Titik Padang Anushka ada di ujung hutan.
Aku tidak yakin menyebut tempat ini ujung hutan karena pada dasarnya ada hutan setelah hutan. Hanya saja, nuansa hutannya sedikit lebih berbeda karena area sudah keluar dari perbukitan. Hanya ada tanah rata dan pepohonan liar yang mulai semakin raksasa. Alam liar dipenuhi pohon raksasa—barangkali dua kali lipat lebih besar dari pohon-pohon Padang Anushka. Suasananya juga hening. Bila memang terdengar suara, biasanya itu dari hewan liar, dan itu sinyal terbaik bagi kami untuk mengangkat senjata. Coba saja tidak memegang senjata setelah mendengar suara-suara aneh—kau pasti mati dalam hitungan detik.
Jadi, titik Padang Anushka yang ini barangkali ada di kaki bukit. Tak terlalu banyak pohon di sekitar kami. Hanya ada beberapa pohon. Kesannya tidak terlalu mencekam, dan karena kami tiba saat tengah hari, suasananya hanya normal.
Sudah hampir satu jam kami menunggu.
Hingga akhirnya tanda-tanda kemunculan Pada
Hal berbeda di misi kali ini, adalah kami—aku dan Reila—tidak berakhir di klinik. Kami berakhir di gerhaku dengan pengawasan penuh Isha dan Tara.Maksud pengawasan penuh di sini, adalah Isha dan Tara berjaga di gerhaku. Kabar baiknya, yang mereka awasi bukan aku. Aku lolos dari pemeriksaan, tak ada masalah apa pun. Yang harus kulakukan hanya istirahat hingga malam tiba. Rapat Dewan dimulai nanti malam dengan topik utama laporan misi. Intinya, aku bukan objek pengawasan Isha dan Tara. Yang mereka awasi, tidak lain tidak bukan adalah Reila. Alasannya hanya satu: aku membocorkan kalau Reila sempat panas dingin di alam liar. Tentu Reila langsung berang, melotot seolah punya niat membunuhku dengan setumpuk cabai di makan malam, tetapi dia tidak protes ketika Isha mulai memeriksa dan menanyainya macam-macam.Kabar buruknya, aku tidak bisa keluar kamar. Terlalu banyak cewek. Lavi juga di ruang tengah setelah menyelesaikan urusannya dengan kandidat baru. Isha dan L
Sebenarnya aku ingin tahu soal kandidat baru terlebih dahulu, tetapi kalau dipikir-pikir harusnya bahasan itu sudah dilakukan saat mereka tiba.Aku tidak terlalu basa-basi, jadi langsung kulaporkan semua yang terjadi di pos hutan—bagaimana kami sampai di sana, perhitungan waktu ketika kami tiba dan menetap di sana, sampai komunikasiku dengan Lavi, setidaknya laporanku bisa diterima dengan baik saat aku mulai menginjak soal gubuk hutan.“Tunggu,” sela Jesse. “Boleh aku tanya sesuatu?”“Ya.”“Apa kau tahu kalau titik Padang Anushka bakal berubah lebih cepat?”“Tidak.” Aku menggeleng. “Kau tahu, Jesse, medannya sangat terjal. Dan hujan turun, tidak terlalu deras, tapi mempengaruhi medan. Aku yakin tidak semua kandidat baru sudah terbiasa dengan alam liar. Kalau mau mengandalkan kecepatan mereka, pasti butuh lebih dari dua jam hanya untuk sampai.”“Tapi kau meman
Aku mengucapkannya sangat jelas: “Itu jantung monster.”Rapat Dewan hening seketika.Semua orang menatapku. Jesse—jarinya sedang memegang penutup kaca, tiba-tiba ragu. Dia mengangkat jarinya, lalu mulai bertanya lagi. “Apa katamu?”“Jantung monster.”Dalam sekejap, Rapat Dewan berhamburan. Semua kapten dan wakil kapten langsung beranjak dari kursi, mundur beberapa langkah dari tempat awal—Jesse bahkan sampai melompat mundur, menabrak meja Kara. Nuel menjerit, langsung bersembunyi di bawah meja. Haswin dan Yasha melompat mundur bersamaan, dan Haswin menggumamkan kata-kata dengan cepat. “Oke, oke. Sepertinya kali ini ahli roh kita lumayan sinting. Dia bawa jantung monster seperti artefak.” Yasha juga bilang, “Dia penyihir kelewat sinting.”Aslan mundur, mengambil posisi yang tepat: di belakang Mister yang tetap duduk. Dhiena dan Mika bangkit, mundur dengan elegan. Dhiena bahkan l
