di
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c