Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 105. ANCAMAN #2

Share

105. ANCAMAN #2

last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-02 14:00:32

Rasanya cukup berlebihan memikirkan jalan menuju Anggara akan mulus.

Maksudku, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat masuk Joglo. Yang itu artinya, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat berkeliaran di area Joglo sebelum masuk, mendorong rak buku, dan menuruni tangga Anggara.

Jadi, bagaimana kalau Kara, secara teknis, meminta seseorang mengawasi Gerha secara khusus, yang juga berpatroli kompleks Padang Anushka—dan secara kebetulan yang bodoh, dia orang yang tidak boleh tahu soal Anggara?

Jelas aku langsung berhenti saat bertemu Aaron.

Kehadiran Aaron mengingatkanku akan kehadiran Jenderal. Mungkin kami hanya tidak sengaja berpapasan di jalan berpaving, tetapi kehadirannya terasa jauh lebih menekan dibanding saat kami di pondok perbatasan. Aku cukup heran dengan darah murni di Padang Anushka. Reila, ketika pertama bertemu dengannya, rasanya ada bongkahan rindu seolah kerinduannya meresap ke setiap jengkal diriku. Lavi, auranya terkesan cerah, pe

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Selubung Memori   106. ANCAMAN #3

    Tiba-tiba aku sudah berhadapan dengan Aaron lagi. Dia jelas-jelas berdiri di depan mataku, menutup seluruh area pandangku, dan tiba-tiba keringatku sudah mengalir di pipi. Gejolak panas membara di benakku. Aku segera mundur.“Apa itu?” tuntutku, berhasil bicara.“Keistimewaan darah murni.”Mana mungkin aku tidak menggeleng. “Keistimewaan?”“Belum pernah ada lagi darah murni sejak sepuluh tahun lalu. Belum pernah ada sampai kau tiba di sini. Tidak ada yang menyangka darah murni pertama sejak perang terakhir itu kau.”Nadanya terdengar kecewa, jadi aku lumayan tersinggung. “Maksudmu?”“Ada gagasan darah murni pertama yang datang setelah perang terakhir bisa merusak alur perang.”“Siapa yang bilang begitu? Ratu Arwah?”“Erick.”Aku langsung memutar bola mata. “Dia bukan siapa-siapa.”“Tidak ada yang tahu

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-04
  • Selubung Memori   107. ANCAMAN #4

    Aku tahu apa yang harus kukatakan saat pertama kali masuk Anggara.“Kalian bilang dewan tidak tahu soal Anggara, tapi Kara tahu, dan aku yang di sana saat kita ketahuan, kalian harusnya tahu itu bahaya, kan?”Jesse mengangkat bahu, meneguk habis jus mangga sebelum berkata, “Aku tidak menduga kita ketahuan, tapi itu masuk akal. Dua tahun kita rutin bertemu tiap Selasa, dan mana mungkin dewan tidak curiga saat Gerha pemilik kemampuan sepi di hari tertentu. Mereka pasti tahu pertemuan rahasia. Hanya tidak tahu atau tidak mau tahu. Mereka dewan. Bukan Fal.”Baru kusadari tidak ada Fal di ruang Anggara.Hanya ada Dalton yang fokus pada laptop peneliti sinting, Nuel yang duduk di sampingnya, Reila yang meneguk jus dengan sedotan, dan Isha yang membuat jus lain—kuharap itu untukku. Ruangan ini tanpa Lavi terasa sepi. Bukan maksudku mengatakan tidak ada bedanya ketika Elton ada atau tidak, tetapi kehilangan Lavi berhasil mengubah sua

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-06
  • Selubung Memori   108. ANCAMAN #5

    Waktu tidurku semakin kacau. Kuputuskan ke klinik setelah Anggara.Tidak ada siapa-siapa. Lampu depan klinik selalu menyala—dan terang—jadi klinik tidak diizinkan memiliki suasana mencekam meski pohon-pohon pinus mengelilinginya dengan kelembapan. Ruangan pertama klinik seperti ruang tunggu, dilanjutkan dengan ruang perawatan khusus. Ketika ada yang terluka, Isha biasanya siap menangani, memberi vonis—yang jika cukup parah, akan segera menyarankan istirahat di ruangan dalam. Dan aku, langganan. Pertama, misi selalu membawaku menjadi orang yang punya luka paling banyak. Kedua, tim penyerang punya latihan kelewat brutal—hanya karena Lavi punya perasaan khusus padamu bukan berarti dia melembut. Dia bakal semakin brutal sembari tertawa bahagia.Aku berharap menemukan Fal tidur di klinik, tetapi yang kudapatkan justru orang yang sepemikiran denganku.“Tidak bisa tidur?” sambut Isha, melihatku masuk.“Ada Fal?” ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Selubung Memori   109. MARKAS #1

    Aku ingat Lavi pernah mengatakan hal mencurigakan beberapa hari setelah misi penyelidikan. Setelah dia terbebas dari larangan Isha dan Dokter Gelda—saat kakinya masih pincang, dia dilarang keras berkeliaran. Aku tidak paham mengapa larangannya jauh lebih berat dari yang lain, tetapi Dokter Gelda sampai mengancam akan mengurung Lavi, jadi kupikirkan kalau di masa lalu, Lavi bukan orang yang mau berdiam demi perawatan. Dia pasti melakukan hal idiot.Maka setelah sukses meyakinkan Isha dan Dokter Gelda kalau dia lumayan mampu melompat tinggi, mendatangkan gemuruh bahkan kilat, akhirnya dia lepas dari beban kurungan rumah. Dia langsung memeluk Isha, yang aku yakin beberapa hari terakhir sudah mengurungnya—secara tidak langsung.“Dengar, Forlan. Kalau mau menikmati danau, pastikan juga bawa dayung,” peringat Dokter Gelda. “Dayung takkan memenuhi ruang kalian di kano.”“Maaf, Dok. Itu impulsif,” kataku, mewakili Lavi.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-10
  • Selubung Memori   110. MARKAS #2

