Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 205. PANDORA #3

Share

205. PANDORA #3

last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-19 14:00:58

Penglihatan berikutnya, aku ada di halaman belakang rumah.

Halaman belakang sebenarnya tidak bisa disebut halaman belakang. Tidak ada langit terlihat. Kalau pun ada langit, hanya gedung-gedung raksasa dan langit yang mirip kubah. Sesuatu seperti membungkus wilayah ini dengan tanah.

Namun, sejauh yang kulihat, halaman belakang ini tetaplah milik Ibu.

Masih ada bunga-bunga hias, meski tak terlihat segar seperti di ladang. Ada beberapa bunga yang justru mekar seolah tidak peduli pada matahari. Rumah kami cukup berdempetan dengan rumah sebelah, sehingga halaman belakang tidak terasa lapang seperti halaman belakang di Padang Anushka. Halaman belakang kami agak terasa sempit karena dikelilingi pagar tinggi dan sulur tumbuhan alami.

Ibu terlihat di selasar, duduk bersama Reila, mengaduk minuman dingin—melihat ke halaman belakang. Reila menggenggam boneka.

Sementara aku, bermain lempar tangkap bola bersama Ayah di kejauhan.

Ayah bilang, &ldquo

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   206. PANDORA #4

    Setidaknya, terbesit ingatan di depanku, bagaimana Ibu sempat bicara empat mata denganku, dan suasananya sangat serius. Sepertinya kami sehabis menyiram bunga. Di dekat kami ada ember kosong dan selang memanjang. Reila tidak ada di mana-mana. Ibu duduk di selasar, aku duduk di sebelahnya menyantap apel.“Forlan pernah merasakan hal aneh, tidak?” tanya Ibu.“Hal aneh bagaimana?” balasku.“Seperti Forlan bisa melakukan sesuatu yang semestinya Forlan tidak bisa melakukannya—seperti... aduh, bagaimana cara Ibu mengatakannya, ya?”“Maksudnya, seperti yang botol terbang?”Ibu mendesah, tampak sulit membenarkan. “Salah satunya.”“Tapi kata Ayah itu sulapnya Ayah,” protesku.“Iya, itu cuma sulap Ayah,” Ibu buru-buru mengoreksi. “Tapi Forlan pernah tiba-tiba lihat sulap Ayah, kecuali yang kemarin, tidak?”“Hm,” tampaknya aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Selubung Memori   207. PANDORA #5

    Gang itu benar-benar membangkitkan kenangan mimpi lama.Suasananya persis sama. Sekarang aku mengerti itu bukan hanya mimpi. Itu masa lalu yang bangkit dalam mimpi. Anak gembrot itu tampak di belakang anak tinggi, melempar batu ke tempatku. Tidak ada yang kena. Terutama ketika aku bisa menghindarinya. Tampaknya permainan lempar tangkap bola berguna untuk situasi semacam ini. Aku mengerti sebenarnya Ayah hanya ingin membuatku siap sejak sangat dini—dengan cara paling halus yang bisa kuterima—yang mungkin tidak bisa dimengerti Ibu.Jadi, karena semua batu bisa dihindari dengan mudah. Kini yang datang tidak lagi batu. Botol, kelereng, sampah bau—apa pun selama bisa dilempar.Jeritan anak gembrot itu yang paling nyaring. “ANAK IBLIS!”“Usir dia dari sini!” sambut anak yang lain.“Pergi! Anak terkutuk harus pergi!”Tidak ada yang kulakukan. Hanya berdiri tegak.Semua lemparan itu bisa d

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-23
  • Selubung Memori   208. PANDORA #6

    Belakangan aku baru menyadari bahwa jauh sebelum aku tiba di pondok—jauh sebelum aku dijelaskan segala hal tentang pemilik kemampuan—Ibu ternyata sudah menjelaskan semuanya, tentang bagaimana kami tidak normal.Semua dimulai ketika Ibu melarangku tidur sendirian. Ada bagian tubuhku yang masih sulit digerakkan, jadi gagasan tidur sendiri adalah hal terlarang menurut Ibu. Jadi, Ibu tidur di kamarku—entah berapa lama malam berlalu sejak aku babak belur, tetapi pada akhirnya di tengah kegelapan malam yang sunyi, aku bertanya, “Ibu belum tidur, kan? Boleh aku bilang sesuatu?”Ibu terpanggil, langsung menoleh menghadapku. “Kenapa, Sayang?”Hening sejenak, setidaknya beberapa saat ketika mata kami bertautan.“Ibu,” suaraku yang itu lumayan tajam. “Ibu bohong.”“Bohong?” Ibu lumayan terkejut. “Bohong apa?”“Ibu bilang aku tidak boleh bohong, jadi Ibu juga

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-25
  • Selubung Memori   209. PANDORA #7

