Gerha Lavi terkunci.
Gerhaku kosong.
Aku menyusuri jalur penghubung asrama dan padang rumput, menemukan markas baru tim penyerang selesai sepenuhnya. Markas baru itu dikelilingi pagar marmer dan gerbang kecil. Pintu masuknya berupa tangga kecil ke bawah, sehingga markas kami ada di bawah permukaan tanah. Pekarangan masih kosong. Tidak ada pernak-pernik hiasan dari Lavi, tetapi panji pesta olahraga kami dengan gagah telah berkibar dikibaskan angin. Di sekitar markas hanya ada hutan pinus. Ada jalan kecil menembus sisi bangunan ke belakang. Dari pekarangan depan, sudah terasa nuansa danau yang tertutup barisan pohon. Jalan setapak itu tembus ke bibir danau.
Markas ini lebih mirip rumah singgah. Rumah yang cocok sebagai tempat peristirahatan setelah misi. Hawanya sejuk. Nuansanya hangat. Sinar matahari tak terlalu tertahan oleh dahan-dahan pohon, tetapi juga tidak cukup terik. Kelembapan pohon pinus membuat segaris cahaya matahari lebih banyak terlihat. Kalau dilih
Ternyata sudah ada bangku khusus untuk kami di Rapat Dewan.Seperti biasa, Kara menyambut ceria. “Selamat datang di Rapat Dewan. Ada banyak yang harus dibicarakan. Kalian bisa duduk di kursi yang kosong.”Susunan Rapat Dewan mirip seperti terakhir kali—Lavi duduk di sebelahku, dan kami berada di hadapan para dewan dalam susunan setengah lingkaran tempat duduk. Aku tidak ingin memikirkan apa yang terjadi semalam, jadi aku hanya tiba di Pendopo, mendapati semua Kapten melihat kedatangan kami, lalu Kara segera menyambut, meminta kami duduk.Aku duduk di sisi Lavi. Lavi melihatku. Cukup lama. Jadi, aku menoleh.Dari semua sapaan yang bisa kupikirkan, Lavi lebih dulu menyapa di dalam benakku. [“Selamat pagi. Kau kelihatan banyak pikiran.”] Akhirnya aku juga menjawab dengan apa yang langsung terlintas. Ironisnya, hal pertama yang terlintas justru permintaan maaf karena tiba-tiba tidak bisa dia temukan. Tampak
“Aku tidak masalah beda regu dengan Forlan,” kata Lavi, “tapi itu artinya harus ada kemampuan komunikasi sejenis di sisa regu.”“Aku bisa mengatasi itu,” cetus Nadir. “Aku bisa mengirim pesan melalui hewan. Mengingat itu juga bisa dilakukan Forlan sebagai pelindung alam, kami bisa bertukar informasi. Forlan, temui aku nanti. Kita pilih hewan perantara untukmu. Kita bisa bertukar informasi dengan itu.”“Baiklah,” kataku.“Berarti tim pertama kurang satu orang,” kata Jesse, mencatatnya. “Tim dua satu orang. Tim tiga satu orang. Kalian,” kata Jesse, ke sisa tim penyerang. “Bagi.”Dalton, Reila, Elton saling berpandangan. Tampaknya Elton tahu dia harus satu tim dengan siapa. Matanya sudah mulai menatap incarannya.“Kurasa tim yang punya potensi terbesar diserang tim pertama,” cetus Reila. “Jumlah manusianya paling banyak. Monster pasti bisa
Reila mulai menguap berulang kali.Aku tahu dia memang tidak bisa berdiam terlalu lama dalam situasi serius.Meski tidak ada yang menentang keberangkatanku, Haswin memulai topik perdebatan lagi. “Bagaimana kalau regu dua juga ditemani dewan? Kara?”“Kara harus di garis pertahanan,” tolak Jenderal, langsung.“Garis pertahanan sekarang punya tim bertahan dan banyak penghuni yang siap mengangkat senjata,” timpal Haswin. “Kita punya basis pertahanan lebih kuat. Ada banyak menara pertahanan, senjata juga sudah diperkuat, bahkan daya tempur sekarang seribu kali lebih baik. Kurasa penghuni tidak lagi bertempur sebagai tim. Aku mengerti kekhawatiran dewan di garis belakang ketika Kara pergi, tapi posisi regu dua lebih bagus jika Kara berangkat bersama Forlan dan Reila.”“Aku lumayan setuju,” komentar Isha.“Aku keberatan,” usul Nadir. “Aku setuju daya tempur pertahanan kit
Persoalan itu selesai dengan cepat. Obrolan penting dengan Reila di Gerha hanya saat dia bilang, “Kalau kau tanya aku mengizinkanmu membuat pelindung atau tidak, aku pasti mengizinkanmu. Bukan maksudku tidak peduli, tapi aku tidak perlu bilang kondisi apa saja yang membolehkan seorang pemilik kemampuan roh membuat pelindung, kan? Kurasa pemilik kemampuan roh juga punya aturan moral masing-masing terkait sisa umur mereka. Jangan salah. Aku peduli soal umurmu. Aku peduli, tapi tidak mau mengekang. Masalah utama menciptakan pelindung, adalah ganjarannya. Aku yakin Bibi Merla juga menentang keras. Jadi, kalau kau tanya restu setiap orang, mustahil mereka tidak menolak. Aku tidak mau melihatmu tersiksa lagi, itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan menolak pelindung. Tapi saat waktunya tiba, ini bukan lagi persoalan izinku, pasti persoalannya antara hidup dan mati. Kalau harus memilih hidup atau mati, aku pasti pilih hidup—dan kalau satu-satunya cara bisa tetap hidup hanya d
