Malam itu tidurku tidak tenang.
Aku ingat menatap langit-langit putih kamar, membayangkan apa yang bisa kulakukan besok, sampai tiba-tiba mataku tertutup, dan aku tidak melihat kegelapan layaknya tertidur normal, melainkan obor kemerahan yang membara.
Semestinya aku tidak terlalu bodoh lagi untuk sadar bahwa sedang mimpi, tetapi kesadaranku sepenuhnya tertegun pada apa yang kulihat.
Barangkali itu bisa disebut benteng, tetapi lebih kokoh dari yang kutahu soal benteng. Ruangannya seperti ada dalam lingkaran mercusuar batu terkokoh, yang dikelilingi ribuan obor merah membara dan orang-orang bersimbah keringat penuh lelah. Puluhan—tidak, bahkan ratusan orang berkumpul, sebagian berbaring, tidak bergerak, sebagian duduk, meringkuk memeluk kakinya, sebagian lagi berdiri dan menatap orang-orang yang tampak tidak akan pernah bangun lagi. Sebagian wanita menangis, sebagian pria kehilangan orientasi pandangan layaknya di dalam bola mata kosong itu sudah tidak ada l
Belakangan ini, aku terlalu sering bermalam di danau, yang itu berarti lebih banyak dari yang kuinginkan, tetapi karena Fal tidak bisa tidur, dan tiba-tiba ingin lihat danau di malam hari, dia secara khusus memintaku menemaninya.“Butuh kutemani juga?” tawar Reila.“Tidak,” kataku. Meski sebenarnya aku ingin ditemani seseorang. Aku perlu segera terhubung dengan Lavi, yang kalau semua mimpiku benar, sekarang sudah dua puluh jam sejak mimpi itu berakhir. Sayangnya, aku tahu ketika Fal meminta ditemani olehku, itu juga berarti: hanya aku.Jadi, danau terasa sunyi, gelap, dan mengerikan. Kupikirkan kalau kami bisa memiliki tempat bermain lebih baik dari danau, tetapi Fal, yang secara teknis, masih kugendong—trek menuju danau lumayan licin dan berbatu—dia bisa mengeluarkan suara antusias. “Kabutnya tebal!”Aku benci menyebut kebenaran di balik kabut itu, dan terlepas betapa tebal kabut itu di mata Fal, yang bisa
Malam itu, akhirnya suara Lavi terdengar.“Kau keterlaluan! Bisa-bisanya kau sama sekali tidak mengabariku berhari-hari, membuatku terus berkutat ke kegilaan perang, dan kau tidak pernah khawatir seperti memikirkanku atau apa—kau di sana pasti bersenang-senang dengan cewek lain—melupakanku yang berjuang demi keselamatan kalian, dan sekarang kau baru menghubungiku hanya karena kau bosan—kau keterlaluan!”Aku di kamar, memotong kuku, diterangi cahaya remang-remang bohlam, dan sejujurnya menyenangkan mendengar suara Lavi. Dia membangkitkan nuansa merindukan yang membuatku ingin melihat wajahnya—meski dia pasti tidak hanya mengomel, tetapi akhirnya dia selesai mengomel ketika potong kuku selesai.“Maaf,” kataku. “Jadi, ada apa di sana?”“Kau memang orang paling menyebalkan yang pernah kukenal.”“Lavi,” pintaku.“Tidak bisakah kau sedikit cemas atau apa?&rdq
Kupikir itu pertama kali aku melihat robot buatan Jesse dari dekat.Pertama aku melihatnya, robot itu ada di pos keamanan depan Venus. Robot berbentuk anjing, yang punya mata kamera. Dilihat dari dekat, besar robot itu jauh lebih besar dari anjing pada umumnya, terbuat dari besi kuat, dengan mata berkaca gelap, dan mulut yang tidak bisa terbuka. Di dalam bola mata kaca itu, ada sepasang kamera yang bergerak, mengeluarkan suara kecil tanda lensanya berputar.Robot itu cukup kuat menopang seseorang—setidaknya, asal penunggang itu bukan Haswin, robot ini tidak akan punya masalah. Jadi, ketika Fal duduk pada robot dingin yang tidak bisa bicara, Fal merasa itu motor pembalap.Jesse menggerakkan balok penggerak, dan robot itu maju, dengan kecepatan seperti anjing pada umumnya—yang membuat Fal tertawa girang.“Tidakkah dia bisa jatuh?” tanya Reila, melihat kecepatan robot.“Paling dia cuma meringis,” kata Jesse.
