Begitu Rapat Dewan selesai, Jesse langsung menyeretku. Sorotnya penuh emosi. Keningnya mengerut kuat. Tangannya mencengkeram lengan kausku. Lalu dengan emosinya menarikku—tampaknya menuju Balai Dewan. Reila berusaha menghentikan Jesse, tetapi tidak berdaya. Jesse tidak terhentikan.
Semua tetap seperti itu, sebelum Isha menahan Jesse.
“Jesse, kau perlu istirahat. Tenangkan dirimu.”
“Istirahat?” Nada Jesse nyaring. “Dia berangkat empat hari lagi. Dan kita perlu mencari tahu sebanyak yang bisa dicari secepatnya. Terlambat sedikit, mata-mata itu tahu semua yang terjadi tadi, dan—” Kondisi Jesse aneh. Napasnya berat. Keringatnya mengalir banyak untuk ukuran orang yang memakai kaus di tengah embusan angin malam. Kemudian dia menatapku. Matanya bergetar. Belum sempat aku bersuara, wajahnya kaku. Rahangnya seperti beku, dan tiba-tiba napasnya terengah-engah. Lututnya lemas. Dia jatuh.
Jesse tidak pingsan, tetapi matanya kaku. Napasnya semakin cepat.
“
Aku tidak mengerti bagaimana caranya, tetapi ketika terbangun, aku sudah di ranjang—yang sepertinya adalah kamar Lavi. Matahari sudah tinggi, dan telepon Lavi berdering, yang semestinya adalah hal paling menakutkan.Namun, aku mengangkatnya. “Ya, perwakilan Lavi di sini.”“Kemari,” kata suara Jesse. “Klinik.”“Kau sedang bicara untuk Lavi? Kau lupa dia—”“Aku tidak terima pertanyaan bodoh. Kalau kau punya waktu memikirkan itu, sikat gigimu, cuci mukamu karena aku yakin kau baru bangun, dan keluar dari Gerha pacarmu sebelum kau macam-macam.”Perintah itu mengakhiri sambungan telepon kami.Dalam perjalanan ke Balai Dewan, entah bagaimana baru kusadari Jesse tak memintaku datang ke ruangannya, tetapi klinik. Itu hal aneh pertama yang kudapat, dan kalau mungkin, aku tidak ingin memikirkan hal aneh-aneh.Namun, ketika aku masuk klinik, di ruang tunggu ada Tara, Fal, Ya
Haswin dan Yasha tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Mereka punya sesuatu yang harus dikerjakan di peternakan, dan semakin lama mereka pergi, tentu banyak orang yang curiga mengapa orang-orang sebanyak ini harus berdiam sangat lama di klinik. Jadi, dengan idiot Haswin mengajakku. “Kau mau main ayam?”“Bung, kau lihat aku sedang memikirkan ini?” kataku.“Hanya menawarkan. Kami menerimamu kalau kau mau main ayam.”Jadi, aku lihat mereka berdua mengajak Elka ke peternakan.Kemudian Asva dan Nuel harus tetap berjaga di ruangan tim peneliti andai terjadi sesuatu secara mendadak—sehingga Jesse tetap di ruangan, ditemani Isha. Layla perlu menjaga Fal yang tertidur di ruang tunggu klinik. Aku tidak habis pikir bagaimana Fal bisa tertidur. Maksudku, itu kesempatan terbesar kalau dia mau tahu segala yang kami sembunyikan—tetapi oke, dia enam tahun. Mendengar obrolan kami mungkin terdengar membosankan.“Ka
Tara menghadangku tepat sebelum aku keluar.“Aku punya saran tempat mendinginkan kepalamu, bagaimana kalau temani aku jalan-jalan sebentar?”Sebenarnya aku tidak sedang emosi, hanya sedang lelah, tetapi karena Tara tidak menerima jawaban selain iya, aku mengikutinya.Betapa kecewanya benakku ketika dia mengajakku ke tempat yang benar-benar jauh di luar perkiraan. Maksudku, tempatnya memang bisa membuat kepala mana pun dingin, dan aku benar-benar sudah tidak begitu bersemangat ketika kami melewati pohon-pohon lembap, menyusuri nuansa yang dingin, hingga ketika kami berhenti di sisi Telaga, tebakanku benar.“Kita ke makam, ya?”“Di ujung sana ada tempat peristirahatan pahlawan. Ketika garis waktu tiap pahlawan habis, ini jalur terakhir yang mereka lewati.” Tara memandang ujung Telaga layaknya hal paling jauh yang pernah ada. Kemudian dia menatapku, dengan binar mata yang berwarna mirip air Telaga, hingga kebekuan T
Itu pertama kalinya aku membicarakan keluarga selain pada Layla.Aku juga membicarakannya dengan Reila, tetapi keluarga yang kubicarakan dengannya sedikit berbeda dengan yang kubicarakan bersama Layla. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, aku membicarakan keluarga yang berbeda lagi untuk Tara. Ceritaku pada Reila masih cukup diselimuti kebohongan. Namun, ketika sesuatu mengusikku sangat kuat di pemakaman, aku tidak bisa lagi berbohong.Tiba-tiba saja kami sudah duduk di pinggir Telaga, berdiam di nuansa yang terbilang cukup suram, menatap kunang-kunang yang menyinari duka.“Aku tidak pernah tahu bagaimana wujud orang tuaku,” ungkapku.Tara di sebelahku. Kami duduk hanya dibatasi rerumputan basah yang agak diselimuti embun. Tara tidak mengalihkan mata, seolah dalam keseriusan bola mata itu, dia berusaha membuatku kembali seperti aku yang dia kenal.“Dan sejujurnya sebelum di Padang Anushka, aku tidak pernah memikirkan itu,” l
