Rasanya cukup berlebihan memikirkan jalan menuju Anggara akan mulus.
Maksudku, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat masuk Joglo. Yang itu artinya, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat berkeliaran di area Joglo sebelum masuk, mendorong rak buku, dan menuruni tangga Anggara.
Jadi, bagaimana kalau Kara, secara teknis, meminta seseorang mengawasi Gerha secara khusus, yang juga berpatroli kompleks Padang Anushka—dan secara kebetulan yang bodoh, dia orang yang tidak boleh tahu soal Anggara?
Jelas aku langsung berhenti saat bertemu Aaron.
Kehadiran Aaron mengingatkanku akan kehadiran Jenderal. Mungkin kami hanya tidak sengaja berpapasan di jalan berpaving, tetapi kehadirannya terasa jauh lebih menekan dibanding saat kami di pondok perbatasan. Aku cukup heran dengan darah murni di Padang Anushka. Reila, ketika pertama bertemu dengannya, rasanya ada bongkahan rindu seolah kerinduannya meresap ke setiap jengkal diriku. Lavi, auranya terkesan cerah, pe
Tiba-tiba aku sudah berhadapan dengan Aaron lagi. Dia jelas-jelas berdiri di depan mataku, menutup seluruh area pandangku, dan tiba-tiba keringatku sudah mengalir di pipi. Gejolak panas membara di benakku. Aku segera mundur.“Apa itu?” tuntutku, berhasil bicara.“Keistimewaan darah murni.”Mana mungkin aku tidak menggeleng. “Keistimewaan?”“Belum pernah ada lagi darah murni sejak sepuluh tahun lalu. Belum pernah ada sampai kau tiba di sini. Tidak ada yang menyangka darah murni pertama sejak perang terakhir itu kau.”Nadanya terdengar kecewa, jadi aku lumayan tersinggung. “Maksudmu?”“Ada gagasan darah murni pertama yang datang setelah perang terakhir bisa merusak alur perang.”“Siapa yang bilang begitu? Ratu Arwah?”“Erick.”Aku langsung memutar bola mata. “Dia bukan siapa-siapa.”“Tidak ada yang tahu
Aku tahu apa yang harus kukatakan saat pertama kali masuk Anggara.“Kalian bilang dewan tidak tahu soal Anggara, tapi Kara tahu, dan aku yang di sana saat kita ketahuan, kalian harusnya tahu itu bahaya, kan?”Jesse mengangkat bahu, meneguk habis jus mangga sebelum berkata, “Aku tidak menduga kita ketahuan, tapi itu masuk akal. Dua tahun kita rutin bertemu tiap Selasa, dan mana mungkin dewan tidak curiga saat Gerha pemilik kemampuan sepi di hari tertentu. Mereka pasti tahu pertemuan rahasia. Hanya tidak tahu atau tidak mau tahu. Mereka dewan. Bukan Fal.”Baru kusadari tidak ada Fal di ruang Anggara.Hanya ada Dalton yang fokus pada laptop peneliti sinting, Nuel yang duduk di sampingnya, Reila yang meneguk jus dengan sedotan, dan Isha yang membuat jus lain—kuharap itu untukku. Ruangan ini tanpa Lavi terasa sepi. Bukan maksudku mengatakan tidak ada bedanya ketika Elton ada atau tidak, tetapi kehilangan Lavi berhasil mengubah sua
Waktu tidurku semakin kacau. Kuputuskan ke klinik setelah Anggara.Tidak ada siapa-siapa. Lampu depan klinik selalu menyala—dan terang—jadi klinik tidak diizinkan memiliki suasana mencekam meski pohon-pohon pinus mengelilinginya dengan kelembapan. Ruangan pertama klinik seperti ruang tunggu, dilanjutkan dengan ruang perawatan khusus. Ketika ada yang terluka, Isha biasanya siap menangani, memberi vonis—yang jika cukup parah, akan segera menyarankan istirahat di ruangan dalam. Dan aku, langganan. Pertama, misi selalu membawaku menjadi orang yang punya luka paling banyak. Kedua, tim penyerang punya latihan kelewat brutal—hanya karena Lavi punya perasaan khusus padamu bukan berarti dia melembut. Dia bakal semakin brutal sembari tertawa bahagia.Aku berharap menemukan Fal tidur di klinik, tetapi yang kudapatkan justru orang yang sepemikiran denganku.“Tidak bisa tidur?” sambut Isha, melihatku masuk.“Ada Fal?” ta
Aku ingat Lavi pernah mengatakan hal mencurigakan beberapa hari setelah misi penyelidikan. Setelah dia terbebas dari larangan Isha dan Dokter Gelda—saat kakinya masih pincang, dia dilarang keras berkeliaran. Aku tidak paham mengapa larangannya jauh lebih berat dari yang lain, tetapi Dokter Gelda sampai mengancam akan mengurung Lavi, jadi kupikirkan kalau di masa lalu, Lavi bukan orang yang mau berdiam demi perawatan. Dia pasti melakukan hal idiot.Maka setelah sukses meyakinkan Isha dan Dokter Gelda kalau dia lumayan mampu melompat tinggi, mendatangkan gemuruh bahkan kilat, akhirnya dia lepas dari beban kurungan rumah. Dia langsung memeluk Isha, yang aku yakin beberapa hari terakhir sudah mengurungnya—secara tidak langsung.“Dengar, Forlan. Kalau mau menikmati danau, pastikan juga bawa dayung,” peringat Dokter Gelda. “Dayung takkan memenuhi ruang kalian di kano.”“Maaf, Dok. Itu impulsif,” kataku, mewakili Lavi.
Saat itu bukan jam sarapan. Bahkan sudah sangat siang.Jadi, tidak ada siapa pun di dapur selain Layla. Dan aku kesiangan. Dan aku memang tidak berniat sarapan, tetapi Layla tidak pernah melewatkan omelan, jadi kami berakhir di dapur, yang membuatku tiba-tiba menceritakan semua yang terjadi selama patroli sekaligus apa yang kubicarakan di Anggara. Aku sempat berhenti—karena aku sadar kami di dapur, dan tidak ada jaminan orang tidak akan menguping. Sayangnya, Layla mendesak, mengatakan kalau dia sudah mengunci pintu—yang cukup janggal karena dia tidak di dekat pintu, jadi dia pasti menguncinya sejak aku masuk—lalu meyakinkan kalau tidak pernah ada alat penyadap di dapur.“Bukannya itu bahaya?” komentarku.“Yang bisa kau curi di sini cuma alat masak. Dan tidak ada yang bisa masak kecuali tim tungku, Lavi, Isha, Reila, kau. Tim tungku pasti tidak mencuri. Lavi, Isha, Reila juga. Pencurinya pasti satu.”Aku tidak seda
Dalton punya gagasan mengajakku ke markas tim penyerang, yang secara teknis, cukup aneh karena tempat itu seperti terlarang layaknya ada garis pembatas yang tidak boleh dilanggar penghuni. Dan Dalton memang bilang, “Rata-rata tidak ada yang mau menyentuh area belakang selain tim penyerang.”“Jadi tim penyerang sering ke sana?” tanyaku, agak bodoh.“Markasnya, kan, di sana.”“Maksudku, alasan tim penyerang punya markas di sana pasti bukan cuma penjara, kan? Untuk apa buat markas di tempat yang jarang disentuh?”“Kubilang, di sana ada miniatur alam liar.”“Lalu kenapa tim penyerang yang sekarang berhenti ke sana?”Dalton sempat membisu. Ketika dia bicara lagi, nadanya lumayan muram. “Tidak ada alasan khusus. Kapten benci tempat itu. Dia lebih suka latihan senjata dibanding adu ketahanan di miniatur alam liar.”“Aku bukan tanya alasan Lavi, aku juga
Kami berakhir di pekarangan bekas markas tim penyerang, masing-masing duduk di batu besar, menghadap satu sama lain, di bawah terik mentari hangat.“Kau lihat jalan setapak itu?” Dalton menunjuk jalur tertutup di dekat pagar. “Itu dulu jalur kuda. Terhubung ke pekarangan tim stok. Bisa juga ke markas tim bertahan. Jaraknya lumayan, jadi kau harus pakai kuda.”“Dulu semua orang pakai kuda ke sini?” tanyaku.“Yah, mana mungkin, kan, kita lewat jalur tadi. Sejujurnya anggota baru tim penyerang selalu diajak lewat jalur itu saat pertama kemari. Anggap saja semacam ritual jaman dulu. Kau, kan, belum pernah.”Aku hanya mengangguk-angguk. Apa pun, terserah.“Dulu,” sebutnya lagi, jauh lebih mengenang. “Waktu pertama kali kemari, Kapten menangis karena jalur itu.”“Lavi?” Aku kaget. “Menangis?”Entah bagaimana Dalton mengerutkan kening. “Dia
Malam itu tidurku tidak tenang.Aku ingat menatap langit-langit putih kamar, membayangkan apa yang bisa kulakukan besok, sampai tiba-tiba mataku tertutup, dan aku tidak melihat kegelapan layaknya tertidur normal, melainkan obor kemerahan yang membara.Semestinya aku tidak terlalu bodoh lagi untuk sadar bahwa sedang mimpi, tetapi kesadaranku sepenuhnya tertegun pada apa yang kulihat.Barangkali itu bisa disebut benteng, tetapi lebih kokoh dari yang kutahu soal benteng. Ruangannya seperti ada dalam lingkaran mercusuar batu terkokoh, yang dikelilingi ribuan obor merah membara dan orang-orang bersimbah keringat penuh lelah. Puluhan—tidak, bahkan ratusan orang berkumpul, sebagian berbaring, tidak bergerak, sebagian duduk, meringkuk memeluk kakinya, sebagian lagi berdiri dan menatap orang-orang yang tampak tidak akan pernah bangun lagi. Sebagian wanita menangis, sebagian pria kehilangan orientasi pandangan layaknya di dalam bola mata kosong itu sudah tidak ada l