Aku baru teringat lagi tentang Fin—peri merah—yang mengikutiku.Ketika aku hampir berbincang dengan Fin—karena aku bisa merasakan aura keberadaannya di sekitarku—tiba-tiba Fal melompat muncul begitu saja di beranda halaman belakang. “IH!” pekik Fal. “Burung besar!”Sejujurnya aku jantungan seolah hampir ketahuan melakukan hal janggal, tetapi aku bisa merespons sangat baik. “Namanya Falcon.”“Falcon besar!”“Fal sekarang sudah wangi,” kataku. “Tadi waktu main sepeda bau.”“Jahat!” Fal mencubit lenganku, tidak sakit, tetapi aku pura-pura sakit.Tadi—selepas aku memilih burung perantara di Nadir—membuat Falcon bertengger di belakang gerha—Fal menemukanku di jalur penghubung. Dia naik sepeda, lalu berseru, “Fal harus temani Forlan latihan sambil main sepeda!”“Fal menyuruhku latihan?” tanyak
Aku baru berdiri di pagarnya, tetapi Lavi keluar, bersedekap di depan pintu.Saat itu matahari sudah hampir terbenam, jadi suasananya hampir gelap. Dia tidak tersenyum menyambut seperti yang biasa dilakukan—hanya berdiri, rasanya ada aura tajam dari caranya bersedekap. Dia menatapku dengan nuansa lurus. Dia seperti tidak mau bicara. Tampaknya menungguku bicara, tetapi aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, dan kikuk. Aku ingin tertawa, tetapi tidak paham harus tertawa karena apa. Rasanya... hanya ingin tertawa.Kami diam di posisi itu hampir dua menit.Itu memecah rekor waktu terlama kami saling terdiam, melebihi ketika kami menikmati momen di danau kano.“Ng,” kataku, akhirnya bicara, “kau sudah tahu?”“Besok misi,” ucapnya, “masih sempat jail? Aku sungguhan kaget.”“M-Maaf.”“Mau sampai kapan kau berdiri di sana?”“Eh, iya.”
Lavi menunjukkan bingkai yang ingin dia pajang di markas.“Ini,” katanya, menunjuk foto dengan bingkai besar.Sejujurnya aku membayangkan foto yang ingin dia pajang itu foto seluruh tim penyerang. Namun, itu foto kami—hanya aku bersamanya. Aku ingat momen saat foto itu diambil. Kami sudah berpacaran. Aku berniat ikut mengambil buah di perkebunan Padang Anushka—aku bahkan sudah memakai satu set pakaian kebun mulai dari caping sampai celemek kulit. Namun, Lavi tiba-tiba memaksa agar aku ikut berkuda. Karena aku lebih ingin memetik buah, dan Lavi tidak terhentikan, aku memakaikan caping ke kepala Lavi, lalu merangkul bahunya ke kebun. Di foto itu, momen yang terambil adalah saat aku merangkul pundak Lavi dengan tawa lebar dan sorakan penuh semangat, sementara Lavi membenarkan caping di kepalanya. Satu tanganku merangkul Lavi, satu tanganku lagi memegang keranjang buah. Lavi cemberut, tetapi tidak terlihat keberatan. Itu salah satu foto yang diambil
Itu pertama kali aku bermimpi aneh ketika terlelap di gerha Lavi.Kali ini aku ingat sepenuhnya apa yang terjadi sebelum bermimpi. Bahkan di awal penglihatan ini tampaknya ada bagian dalam diriku yang sadar, sehingga aku sadar kalau tengah bermimpi. Aku tak yakin Fin punya kuasa memperlihatkan sesuatu—meskipun itu juga bukan hal mustahil.Hal pertama yang kulihat, adalah air terjun.Sejujurnya ada begitu banyak air terjun yang kulihat selama hidupku. Ketika di pondok bersama Aza dan Nenek, mereka selalu punya ide menyeretku ke setiap air terjun di semua sudut gunung. Terkadang itu air terjun yang punya muara begitu besar—yang juga punya ruang untuk berenang. Terkadang air terjun yang begitu curam ke bawah jurang—kami biasanya berhenti di suatu tebing yang tidak terlalu mengerikan. Biasanya air terjun seperti itu hanya dikunjungi olehku dan Aza di sela lari gunung. Terkadang kami juga mengunjungi air terjun yang begitu indah hingga memunculkan p
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak