Hal berbeda di misi kali ini, adalah kami—aku dan Reila—tidak berakhir di klinik. Kami berakhir di gerhaku dengan pengawasan penuh Isha dan Tara.
Maksud pengawasan penuh di sini, adalah Isha dan Tara berjaga di gerhaku. Kabar baiknya, yang mereka awasi bukan aku. Aku lolos dari pemeriksaan, tak ada masalah apa pun. Yang harus kulakukan hanya istirahat hingga malam tiba. Rapat Dewan dimulai nanti malam dengan topik utama laporan misi. Intinya, aku bukan objek pengawasan Isha dan Tara. Yang mereka awasi, tidak lain tidak bukan adalah Reila. Alasannya hanya satu: aku membocorkan kalau Reila sempat panas dingin di alam liar. Tentu Reila langsung berang, melotot seolah punya niat membunuhku dengan setumpuk cabai di makan malam, tetapi dia tidak protes ketika Isha mulai memeriksa dan menanyainya macam-macam.
Kabar buruknya, aku tidak bisa keluar kamar. Terlalu banyak cewek. Lavi juga di ruang tengah setelah menyelesaikan urusannya dengan kandidat baru. Isha dan L
Sebenarnya aku ingin tahu soal kandidat baru terlebih dahulu, tetapi kalau dipikir-pikir harusnya bahasan itu sudah dilakukan saat mereka tiba.Aku tidak terlalu basa-basi, jadi langsung kulaporkan semua yang terjadi di pos hutan—bagaimana kami sampai di sana, perhitungan waktu ketika kami tiba dan menetap di sana, sampai komunikasiku dengan Lavi, setidaknya laporanku bisa diterima dengan baik saat aku mulai menginjak soal gubuk hutan.“Tunggu,” sela Jesse. “Boleh aku tanya sesuatu?”“Ya.”“Apa kau tahu kalau titik Padang Anushka bakal berubah lebih cepat?”“Tidak.” Aku menggeleng. “Kau tahu, Jesse, medannya sangat terjal. Dan hujan turun, tidak terlalu deras, tapi mempengaruhi medan. Aku yakin tidak semua kandidat baru sudah terbiasa dengan alam liar. Kalau mau mengandalkan kecepatan mereka, pasti butuh lebih dari dua jam hanya untuk sampai.”“Tapi kau meman
Aku mengucapkannya sangat jelas: “Itu jantung monster.”Rapat Dewan hening seketika.Semua orang menatapku. Jesse—jarinya sedang memegang penutup kaca, tiba-tiba ragu. Dia mengangkat jarinya, lalu mulai bertanya lagi. “Apa katamu?”“Jantung monster.”Dalam sekejap, Rapat Dewan berhamburan. Semua kapten dan wakil kapten langsung beranjak dari kursi, mundur beberapa langkah dari tempat awal—Jesse bahkan sampai melompat mundur, menabrak meja Kara. Nuel menjerit, langsung bersembunyi di bawah meja. Haswin dan Yasha melompat mundur bersamaan, dan Haswin menggumamkan kata-kata dengan cepat. “Oke, oke. Sepertinya kali ini ahli roh kita lumayan sinting. Dia bawa jantung monster seperti artefak.” Yasha juga bilang, “Dia penyihir kelewat sinting.”Aslan mundur, mengambil posisi yang tepat: di belakang Mister yang tetap duduk. Dhiena dan Mika bangkit, mundur dengan elegan. Dhiena bahkan l
Profesor Merla memintaku mengajak Reila.Di gerhaku, mereka bertiga ternyata masih terjaga meskipun malam cukup larut. Jarang melihat Reila mengobrol dengan Moli, tetapi ternyata mereka lumayan akrab. Reila juga sudah seribu kali lebih segar dari sebelumnya. Dia mendapatiku membuka kulkas, bertanya, “Kenapa tidak membangunkanku?”“Tanya ke Moli,” kataku, mengambil sisa jus.“Bagaimana Rapat Dewan?”“Ikut sekarang. Disuruh Bibi Merla.”“Bibi? Ke mana? Rapat Dewan?”“Layla.”Hanya sekejap, tetapi aku merasa ekspresi Moli sedikit berubah. Dia cepat menutupi perubahan ekspresi itu, sehingga aku tidak sempat mengungkit.“Fal mau ikut,” kata Fal.“Tidur,” kataku.“Tidak mau,” balasnya, langsung.“Fal belum ketemu Layla?” tanya Reila.“Kemarin ketemu.”“Sekarang ma
Ruang karantina bawah tanah itu tidak terkesan seperti di bawah tanah.Nuansanya justru seperti di puncak gunung, yang punya tingkat kesegaran udara paling tinggi dibanding dataran lain. Ruangannya tidak memiliki jendela satu pun, tetapi angin terasa berhembus semilir. Sebenarnya setelah menemukan dunia di bawah Joglo yang ajaib itu, tidak akan ada lagi tempat yang bisa mengejutkanku. Namun, mengingat ruang karantina masih bagian dari Padang Anushka, dan secara teknis, terhubung dengan gedung klinik yang baru, itu cukup membuatku tertegun.Sayangnya, itu bukan waktu yang tepat untuk mengagumi ruangan.Reila, yang menemukan Layla terbaring tak sadarkan diri, langsung bangkit, bahkan tanpa sadar menghampirinya. Dia seperti trans, hingga tiba-tiba sudah mulai menggamit jemari Layla.Fal juga melompat dari pangkuanku, pindah ke kursi di sebelah ranjang.Di ruangan hanya ada kami, Profesor Merla, Dokter Gelda. Tidak ada lagi yang lain. Hanya mereka yang
Dokter Gelda juga punya alasan lain untukku alih-alih hanya memberitahu keadaan Layla. Dia mengatakannya sangat jelas.“Padang Anushka menjadi satu-satunya tempat Layla bisa bertahan. Kabar buruknya, tidak ada tenaga medis di tempat ini yang bisa menangani kasus Layla. Kalau memang kami mengerti, Isha yang bisa membaca sirkuit jaringan pemilik keganjilan pasti sudah menyadarinya sejak lama. Masalahnya, Isha tidak sanggup. Jadi, bila memang ada yang mengerti persoalan mekanisme energi dan sejenisnya melebihi tim medis saat ini, Forlan, hanya kau orangnya.”Itu permintaan yang sungguh berat.Profesor Merla juga memandangku penuh harap seolah aku bisa membuat Layla kembali membuka mata. Tentu saja aku juga ingin mendengar suaranya lagi, barangkali omelan panjang lebarnya yang penuh sarkasme. Namun, aku tak yakin. Meski sudah mengenal kemampuan ini, bukan berarti aku bisa melakukannya.“Beri aku waktu,” kataku. “Dan ruang.”
Keesokan paginya, Haswin mengajakku berjaga di pondok perbatasan.Kalau itu masih awal pagi dan Haswin sudah mengajak bicara, biasanya hanya tinggal menunggu waktu sampai pembicaraannya menjadi serius. Dia bahkan tidak mengajak langsung. Lavi yang mengatakannya.“Setelah makan denganku, temui Haswin.”Aku khawatir kelihatan muram, tetapi Fal bilang, “Forlan cerah, kok.”Aku tidak ingin mengerti apa yang dia maksud cerah. Kuharap dia bicara kalau aku tidak terkesan suram. Kebetulan, Lavi juga bilang hal sama.“Aku lega melihatmu tidak menyalahkan diri sendiri.”“Sejujurnya aku tidak yakin harus bereaksi seperti apa,” kataku.“Jangan dipikirkan—maksudku, kenali batasanmu. Aku tidak mau dengar kau sampai tidak tidur berhari-hari karena memikirkan masalah ini. Barangkali tim medis minta bantuan, tapi ini bukan masalahmu seorang. Meski ini bukan bidangku, bukan berarti aku tak bis
Pembicaraan serius tidak berlangsung lama karena Kara harus pergi. Pada akhirnya, Kara memang perlu mengawasi orientasi kandidat baru, yang menurut Yasha karena, “Agar tidak ada orientasi prematur lagi.”“Tidak adil,” kataku.“Cukup satu idiot saja di Padang Anushka,” kata Haswin.“Tidak apa, Nak,” ujar Kara, menghibur. “Orientasimu itu keistimewaan.”Aku jadi ingat momen ketika Dalton menyalahkan Kara atas orientasiku. Itu seperti sudah berlalu seribu tahun. Dalton sangat keren dalam momen singkat.Jadi, Haswin mengajakku bermain catur.“Bagaimana kalau besok kita mengurus ternak?” usul Yasha.“Kau mau memperbudakku lagi?” kataku, menggerakkan pion hitam.“Kita ajak Mika juga. Dia mau lihat ternak.”“Besok jadwal orientasi ke tim bertahan,” Haswin mengingatkan.“Itu, kan, urusanmu,” balas Yasha,
Panggilan untuk mendatangi interogasi datang ketika Fal menuntut padaku karena memainkan pipinya. Fal tidak marah, tetapi terus menuntut.Panggilannya datang melalui telepon. Suara Jesse. [“Ke ruanganku.”]“Kau tahu aku sedang—”Dia mematikan telepon. Memang bukan waktunya basa-basi.Aku tidak yakin harus mengajak Fal, tetapi Reila pasti ikut. Itu artinya, Fal bakal sendirian. Sebenarnya Fal sudah sering sendirian di gerha dan dia punya Pita, si kucing yang senang bermain dengannya. Di gerha juga ada Falcon. Fin juga pasti menjaganya. Secara teknis, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tetapi hampir tiga eksistensi itu tidak memberikan permainan dua arah pada Fal.“Fal mau ke Mika saja,” katanya.“Dia sedang buat baju. Jangan jail.”Dia sudah berlari ke pintu utama. “Dadah!”Belakangan Fal kembali dekat dengan Venus. Dengan cara paling aneh, itu membuat b