Beberapa bulan menjelang hari pernikahan, Shanum masih berada di pasar, mengecek persediaan beras untuk kedepannya. Sekalipun dirinya akan menikah, ia memutuskan untuk membuka terus toko berasnya. Dan menyerahkan tokonya pada dua pekerjanya seperti biasa. Lagipula itu hanya pernikahan kecil yang tak terlalu menghebohkan. Ia sengaja merencanakan hal seperti itu, karena tidak terlalu suka keramaian. Apalagi kalau sampai seantero orang tahu kalau ia menikah dengan Rian. Yang diundang juga hanya beberapa saja. Shanum menelepon Gavin, tapi tidak kunjung diangkat. Entahlah apakah dia sesibuk itu? Oh iya... Dia kan sudah bekerja sekarang. Beberapa waktu lalu Gavin bilang sudah pindah dari rumah ayahnya, ia merasa tidak enak saja kalau terus-terusan tinggal bersama ayahnya yang sudah menikah lagi. Melihat mereka mengumbar kemesraan tiap hari yang membuat dirinya muak. Kasihan Gavin, dia sampai merasa seperti itu. Shanum benar-benar merasa bersalah. Mendadak muncul sebuah telepon dari Jiha
Esok paginya, nenek Aisyah mengunjungi rumah Rian yang baru. "Alhamdulillah udah nyampe." ucapnya seraya menghela nafas karena lelah, sehabis jalan menanjak barusan. Shanum membuka pintu dan terkwjut saat melihat nenek Aisyah sudah muncul didepan pintunya. "Loh nenek? Kok ada disini?" tanyanya cemas. "Ayo masuk nek." ucapnya menuntun nenek Aisyah saat itu juga. Mereka duduk di sofa. "Aku buatin minum ya." "Jangan manis." pesan sang nenek. Meski setelahnya ia menghela nafas berkali-kali karena kecapekan. "Heuh, rumah kamu kok diatas gini Num, capek nenek naik kesininya." ucapnya. Shanum sambil mengucek teh buatannya segera membalas perkataannya dari dapur. "Iya mas Rian yang beli nek, aku enggak tahu dapetnya yang disini. Num enggak tahu nenek bakal kesini, kalau mau kesini harusnya mungkin bilang dulu. Kasihan banget nenek jalan kesini enggak dianter." "Udah biasa Num, habisnya nenek mau liat rumah baru kalian. Katanya kan deket, nenek jadi kesini. Eh ternyata capek nanjaknya." S
"Iya selamat ya." ucap sang dokter, cukup membuat kedua temannya kembali tercengang bukannya malah senang termasuk juga Gavin. Lain hal dengan Ghea yang sangat senang atas hal ini. Sang dokter pun pergi. Sisil berkata pada Gavin dan Hera. "Berarti nanti kita dipanggil tante dong sama anaknya? Huwaa... Gue menolak umur!" ucapnya. "Huwaaa kita udah tuwiirrr." Gavin terus memandang Ghea. Hal yang cukup mengejutkan. Ternyata Ghea akan menjadi ibu, dirinya merasa saja kalau nantinya, perlahan tapi pasti. Ia akan benar-benar ditinggalkan oleh mereka. Hanya tinggal menunggu kabar dari ibunya yang akan menyusul Ghea. Jadi ini yang dinamakan dewasa ya.... Gavin kini dipindah kerjakan ke gedung belakang meski masih didalam lingkup satu perusahaan milik ayahnya Diana. Tahu saja, apapun yang dikatakan oleh ayah Diana kepadanya pasti akan sangat berdampak padanya di kemudian hari, dan ini adalah bukti kesekiannya yang memang benar-benar terjadi. Namun tiba-tiba saja Gavin merasa
"Kasihan aja Gavin, jadi enggak punya tempat bernaung. Dia malah ngontrak sekarang. Kalo enggak dia tinggal dirumah kita aja ya. Suruh pindah kampusnya kesini?" tanya Shanum. "Emang dia mau?" tanya Rian. "Enggak tahu sih. Coba nanti aku tanyain. Tapi kamu setuju kan kalo kita tinggal sama Gavin?" tanya Shanum. "Iya. Setuju." "Yaudah nanti aku ngomong." Tak lama kemudian, Gavin melihat hapenya dan ia lihat berderet chat serta misscall dari ibunya. Gavin berniat menelepon balik namun tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari Diana. Ia langsung menerima teleponnya. "Apa?" "Vin, pokoknya lo enggak boleh ngikutin kemauan bokap gue. Lo harus ngasih tahu kalau kita enggak ada hubungan apapun. Lo juga harus yakinin kalo elo enggak ada perasaan apapun sama gue." ucap Diana. "Udahlah Di. Terima aja keadaan kalo gue dipindahin kerja. Lagian bokap lo bener, kalo lama kelamaan kita di satu ruangan yang sama, pasti ujung-ujungnya cinlok. Mending pake cara bapak lo ini." "Ih enggak-enggak. Kok
"Ayolah peka dikit, emangnya karena masalah apalagi mereka berantem?" tanya Nara semakin menyudutkan diri Ghea saat itu, ditambah tatapan kedua temannya yang sama mencecarnya."Gavin, Van... Udah kek jangan aneh-aneh. Aku lagi males ngedenger keributan apapun." ucap Ghea yang masih merasa tidak enak badannya, wajahnya tampak pucat. "Heh, lo ngomong seakan-akan lo orang yang berhak ngelarang-larang kita." ucap Ivan. "Ya emang harusnya aku ngebiarin kalian berantem gitu aja?"Ivan tersenyum, kemudian berkata. "Lo tahu gak sih Ge... Gavin sebenarnya enggak suka lo hamil." "Gak usah nyari perkara!" kesal Gavin. "Sejak kapan sih mulut lo jadi ember begini?" "Loh, emang bener.... Lo ngomong kayak gitu barusan. Lo merasa terbebani dengan anak yang akan lahir itu." "Bener-bener deh, lemes banget sih lo!" tandas Gavin. "Udah cukup!" kesal Ghea. Ia lanjut berkata. "Vin, kalau kamu merasa kesal sama aku bilang, disisi mana yang buat kamu kesal, tapi satu hal yang aku pinta, tolong dengan s
Gavin terus menelepon Shanum tapi tak kunjung diangkat. Ia kini sedang berada dikamarnya dan pandangi ponselnya, tidak ada notifikasi sama sekali dari siapapun. Ia merasa cukup lega tidak ada chat dari Diana lagi, mungkin dirinya sudah lelah menggerecokinya, namun baru beberapa saat ia mengira seperti itu, notifikasi chat dari Diana muncul. Gavin menghela nafas. Dan isi chatnya antara lain. "Vin, lo ribut kenapa sih tadi? Cerita dong." itu isi chat Diana membuat Gavin berbalik menghiraukannya. Namun semakin dihiraukan malah justru muncul rentetan chat kembali. "Gavin jelek kayak bebek. Kenapa lo gak bales chat gueeeee! CEPET BALES! GAVIN! GAVIN! GAVIN! JELEK! KAYAK BEBEK!" Lama kelamaan semakin membuat Gavin tertawa geli jadinya. "Aneh banget sih ni cewek dasar cewek berisik. Sendirinya bawel kayak bebek.""GAVIN!! BURU BALES! NANTI GUE KETIDURAN!" Ia menertawai setiap chat itu muncul. "Gavin jelek buru lah!" isi chatnya lagi."Kayak cakep aja sih dia. Gue mau liat sampe mana sih
Rian pun menepati perkataannya, ia mencari tahu apa faktor penyebabnya. Di hari libur, Rian mencoba untuk pergi ke pasar. Dirinya menemukan satu hal yang sangat mencurigaka, ia lihat toko beras di depan jalan raya sangat ramai pembeli dari yang biasanya sangat sepi. Bagaimana bisa beras yang harganya jauh lebih mahal dari toko Shanum malah justru banyak yang beli? Tentu ini menjadi pertanyaan didalam kepalanya. Ia langsung hampiri orang yang baru saja membeli beras di toko itu. "Mbak maaf, barusan beli beras di toko itu ya? Saya mau tanya, apa alasan mbak beli beras disini? Sedangkan setahu saya beras didalam pasar jauh lebih murah harganya." "Oh saya ikut-ikutan orang aja sih mas." "Ikut-ikutan? Maksudnya gimana?" tanya Rian "Katanya sih yang didalam pasar, tokonya pakai penglaris, makanya saya enggak berani beli disitu." ucapnya, membuat Rian spontan tersontak. "Penglaris?!" Rian tak habis pikir. "Kalau boleh tahu siapa ya yang bilang kayak gitu?" tanyanya kemudian. "Enggak tahu
Kayla yang melihat ada gambar Shanum disana langsung mencolek Ghea yang hampir akan terlelap tidur. "Mbak, itu bukannya tante Shanum ya?" tanyanya membuat Ghea kembali melek dan cukup kaget saat benar-benar melihat rekaman CCTV yang memperlihatkan kejadian saat Rino terjatuh dan tertimpa beras. Cukup miris saat melihat kejadian itu, membuat Ghea mengelus perutnya tidak ingin hal itu terjadi pada jabang bayinya kelak. "Itu beneran tante Shanum? Ya Allah kasihan banget anaknya. Tapi kok judul beritanya... Emang tante Shanum kalo jualan suka pake penglaris ya?" tanya Ghea. Kayla mengerdikkan pundaknya. "Gak nyangka, tante Shanum pake cara kayak gitu. Mungkin dia lagi kesusahan selama ini. Aku kok jadi kasihan sama tante Shanum. Aku harus kasih tahu om Jaka nanti." batin Ghea."Itu artinya mbak beruntung dinikahin sama om Jaka." "Kenapa? Kok gitu?" "Ya karena masih punya suami aja tante Shanum pake cara kayak gituan. Kan itu gak baik mbak. Berarti emang enggak salah om Jaka ceraikan ta