Profesor Merla memintaku mengajak Reila.Di gerhaku, mereka bertiga ternyata masih terjaga meskipun malam cukup larut. Jarang melihat Reila mengobrol dengan Moli, tetapi ternyata mereka lumayan akrab. Reila juga sudah seribu kali lebih segar dari sebelumnya. Dia mendapatiku membuka kulkas, bertanya, “Kenapa tidak membangunkanku?”“Tanya ke Moli,” kataku, mengambil sisa jus.“Bagaimana Rapat Dewan?”“Ikut sekarang. Disuruh Bibi Merla.”“Bibi? Ke mana? Rapat Dewan?”“Layla.”Hanya sekejap, tetapi aku merasa ekspresi Moli sedikit berubah. Dia cepat menutupi perubahan ekspresi itu, sehingga aku tidak sempat mengungkit.“Fal mau ikut,” kata Fal.“Tidur,” kataku.“Tidak mau,” balasnya, langsung.“Fal belum ketemu Layla?” tanya Reila.“Kemarin ketemu.”“Sekarang ma
Ruang karantina bawah tanah itu tidak terkesan seperti di bawah tanah.Nuansanya justru seperti di puncak gunung, yang punya tingkat kesegaran udara paling tinggi dibanding dataran lain. Ruangannya tidak memiliki jendela satu pun, tetapi angin terasa berhembus semilir. Sebenarnya setelah menemukan dunia di bawah Joglo yang ajaib itu, tidak akan ada lagi tempat yang bisa mengejutkanku. Namun, mengingat ruang karantina masih bagian dari Padang Anushka, dan secara teknis, terhubung dengan gedung klinik yang baru, itu cukup membuatku tertegun.Sayangnya, itu bukan waktu yang tepat untuk mengagumi ruangan.Reila, yang menemukan Layla terbaring tak sadarkan diri, langsung bangkit, bahkan tanpa sadar menghampirinya. Dia seperti trans, hingga tiba-tiba sudah mulai menggamit jemari Layla.Fal juga melompat dari pangkuanku, pindah ke kursi di sebelah ranjang.Di ruangan hanya ada kami, Profesor Merla, Dokter Gelda. Tidak ada lagi yang lain. Hanya mereka yang
Dokter Gelda juga punya alasan lain untukku alih-alih hanya memberitahu keadaan Layla. Dia mengatakannya sangat jelas.“Padang Anushka menjadi satu-satunya tempat Layla bisa bertahan. Kabar buruknya, tidak ada tenaga medis di tempat ini yang bisa menangani kasus Layla. Kalau memang kami mengerti, Isha yang bisa membaca sirkuit jaringan pemilik keganjilan pasti sudah menyadarinya sejak lama. Masalahnya, Isha tidak sanggup. Jadi, bila memang ada yang mengerti persoalan mekanisme energi dan sejenisnya melebihi tim medis saat ini, Forlan, hanya kau orangnya.”Itu permintaan yang sungguh berat.Profesor Merla juga memandangku penuh harap seolah aku bisa membuat Layla kembali membuka mata. Tentu saja aku juga ingin mendengar suaranya lagi, barangkali omelan panjang lebarnya yang penuh sarkasme. Namun, aku tak yakin. Meski sudah mengenal kemampuan ini, bukan berarti aku bisa melakukannya.“Beri aku waktu,” kataku. “Dan ruang.”
Keesokan paginya, Haswin mengajakku berjaga di pondok perbatasan.Kalau itu masih awal pagi dan Haswin sudah mengajak bicara, biasanya hanya tinggal menunggu waktu sampai pembicaraannya menjadi serius. Dia bahkan tidak mengajak langsung. Lavi yang mengatakannya.“Setelah makan denganku, temui Haswin.”Aku khawatir kelihatan muram, tetapi Fal bilang, “Forlan cerah, kok.”Aku tidak ingin mengerti apa yang dia maksud cerah. Kuharap dia bicara kalau aku tidak terkesan suram. Kebetulan, Lavi juga bilang hal sama.“Aku lega melihatmu tidak menyalahkan diri sendiri.”“Sejujurnya aku tidak yakin harus bereaksi seperti apa,” kataku.“Jangan dipikirkan—maksudku, kenali batasanmu. Aku tidak mau dengar kau sampai tidak tidur berhari-hari karena memikirkan masalah ini. Barangkali tim medis minta bantuan, tapi ini bukan masalahmu seorang. Meski ini bukan bidangku, bukan berarti aku tak bis
Pembicaraan serius tidak berlangsung lama karena Kara harus pergi. Pada akhirnya, Kara memang perlu mengawasi orientasi kandidat baru, yang menurut Yasha karena, “Agar tidak ada orientasi prematur lagi.”“Tidak adil,” kataku.“Cukup satu idiot saja di Padang Anushka,” kata Haswin.“Tidak apa, Nak,” ujar Kara, menghibur. “Orientasimu itu keistimewaan.”Aku jadi ingat momen ketika Dalton menyalahkan Kara atas orientasiku. Itu seperti sudah berlalu seribu tahun. Dalton sangat keren dalam momen singkat.Jadi, Haswin mengajakku bermain catur.“Bagaimana kalau besok kita mengurus ternak?” usul Yasha.“Kau mau memperbudakku lagi?” kataku, menggerakkan pion hitam.“Kita ajak Mika juga. Dia mau lihat ternak.”“Besok jadwal orientasi ke tim bertahan,” Haswin mengingatkan.“Itu, kan, urusanmu,” balas Yasha,
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da