    Saat itu bukan jam sarapan. Bahkan sudah sangat siang.Jadi, tidak ada siapa pun di dapur selain Layla. Dan aku kesiangan. Dan aku memang tidak berniat sarapan, tetapi Layla tidak pernah melewatkan omelan, jadi kami berakhir di dapur, yang membuatku tiba-tiba menceritakan semua yang terjadi selama patroli sekaligus apa yang kubicarakan di Anggara. Aku sempat berhenti—karena aku sadar kami di dapur, dan tidak ada jaminan orang tidak akan menguping. Sayangnya, Layla mendesak, mengatakan kalau dia sudah mengunci pintu—yang cukup janggal karena dia tidak di dekat pintu, jadi dia pasti menguncinya sejak aku masuk—lalu meyakinkan kalau tidak pernah ada alat penyadap di dapur.“Bukannya itu bahaya?” komentarku.“Yang bisa kau curi di sini cuma alat masak. Dan tidak ada yang bisa masak kecuali tim tungku, Lavi, Isha, Reila, kau. Tim tungku pasti tidak mencuri. Lavi, Isha, Reila juga. Pencurinya pasti satu.”Aku tidak seda

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-12
  • Selubung Memori   111. MARKAS #3

    Dalton punya gagasan mengajakku ke markas tim penyerang, yang secara teknis, cukup aneh karena tempat itu seperti terlarang layaknya ada garis pembatas yang tidak boleh dilanggar penghuni. Dan Dalton memang bilang, “Rata-rata tidak ada yang mau menyentuh area belakang selain tim penyerang.”“Jadi tim penyerang sering ke sana?” tanyaku, agak bodoh.“Markasnya, kan, di sana.”“Maksudku, alasan tim penyerang punya markas di sana pasti bukan cuma penjara, kan? Untuk apa buat markas di tempat yang jarang disentuh?”“Kubilang, di sana ada miniatur alam liar.”“Lalu kenapa tim penyerang yang sekarang berhenti ke sana?”Dalton sempat membisu. Ketika dia bicara lagi, nadanya lumayan muram. “Tidak ada alasan khusus. Kapten benci tempat itu. Dia lebih suka latihan senjata dibanding adu ketahanan di miniatur alam liar.”“Aku bukan tanya alasan Lavi, aku juga

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-14
  • Selubung Memori   112. MARKAS #4

    Kami berakhir di pekarangan bekas markas tim penyerang, masing-masing duduk di batu besar, menghadap satu sama lain, di bawah terik mentari hangat.“Kau lihat jalan setapak itu?” Dalton menunjuk jalur tertutup di dekat pagar. “Itu dulu jalur kuda. Terhubung ke pekarangan tim stok. Bisa juga ke markas tim bertahan. Jaraknya lumayan, jadi kau harus pakai kuda.”“Dulu semua orang pakai kuda ke sini?” tanyaku.“Yah, mana mungkin, kan, kita lewat jalur tadi. Sejujurnya anggota baru tim penyerang selalu diajak lewat jalur itu saat pertama kemari. Anggap saja semacam ritual jaman dulu. Kau, kan, belum pernah.”Aku hanya mengangguk-angguk. Apa pun, terserah.“Dulu,” sebutnya lagi, jauh lebih mengenang. “Waktu pertama kali kemari, Kapten menangis karena jalur itu.”“Lavi?” Aku kaget. “Menangis?”Entah bagaimana Dalton mengerutkan kening. “Dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-16
  • Selubung Memori   113. MARKAS #5

    Malam itu tidurku tidak tenang.Aku ingat menatap langit-langit putih kamar, membayangkan apa yang bisa kulakukan besok, sampai tiba-tiba mataku tertutup, dan aku tidak melihat kegelapan layaknya tertidur normal, melainkan obor kemerahan yang membara.Semestinya aku tidak terlalu bodoh lagi untuk sadar bahwa sedang mimpi, tetapi kesadaranku sepenuhnya tertegun pada apa yang kulihat.Barangkali itu bisa disebut benteng, tetapi lebih kokoh dari yang kutahu soal benteng. Ruangannya seperti ada dalam lingkaran mercusuar batu terkokoh, yang dikelilingi ribuan obor merah membara dan orang-orang bersimbah keringat penuh lelah. Puluhan—tidak, bahkan ratusan orang berkumpul, sebagian berbaring, tidak bergerak, sebagian duduk, meringkuk memeluk kakinya, sebagian lagi berdiri dan menatap orang-orang yang tampak tidak akan pernah bangun lagi. Sebagian wanita menangis, sebagian pria kehilangan orientasi pandangan layaknya di dalam bola mata kosong itu sudah tidak ada l

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-18

Bab terbaru

  • Selubung Memori   593. BENANG BUNGA #7

    Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&

  • Selubung Memori   592. BENANG BUNGA #6

    Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla

  • Selubung Memori   591. BENANG BUNGA #5

    Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw

  • Selubung Memori   590. BENANG BUNGA #4

    Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar

  • Selubung Memori   589. BENANG BUNGA #3

    Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud

  • Selubung Memori   588. BENANG BUNGA #2

    Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c

  • Selubung Memori   587. BENANG BUNGA #1

    Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da

  • Selubung Memori   586. RODA MIMPI #9

    Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t

  • Selubung Memori   585. RODA MIMPI #8

    Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan

DMCA.com Protection Status