“Bagaimana kondisi Lembah Palapa sekarang?” tanya Tara, seolah aku tahu jawabannya. Dan dia benar-benar menatapku seolah aku tahu.
“Lavi oke,” kataku.
“Pertempurannya?”
“Tidak tahu.”
“Kau pasti tahu.”
Oke. Aku tahu tidak akan menang dari Tara. “Ini hanya kesimpulanku dari yang kudengar—sepertinya dewan pergi, mengejar musuh yang mengirim pasukan, jadi Lembah Palapa sekarang sangat rentan sampai butuh bantuan. Dan aku baru bisa berangkat tiga hari lagi. Dan entah mereka bisa bertahan atau tidak.”
Aku tidak terlalu ingin berharap, tetapi ketika terakhir kali tersambung pada Lavi, dan ketika segalanya sudah tidak lagi tertahankan, Lavi bilang dia benar-benar akan kembali dalam empat hari. Kurasa itu terlalu berlebihan. Maksudku, harapan itu. Bagaimana pun juga, aku harus berangkat, untuk memperkuat pertahanan—dan tentunya tidak hanya satu atau dua minggu. Meski
Aku ingin bicara dengan Lavi lagi.Kupikirkan aku bisa mati kalau Lavi tahu aku sudah berjalan-jalan dengan Tara, lalu berakhir empat mata dengan Reila—tetapi mau seberapa menakutkan itu, perpustakaan Padang Anushka adalah tempat paling megah yang pernah kulihat.Selama aku berada di Padang Anushka, aku tidak pernah masuk ke dalam perpustakaan—meskipun Isha sudah memberiku begitu banyak rekomendasi buku yang setidaknya bisa membantuku dalam mencari adik atau kemampuanku.Dan di sinilah aku. Di bagian terdalam Balai Dewan, yang bagian luarnya tidak terlihat mewah, hanya pintu kayu biasa dengan kesan klasik, tetapi memiliki ukiran burung hantu di atas pintu, layaknya relief, tetapi timbul. Burung hantu itu memakai topi sarjana, mengepakkan sayap, membawa perkamen di kakinya.Namun, begitu memasuki ruangan, perpustakaan rasanya seperti jauh lebih besar dari Balai Dewan itu sendiri. Tempat itu adalah surga bagi para kutu buku. Rak menjulang di set
Sekarang aku mengerti. Reila hanya belajar di bidang yang salah.“Oke, sekarang kau mengerti?” tuntutnya, menggebu-gebu. “Jadi, mungkin, mungkin saja tempat ini terisolasi. Tempat ini dulunya sebuah negara, yang punya lokasi nun jauh tidak terjangkau negara lain, dan karena konflik di negara ini bukan konflik senjata api, invasi, agresi, atau segala jenis peperangan yang pernah ada di akal manusia—negara lain memutuskan menjauh. Dan sekarang—orang-orang asli negara itu—seperti kita—sekarang harus bertahan pada perang yang sudah melebur bersama alam liar, menghilangkan teknologi dan peradaban, dan kita kembali ke jaman purba—padahal selama 500 tahun itu, negara lain dengan sinting membuat peradaban yang tidak pernah dilihat manusia 500 tahun lalu!”Akhirnya aku berhasil memutar bolpoin di jempol seperti Reila. Ketika dia menatapku penuh tuntutan reaksi setelah semua penjelasan itu, aku mengangguk-angguk. “Hm. O
Lokasi bermain dengan Fal kali ini adalah pondok utama.Berita mengejutkannya saat itu, adalah Kara ikut dengan kami. Sebenarnya gagasan awalku itu mengajak Fal bermain kelereng di padang rumput, tetapi ketika kami kejar-kejaran di jalan berpaving menuju padang rumput, Kara tiba-tiba berlari bersama kami, berkata, “Boleh aku ikut kejar-kejaran, Nak?”Yang sejujurnya membuatku tercengang sampai sesak napas, batuk-batuk.Jadi, kami berakhir di pondok utama, setelah balap lari naik anak tangga—yang sebenarnya aku pemenangnya, Kara kedua, dan Fal terakhir, tetapi Fal tidak boleh dibiarkan terakhir atau dia akan cemberut merajuk tidak ingin main, jadi aku pura-pura tersandung, membuat daguku membentur anak tangga—yang jujur saja di luar dugaanku—jadi aku memekik kesakitan, Kara kaget sampai ikut berhenti, dan Fal lanjut berlari sambil berteriak kegirangan. “FORLAN JATUH!”“Kau sungguh totalitas saat bermain, Nak.