Ada banyak gagasan terlintas di kepalaku.Yang paling utama: sosok yang hampir kulupakan, yang jelas-jelas berada di depan mataku ketika misi pertamaku menemui kegagalan. Sosok kurus misterius yang disebut menyelamatkanku, membawa pergi panahku, dan menghilang dalam kegelapan gua. Aku baru sadar telah melupakan Helvin Gervous. Satu-satunya yang bisa mengonfirmasi asumsi Haswin dan Yasha, memang hanya aku.Jadi, aku tidak habis pikir bagaimana dua orang ini harus membuang insting tajam mereka sebagai pejuang—yang jelas-jelas bukan lagi untuk tim bertahan dan dilihat dari aspek mana pun, insting mereka mirip Lavi. Jadi, mereka bahkan tidak cocok untuk tim stok atau bertahan. Mereka cocok untuk tim penyerang.Namun, mereka memang punya dua sisi koin.Ketika kami menyelesaikan pembersihan kandang dan beralih ke kandang sapi perah, kami bertiga yang sama-sama tengah memerah susu, lagi-lagi kembali memperdebatkan hal idiot yang semestinya tidak layak dipe
Fal datang ke Gerhaku ketika aku main pedang di halaman belakang.Kupikir dia ditemani seseorang, tetapi dia sendirian, tiba-tiba masuk melalui pintu depan—aku tahu tidak menguncinya—berlari ke halaman belakang dengan tas ransel di punggung, membuatku terkejut, lalu sebelum aku sempat bersuara, dia menuntut, “Forlan tidak buka pintu!”“Maaf,” kataku. Dia pasti teriak-teriak namaku. “Aku lagi main.”“Main pedang? Pedangnya mana?”“Fal tidak boleh lihat.” Entah bagaimana aku mulai mengerti cerita Profesor Merla ketika ibuku melarangku melihat pedang. “Sekarang waktunya makan?”“Layla bilang makan di sini saja. Jadi, Fal bawa kotak makan.”“Tunggu, Fal sendiri?”“Sama Reila, tapi Reila pulang.”Aku menoleh ke Gerha sebelah. Tak ada tanda-tanda dia muncul ke halaman belakang. Rasanya aneh ketika mudah bertemu Reil
“Sebaiknya kita tentukan siapa yang pergi ke Lembah Palapa,” cetus Isha.“Betul,” Kara sepakat. “Pemilihan ini akan sedikit krusial, terutama karena Padang Anushka juga butuh daya tempur—yang itu artinya,” Kara sepertinya tidak mau ambil pusing lagi, “kita tidak bisa mengutus Forlan atau Dalton pergi.”“Itu berarti, tidak ada pemilik kemampuan yang bisa berangkat,” kata Jesse.Rasanya begitu menyedihkan ketika tidak ada satu pun penghuni yang bisa diandalkan untuk menjaga atau bahkan berangkat melakukan tugas suci.“Bagaimana dengan Reila?” tanya Profesor Neil.“Isha?” tanya Kara. “Bagaimana kondisinya?”“Sejauh ini cukup bagus,” jelas Isha, dan jelas aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. “Tapi rasanya belum cukup meyakinkan saat garis depan butuh pejuang yang siap mengangkat pedang. Kondisi Reila membaik ket
Yang diutus memanggil Reila itu Aslan—setengah karena dia terus diam, setengah karena adrenalin Kapten yang lain sedang tinggi.Maka posisi tempat duduk berubah. Awalnya tempat duduk Reila akan ada di antara Layla dan Aslan, tetapi kemudian Isha punya ide.“Biarkan dia di sebelah Forlan dan aku.”“Aku?” kataku, menunjuk diriku sendiri.Isha menatapku, mengangguk.Aku tahu sorot itu punya banyak rahasia yang tak akan dia katakan padaku. Satu-satunya yang kupikirkan hanya soal pertimbangan medis. Secara teknis, tanpa pernah kusadari, Reila selalu di bawah pengawasan Isha, jadi sejak awal memang tidak ada yang bisa membantah ucapan Isha tentang pasiennya.Jadi, Reila datang hampir memakan waktu tiga puluh menit—padahal jarak Pendopo ke Gerha tidak mencapai lima belas menit, dan Reila datang masih dengan jubah kebanggaan, lalu mengedarkan pandangan, tampaknya mencari kursi.Isha bertemu mata dengannya,
Begitu Rapat Dewan selesai, Jesse langsung menyeretku. Sorotnya penuh emosi. Keningnya mengerut kuat. Tangannya mencengkeram lengan kausku. Lalu dengan emosinya menarikku—tampaknya menuju Balai Dewan. Reila berusaha menghentikan Jesse, tetapi tidak berdaya. Jesse tidak terhentikan. Semua tetap seperti itu, sebelum Isha menahan Jesse. “Jesse, kau perlu istirahat. Tenangkan dirimu.” “Istirahat?” Nada Jesse nyaring. “Dia berangkat empat hari lagi. Dan kita perlu mencari tahu sebanyak yang bisa dicari secepatnya. Terlambat sedikit, mata-mata itu tahu semua yang terjadi tadi, dan—” Kondisi Jesse aneh. Napasnya berat. Keringatnya mengalir banyak untuk ukuran orang yang memakai kaus di tengah embusan angin malam. Kemudian dia menatapku. Matanya bergetar. Belum sempat aku bersuara, wajahnya kaku. Rahangnya seperti beku, dan tiba-tiba napasnya terengah-engah. Lututnya lemas. Dia jatuh. Jesse tidak pingsan, tetapi matanya kaku. Napasnya semakin cepat. “
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t