Rasanya aneh karena Tara masih menempel, bahkan setelah keluar Telaga. Dia seperti tidak membiarkanku pergi, bahkan menuntunku ke suatu tempat. Jadi, jelas karena situasinya sedang seperti ini, terutama karena aku sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu, aku langsung bertanya hal paling mengerikan. “Tara, Kau mencurigaiku, ya?”Tara itu punya penampilan yang menarik perhatian, tetapi bukan karena dia punya aura kecantikan murni layaknya Layla—Tara punya paras yang rasanya tak pernah berhenti tersenyum. Ketika menatapmu, dia seperti tengah memerhatikanmu dengan cara paling dalam, lalu karena senyum tipisnya tidak pernah pergi, rasanya seperti tengah dilihat secara personal. Lalu ketika dia memutuskan bicara, kata-kata pertamanya bukanlah, “Hai, selamat pagi,” atau sapaan normal lainnya, melainkan, “Kedengarannya asyik kalau aku mengikutimu seharian.”Aku mendesah. “Itu cukup membuat semua orang salah paham.&rd
“Bagaimana kondisi Lembah Palapa sekarang?” tanya Tara, seolah aku tahu jawabannya. Dan dia benar-benar menatapku seolah aku tahu.“Lavi oke,” kataku.“Pertempurannya?”“Tidak tahu.”“Kau pasti tahu.”Oke. Aku tahu tidak akan menang dari Tara. “Ini hanya kesimpulanku dari yang kudengar—sepertinya dewan pergi, mengejar musuh yang mengirim pasukan, jadi Lembah Palapa sekarang sangat rentan sampai butuh bantuan. Dan aku baru bisa berangkat tiga hari lagi. Dan entah mereka bisa bertahan atau tidak.”Aku tidak terlalu ingin berharap, tetapi ketika terakhir kali tersambung pada Lavi, dan ketika segalanya sudah tidak lagi tertahankan, Lavi bilang dia benar-benar akan kembali dalam empat hari. Kurasa itu terlalu berlebihan. Maksudku, harapan itu. Bagaimana pun juga, aku harus berangkat, untuk memperkuat pertahanan—dan tentunya tidak hanya satu atau dua minggu. Meski
Aku ingin bicara dengan Lavi lagi.Kupikirkan aku bisa mati kalau Lavi tahu aku sudah berjalan-jalan dengan Tara, lalu berakhir empat mata dengan Reila—tetapi mau seberapa menakutkan itu, perpustakaan Padang Anushka adalah tempat paling megah yang pernah kulihat.Selama aku berada di Padang Anushka, aku tidak pernah masuk ke dalam perpustakaan—meskipun Isha sudah memberiku begitu banyak rekomendasi buku yang setidaknya bisa membantuku dalam mencari adik atau kemampuanku.Dan di sinilah aku. Di bagian terdalam Balai Dewan, yang bagian luarnya tidak terlihat mewah, hanya pintu kayu biasa dengan kesan klasik, tetapi memiliki ukiran burung hantu di atas pintu, layaknya relief, tetapi timbul. Burung hantu itu memakai topi sarjana, mengepakkan sayap, membawa perkamen di kakinya.Namun, begitu memasuki ruangan, perpustakaan rasanya seperti jauh lebih besar dari Balai Dewan itu sendiri. Tempat itu adalah surga bagi para kutu buku. Rak menjulang di set
Sekarang aku mengerti. Reila hanya belajar di bidang yang salah.“Oke, sekarang kau mengerti?” tuntutnya, menggebu-gebu. “Jadi, mungkin, mungkin saja tempat ini terisolasi. Tempat ini dulunya sebuah negara, yang punya lokasi nun jauh tidak terjangkau negara lain, dan karena konflik di negara ini bukan konflik senjata api, invasi, agresi, atau segala jenis peperangan yang pernah ada di akal manusia—negara lain memutuskan menjauh. Dan sekarang—orang-orang asli negara itu—seperti kita—sekarang harus bertahan pada perang yang sudah melebur bersama alam liar, menghilangkan teknologi dan peradaban, dan kita kembali ke jaman purba—padahal selama 500 tahun itu, negara lain dengan sinting membuat peradaban yang tidak pernah dilihat manusia 500 tahun lalu!”Akhirnya aku berhasil memutar bolpoin di jempol seperti Reila. Ketika dia menatapku penuh tuntutan reaksi setelah semua penjelasan itu, aku mengangguk-angguk. “Hm. O
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t