Patroli malam kali ini tidak terasa begitu mendebarkan karena ada Haswin dan Yasha yang, secara teknis, sangat berkompeten dalam mencairkan suasana.Saat itu hampir tengah malam. Kami berlima sedang mengumpulkan tekad Yasha yang tertidur di Gerha Dalton saat Haswin meneguk habis kopi, dengan Elka yang berkata, “Sekarang sistem patroli berubah.”“Berubah bagaimana?” tanya Dalton, memakai jaket.“Setiap yang patroli harus lapor Mister. Di pondok perbatasan ada satu buku khusus, isinya nama dan waktu patroli, jadi sekarang semua orang tahu siapa yang patroli. Kalau mau cari datanya, hubungi Mister.”“Sejujurnya selama ini kupikir sistemnya seperti itu,” komentarku.Elka mengangkat bahu. “Tim bertahan yang sekarang kuno.”Kami berempat sudah siap, jadi Dalton menyetel alarm keras di telinga Yasha, yang membuatnya tersentak, melompat dari tidur, mencari sumber suara dengan mata setengah
Entah beruntung atau tidak, tetapi danau sangat sepi. Tidak ada siapa pun—yang sebenarnya wajar karena aturan jam malam dipatuhi semua penghuni, meski Yasha agak curiga. “Rasanya aneh kalau semua penghuni patuh.”“Benar.” Dalton sepakat. “Mustahil tidak ada pembangkang.”“Masalahnya yang biasa membangkang sekarang patroli,” kata Elka.Haswin menyusuri agak jauh, yang secara teknis menyeretku. Jadi, ketika Dalton, Yasha, dan Elka berjalan di belakang, memperdebatkan kalau mereka tidak akan melanggar, Haswin mengarahkan senter ke pulau pendiri—dan aku tidak tahu apa yang dia lihat, tetapi untukku, pulau pendiri terkesan begitu jauh. Terakhir kali menghabiskan waktu di sini, bersama Fal, kabut belum setebal ini. Namun, kini, kabut terasa semakin berada di pesisir seolah berniat melahap daratan.“Aku tidak mau bilang ini,” kata Haswin. Nuansanya begitu tajam. “Tapi bagaimana kalau m
Lokasi markas tim bertahan setidaknya jauh lebih damai dibanding markas tim penyerang. Aksesnya lebih menenangkan. Nuansanya juga lumayan asyik buat nongkrong. Barangkali Haswin yang membongkar habis-habisan markas ini—dan saat kutanyakan pada Dalton. “Haswin yang memindahkannya kemari.”Jadi, markas tim bertahan ada di tepi danau, di ujung cabang jalan berpaving terakhir. Bentuk markasnya berbeda dengan markas tim penyerang yang mirip bak benteng kuno. Markas tim bertahan begitu terbuka—dan itu benar-benar terbuka, hanya terdiri dari Joglo versi tanpa dinding. Jadi, itu seperti bangunan yang punya atap kokoh, dengan pilar-pilar marmer yang berdiri menyangganya. Halaman depan diisi dengan tongkat kayu yang ditancap ke tanah, penuh bekas pukulan dan sayatan pedang—lalu ada lubang besar, atau parit, aku tidak mengerti itu digunakan untuk apa, tetapi tampaknya untuk latihan simulasi perang. Kemudian ada kubangan air—tidak terlalu besar, tetapi
Sebelum patroli, kupikir mangsa terbesar kami ada di sekitar Gerha pemilik kemampuan, tetapi ketika Haswin mencetuskan itu, tidak ada yang protes, sehingga aku perlu bertanya, “Bukannya kita harus mengawasi dua orang?”“Oh. Kau tidak ikut saat ngobrol dengan Dhiena, ya,” kata Dalton.“Aku mau lihat kamar Layla,” cetus Haswin.Aku tak tahu itu serius atau bualan, tetapi kalau Haswin yang bicara, rasanya mencurigakan. “Dia, kan, tidak di kamarnya,” kataku.“Yang kita lihat kamarnya, bukan Layla,” desis Yasha. “Sumber awalnya dari sana. Di penutup jendelanya masih ada bekas anak panah, jadi kalau kau sedikit cerdas mengukur arah lintasan, semestinya kau tahu dari mana panah itu meluncur. Dan percaya atau tidak, semua itu ucapan Dhiena, bukan aku.”“Dia memeriksanya sendirian,” lanjut Dalton.“Diam-diam,” tambah Haswin. “Dan aku tidak bisa lihat
Patroli hari itu berakhir ketika kami menelusuri Gerha pemilik kemampuan, tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, kecuali Reila yang duduk termenung di halaman belakang. Sebenarnya Haswin punya gagasan menghampirinya dan sedikit menginterogasi, tetapi Dalton punya ide lain. “Serahkan itu ke Forlan.”Jadi, mereka memilih menyusuri kompleks asrama, sementara aku berdiri di pagar Reila, sampai dia menyadari keberadaanku.“Boleh aku masuk?” tanyaku.“Lewat mana?”“Pertanyaan retorik.”Ketika melompat masuk, pembicaraan kami tak terlalu panjang. Aku hanya bertanya, “Tidak tidur?”“Mau tidur lagi.”“Sejak kapan di sini?”“Mungkin sepuluh menit. Patroli?”Jadi, kukatakan kalau patroli malam punya aturan baru, dan dia bilang kalau tahu itu—baru kusadari Reila juga tim bertahan—yang membuat kami tertawa lirih. Pembicaraan
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak
Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei