Kupikir itu pertama kali aku melihat robot buatan Jesse dari dekat.
Pertama aku melihatnya, robot itu ada di pos keamanan depan Venus. Robot berbentuk anjing, yang punya mata kamera. Dilihat dari dekat, besar robot itu jauh lebih besar dari anjing pada umumnya, terbuat dari besi kuat, dengan mata berkaca gelap, dan mulut yang tidak bisa terbuka. Di dalam bola mata kaca itu, ada sepasang kamera yang bergerak, mengeluarkan suara kecil tanda lensanya berputar.
Robot itu cukup kuat menopang seseorang—setidaknya, asal penunggang itu bukan Haswin, robot ini tidak akan punya masalah. Jadi, ketika Fal duduk pada robot dingin yang tidak bisa bicara, Fal merasa itu motor pembalap.
Jesse menggerakkan balok penggerak, dan robot itu maju, dengan kecepatan seperti anjing pada umumnya—yang membuat Fal tertawa girang.
“Tidakkah dia bisa jatuh?” tanya Reila, melihat kecepatan robot.
“Paling dia cuma meringis,” kata Jesse.
Ada banyak gagasan terlintas di kepalaku.Yang paling utama: sosok yang hampir kulupakan, yang jelas-jelas berada di depan mataku ketika misi pertamaku menemui kegagalan. Sosok kurus misterius yang disebut menyelamatkanku, membawa pergi panahku, dan menghilang dalam kegelapan gua. Aku baru sadar telah melupakan Helvin Gervous. Satu-satunya yang bisa mengonfirmasi asumsi Haswin dan Yasha, memang hanya aku.Jadi, aku tidak habis pikir bagaimana dua orang ini harus membuang insting tajam mereka sebagai pejuang—yang jelas-jelas bukan lagi untuk tim bertahan dan dilihat dari aspek mana pun, insting mereka mirip Lavi. Jadi, mereka bahkan tidak cocok untuk tim stok atau bertahan. Mereka cocok untuk tim penyerang.Namun, mereka memang punya dua sisi koin.Ketika kami menyelesaikan pembersihan kandang dan beralih ke kandang sapi perah, kami bertiga yang sama-sama tengah memerah susu, lagi-lagi kembali memperdebatkan hal idiot yang semestinya tidak layak dipe
Fal datang ke Gerhaku ketika aku main pedang di halaman belakang.Kupikir dia ditemani seseorang, tetapi dia sendirian, tiba-tiba masuk melalui pintu depan—aku tahu tidak menguncinya—berlari ke halaman belakang dengan tas ransel di punggung, membuatku terkejut, lalu sebelum aku sempat bersuara, dia menuntut, “Forlan tidak buka pintu!”“Maaf,” kataku. Dia pasti teriak-teriak namaku. “Aku lagi main.”“Main pedang? Pedangnya mana?”“Fal tidak boleh lihat.” Entah bagaimana aku mulai mengerti cerita Profesor Merla ketika ibuku melarangku melihat pedang. “Sekarang waktunya makan?”“Layla bilang makan di sini saja. Jadi, Fal bawa kotak makan.”“Tunggu, Fal sendiri?”“Sama Reila, tapi Reila pulang.”Aku menoleh ke Gerha sebelah. Tak ada tanda-tanda dia muncul ke halaman belakang. Rasanya aneh ketika mudah bertemu Reil
“Sebaiknya kita tentukan siapa yang pergi ke Lembah Palapa,” cetus Isha.“Betul,” Kara sepakat. “Pemilihan ini akan sedikit krusial, terutama karena Padang Anushka juga butuh daya tempur—yang itu artinya,” Kara sepertinya tidak mau ambil pusing lagi, “kita tidak bisa mengutus Forlan atau Dalton pergi.”“Itu berarti, tidak ada pemilik kemampuan yang bisa berangkat,” kata Jesse.Rasanya begitu menyedihkan ketika tidak ada satu pun penghuni yang bisa diandalkan untuk menjaga atau bahkan berangkat melakukan tugas suci.“Bagaimana dengan Reila?” tanya Profesor Neil.“Isha?” tanya Kara. “Bagaimana kondisinya?”“Sejauh ini cukup bagus,” jelas Isha, dan jelas aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. “Tapi rasanya belum cukup meyakinkan saat garis depan butuh pejuang yang siap mengangkat pedang. Kondisi Reila membaik ket
Yang diutus memanggil Reila itu Aslan—setengah karena dia terus diam, setengah karena adrenalin Kapten yang lain sedang tinggi.Maka posisi tempat duduk berubah. Awalnya tempat duduk Reila akan ada di antara Layla dan Aslan, tetapi kemudian Isha punya ide.“Biarkan dia di sebelah Forlan dan aku.”“Aku?” kataku, menunjuk diriku sendiri.Isha menatapku, mengangguk.Aku tahu sorot itu punya banyak rahasia yang tak akan dia katakan padaku. Satu-satunya yang kupikirkan hanya soal pertimbangan medis. Secara teknis, tanpa pernah kusadari, Reila selalu di bawah pengawasan Isha, jadi sejak awal memang tidak ada yang bisa membantah ucapan Isha tentang pasiennya.Jadi, Reila datang hampir memakan waktu tiga puluh menit—padahal jarak Pendopo ke Gerha tidak mencapai lima belas menit, dan Reila datang masih dengan jubah kebanggaan, lalu mengedarkan pandangan, tampaknya mencari kursi.Isha bertemu mata dengannya,
Begitu Rapat Dewan selesai, Jesse langsung menyeretku. Sorotnya penuh emosi. Keningnya mengerut kuat. Tangannya mencengkeram lengan kausku. Lalu dengan emosinya menarikku—tampaknya menuju Balai Dewan. Reila berusaha menghentikan Jesse, tetapi tidak berdaya. Jesse tidak terhentikan. Semua tetap seperti itu, sebelum Isha menahan Jesse. “Jesse, kau perlu istirahat. Tenangkan dirimu.” “Istirahat?” Nada Jesse nyaring. “Dia berangkat empat hari lagi. Dan kita perlu mencari tahu sebanyak yang bisa dicari secepatnya. Terlambat sedikit, mata-mata itu tahu semua yang terjadi tadi, dan—” Kondisi Jesse aneh. Napasnya berat. Keringatnya mengalir banyak untuk ukuran orang yang memakai kaus di tengah embusan angin malam. Kemudian dia menatapku. Matanya bergetar. Belum sempat aku bersuara, wajahnya kaku. Rahangnya seperti beku, dan tiba-tiba napasnya terengah-engah. Lututnya lemas. Dia jatuh. Jesse tidak pingsan, tetapi matanya kaku. Napasnya semakin cepat. “
Aku tidak mengerti bagaimana caranya, tetapi ketika terbangun, aku sudah di ranjang—yang sepertinya adalah kamar Lavi. Matahari sudah tinggi, dan telepon Lavi berdering, yang semestinya adalah hal paling menakutkan.Namun, aku mengangkatnya. “Ya, perwakilan Lavi di sini.”“Kemari,” kata suara Jesse. “Klinik.”“Kau sedang bicara untuk Lavi? Kau lupa dia—”“Aku tidak terima pertanyaan bodoh. Kalau kau punya waktu memikirkan itu, sikat gigimu, cuci mukamu karena aku yakin kau baru bangun, dan keluar dari Gerha pacarmu sebelum kau macam-macam.”Perintah itu mengakhiri sambungan telepon kami.Dalam perjalanan ke Balai Dewan, entah bagaimana baru kusadari Jesse tak memintaku datang ke ruangannya, tetapi klinik. Itu hal aneh pertama yang kudapat, dan kalau mungkin, aku tidak ingin memikirkan hal aneh-aneh.Namun, ketika aku masuk klinik, di ruang tunggu ada Tara, Fal, Ya
Haswin dan Yasha tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Mereka punya sesuatu yang harus dikerjakan di peternakan, dan semakin lama mereka pergi, tentu banyak orang yang curiga mengapa orang-orang sebanyak ini harus berdiam sangat lama di klinik. Jadi, dengan idiot Haswin mengajakku. “Kau mau main ayam?”“Bung, kau lihat aku sedang memikirkan ini?” kataku.“Hanya menawarkan. Kami menerimamu kalau kau mau main ayam.”Jadi, aku lihat mereka berdua mengajak Elka ke peternakan.Kemudian Asva dan Nuel harus tetap berjaga di ruangan tim peneliti andai terjadi sesuatu secara mendadak—sehingga Jesse tetap di ruangan, ditemani Isha. Layla perlu menjaga Fal yang tertidur di ruang tunggu klinik. Aku tidak habis pikir bagaimana Fal bisa tertidur. Maksudku, itu kesempatan terbesar kalau dia mau tahu segala yang kami sembunyikan—tetapi oke, dia enam tahun. Mendengar obrolan kami mungkin terdengar membosankan.“Ka
Tara menghadangku tepat sebelum aku keluar.“Aku punya saran tempat mendinginkan kepalamu, bagaimana kalau temani aku jalan-jalan sebentar?”Sebenarnya aku tidak sedang emosi, hanya sedang lelah, tetapi karena Tara tidak menerima jawaban selain iya, aku mengikutinya.Betapa kecewanya benakku ketika dia mengajakku ke tempat yang benar-benar jauh di luar perkiraan. Maksudku, tempatnya memang bisa membuat kepala mana pun dingin, dan aku benar-benar sudah tidak begitu bersemangat ketika kami melewati pohon-pohon lembap, menyusuri nuansa yang dingin, hingga ketika kami berhenti di sisi Telaga, tebakanku benar.“Kita ke makam, ya?”“Di ujung sana ada tempat peristirahatan pahlawan. Ketika garis waktu tiap pahlawan habis, ini jalur terakhir yang mereka lewati.” Tara memandang ujung Telaga layaknya hal paling jauh yang pernah ada. Kemudian dia menatapku, dengan binar mata yang berwarna mirip air Telaga, hingga kebekuan T