    Lompatan penglihatan berikutnya terjadi sangat cepat.Rasanya tidak terlihat jauh berbeda. Namun, sesuatu seperti mengambang. Aku melihat Ayah memeluk Ibu, dan seberapa bodohnya aku melihat itu, aku tahu Ibu seperti melarang Ayah melepasnya.Tampaknya kami sudah tidak di rumah yang terakhir kulihat. Kali ini kami di tempat yang jauh lebih bercahaya, seolah di luar ruangan ini, matahari bersinar menembus kubah tanah. Dan aku duduk dengan Reila. Reila menatap Ayah dan Ibu yang tengah berpelukan, memeluk boneka kuning, sembari termenung.Pada akhirnya, Ayah melepas pelukan, berhasil meyakinkan Ibu.Baru kusadari di dekat mereka ada orang yang familier: Kara. Jadi, selepas memeluk Ayah, Kara langsung berusaha menenangkan Ibu.Ayah menghampiriku. “Forlan, jaga Ibu dan Reila, oke?”Pertanyaan pertamaku langsung tajam. “Kapan Ayah pulang lagi?”“Secepatnya,” janji Ayah. “Kara butuh bantuan Ayah. Bila

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-27
  • Selubung Memori   210. PANDORA #8

    Penglihatan berikutnya dimulai dari suara nyaring Layla kecil: “Reila main sama aku, ya. Forlan lagi marah.”Begitu pandanganku terbuka sepenuhnya, Reila sudah dibawa pergi Layla.Aku sedang duduk di jungkat-jungkit, tepatnya di posisi bawah. Layla dan Reila baru pergi. Sepertinya jadi lawan main jungkat-jungkit. Dan aku terdiam di posisi itu selama beberapa saat, seolah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.“REILA!” jeritku, pada akhirnya.Dari kejauhan terdengar teriakan Layla, “REILA SAMA AKU!”Sepertinya aku baru memutuskan menarik Reila kembali adalah salah satu gebrakan paling tidak berguna, jadi aku mendecak, melangkah masuk rumah.Rumah itu sedikit berbeda dari rumah sebelumnya. Rumah yang ini sedikit lebih besar, dengan interior yang sedikit lebih mewah. Ruangan tengahnya kelewat besar, meski di sana hanya ada dua wanita—yang satu duduk di kursi, sementara yang satu seperti asisten yang memban

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-29
  • Selubung Memori   211. PANDORA #9

    Kilasan itu mulai berganti cepat lagi.Sebagian besar memperlihatkan permainan bersama Profesor Merla. Jadi, aku mengerti bahwa salah satu yang membuat gerak motorik Profesor Merla cepat kembali juga karena permainan bulu tangkis yang kulakukan bersamanya. Gerakan-gerakan kecil itu tampaknya menjadi salah satu pengobatan tercepat bagi kakinya untuk bisa kembali menghadapi situasi garis depan.Dan dalam kilasan itu, bisa kupastikan Profesor Merla benar.Profesor Merla adalah pengganti Ibu. Dia orang yang menemaniku terjaga sepanjang malam, menemaniku menangis ketika merindukan Ayah dan Ibu, satu-satunya orang yang tahu betapa aku selalu melihat Reila dari jauh, memastikan dia dalam kondisi baik-baik saja, sekaligus orang yang paling keras memperingatiku. “Kau itu kakaknya, bukan penjaganya. Sekali-kali ajak dia main!”Namun, sebenarnya aku sering mengajak Reila main. Bahkan kami seperti tidak bisa dipisahkan. Sewaktu-waktu kami pernah berbelanj

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-31
  • Selubung Memori   212. PANDORA #10

    Aku tidak pernah menyangka menyaksikan diriku tersisa seorang diri akan terasa begitu sepi—bahkan begitu menyakitkan seperti ini.Tampaknya ada semacam pembelajaran khusus di tempat ini layaknya Aza dan Nenek yang sering memakai waktu tertentu sebagai masa belajar—tampaknya itu juga sering dilakukan Fal di Padang Anushka yang sering Layla sebut sebagai: sekolah. Namun, dalam citra ini, aku benar-benar kehilangan apa yang semestinya kumiliki. Aku selalu menghabiskan waktu dengan menyendiri di depan pancuran air. Terkadang menatap langit, terkadang menatap riak air, dan barangkali kini aku telah kehilangan harapan bahwa Ayah dan Ibu akan kembali menjemput. Aku yakin masih sulit menerima kebenaran bahwa adikku telah diambil.Aku semakin sering melihat burung terbang. Melayang ke sana kemari—terkadang berdampingan dengan burung lain, terkadang menukik sendirian. Aku bisa merasakan betapa kosong benak yang menghantui anak ini.Citra terakhir yang ku

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-02
  • Selubung Memori   213. PANDORA #11

    Sudah lama aku tidak mendapat penglihatan ini.Hanya saja, titik awalnya agak berbeda. Aku sudah tidak lagi hinggap di aku yang kulupakan, melainkan dalam sudut pandang yang biasa ada di mimpiku: tubuh kucing. Dan bukan di gang kecil, tetapi di sudut kecil jalan kota, tempat ruko-ruko berdiri, dipenuhi pembeli yang bergantian masuk setiap satu detik sekali. Kota kecil ini ramai, diterangi remang-remang lampu, dipenuhi kebisingan memuakkan.Hal pertama yang kulihat, adalah gerombolan preman yang masuk ke gang kecil lusuh, tempat aku pernah dihajar habis-habisan.Kucing ini melompat, melihat gang kecil itu dari sudut ketinggian.Gang itu gelap, kotor, tidak berubah sama sekali seperti yang terakhir kali diperlihatkan citra-citra ini. Kucing ini duduk di atas atap rumah rendah, dan di sana aku berada. Seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sebentar lagi dia akan pergi meninggalkan dunia. Di badannya hanya ad

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04

Bab terbaru

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

  • Selubung Memori   604. GUA TEBING #1

    Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status