"Kalo saya laporin ke polisi aja gimana bu? Biar nanti polisi yang nanganin." tanya tetangganya. "Yaudah pak, laporin aja. Kalo perlu setelah ini saya minta alamat istrinya yang ada di Jakarta ya pak, barangkali dia pulang ke Jakarta." ucap Shanum. "Untuk alamatnya mohon maaf bu saya enggak tahu, saya juga enggak terlalu dekat sama pak Eko. Selama ini saya tahunya dia kerja serabutan dan suka ketemu di warung kopi. Jarang saya nanyain hal sampai sedetil itu." ucap tetangganya merasa sangat bersalah. Shanum merasa sangat sedih, tanpa sadar air matanya berguliran, ia terisak, ia bingung karena teringat dengan biaya gaji yang harus ia bayar sebentar lagi. Dikarenakan sebentar lagi akhir bulan. Kemana ia harus mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayar mereka? Hingga ketika Shanum pulang dijemput oleh Rian pun, Shanum terlihat sembab matanya, seakan habis menangis lama, Rian mengetahui jelas dirinya yang raut wajahnya seperti itu, segera bertanya. "Are you ok?" tanya Rian. Shanum te
Beberapa bulan menjelang hari pernikahan, Shanum masih berada di pasar, mengecek persediaan beras untuk kedepannya. Sekalipun dirinya akan menikah, ia memutuskan untuk membuka terus toko berasnya. Dan menyerahkan tokonya pada dua pekerjanya seperti biasa. Lagipula itu hanya pernikahan kecil yang tak terlalu menghebohkan. Ia sengaja merencanakan hal seperti itu, karena tidak terlalu suka keramaian. Apalagi kalau sampai seantero orang tahu kalau ia menikah dengan Rian. Yang diundang juga hanya beberapa saja. Shanum menelepon Gavin, tapi tidak kunjung diangkat. Entahlah apakah dia sesibuk itu? Oh iya... Dia kan sudah bekerja sekarang. Beberapa waktu lalu Gavin bilang sudah pindah dari rumah ayahnya, ia merasa tidak enak saja kalau terus-terusan tinggal bersama ayahnya yang sudah menikah lagi. Melihat mereka mengumbar kemesraan tiap hari yang membuat dirinya muak. Kasihan Gavin, dia sampai merasa seperti itu. Shanum benar-benar merasa bersalah. Mendadak muncul sebuah telepon dari Jiha
Esok paginya, nenek Aisyah mengunjungi rumah Rian yang baru. "Alhamdulillah udah nyampe." ucapnya seraya menghela nafas karena lelah, sehabis jalan menanjak barusan. Shanum membuka pintu dan terkwjut saat melihat nenek Aisyah sudah muncul didepan pintunya. "Loh nenek? Kok ada disini?" tanyanya cemas. "Ayo masuk nek." ucapnya menuntun nenek Aisyah saat itu juga. Mereka duduk di sofa. "Aku buatin minum ya." "Jangan manis." pesan sang nenek. Meski setelahnya ia menghela nafas berkali-kali karena kecapekan. "Heuh, rumah kamu kok diatas gini Num, capek nenek naik kesininya." ucapnya. Shanum sambil mengucek teh buatannya segera membalas perkataannya dari dapur. "Iya mas Rian yang beli nek, aku enggak tahu dapetnya yang disini. Num enggak tahu nenek bakal kesini, kalau mau kesini harusnya mungkin bilang dulu. Kasihan banget nenek jalan kesini enggak dianter." "Udah biasa Num, habisnya nenek mau liat rumah baru kalian. Katanya kan deket, nenek jadi kesini. Eh ternyata capek nanjaknya." S
"Iya selamat ya." ucap sang dokter, cukup membuat kedua temannya kembali tercengang bukannya malah senang termasuk juga Gavin. Lain hal dengan Ghea yang sangat senang atas hal ini. Sang dokter pun pergi. Sisil berkata pada Gavin dan Hera. "Berarti nanti kita dipanggil tante dong sama anaknya? Huwaa... Gue menolak umur!" ucapnya. "Huwaaa kita udah tuwiirrr." Gavin terus memandang Ghea. Hal yang cukup mengejutkan. Ternyata Ghea akan menjadi ibu, dirinya merasa saja kalau nantinya, perlahan tapi pasti. Ia akan benar-benar ditinggalkan oleh mereka. Hanya tinggal menunggu kabar dari ibunya yang akan menyusul Ghea. Jadi ini yang dinamakan dewasa ya.... Gavin kini dipindah kerjakan ke gedung belakang meski masih didalam lingkup satu perusahaan milik ayahnya Diana. Tahu saja, apapun yang dikatakan oleh ayah Diana kepadanya pasti akan sangat berdampak padanya di kemudian hari, dan ini adalah bukti kesekiannya yang memang benar-benar terjadi. Namun tiba-tiba saja Gavin merasa
"Kasihan aja Gavin, jadi enggak punya tempat bernaung. Dia malah ngontrak sekarang. Kalo enggak dia tinggal dirumah kita aja ya. Suruh pindah kampusnya kesini?" tanya Shanum. "Emang dia mau?" tanya Rian. "Enggak tahu sih. Coba nanti aku tanyain. Tapi kamu setuju kan kalo kita tinggal sama Gavin?" tanya Shanum. "Iya. Setuju." "Yaudah nanti aku ngomong." Tak lama kemudian, Gavin melihat hapenya dan ia lihat berderet chat serta misscall dari ibunya. Gavin berniat menelepon balik namun tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari Diana. Ia langsung menerima teleponnya. "Apa?" "Vin, pokoknya lo enggak boleh ngikutin kemauan bokap gue. Lo harus ngasih tahu kalau kita enggak ada hubungan apapun. Lo juga harus yakinin kalo elo enggak ada perasaan apapun sama gue." ucap Diana. "Udahlah Di. Terima aja keadaan kalo gue dipindahin kerja. Lagian bokap lo bener, kalo lama kelamaan kita di satu ruangan yang sama, pasti ujung-ujungnya cinlok. Mending pake cara bapak lo ini." "Ih enggak-enggak. Kok
"Ayolah peka dikit, emangnya karena masalah apalagi mereka berantem?" tanya Nara semakin menyudutkan diri Ghea saat itu, ditambah tatapan kedua temannya yang sama mencecarnya."Gavin, Van... Udah kek jangan aneh-aneh. Aku lagi males ngedenger keributan apapun." ucap Ghea yang masih merasa tidak enak badannya, wajahnya tampak pucat. "Heh, lo ngomong seakan-akan lo orang yang berhak ngelarang-larang kita." ucap Ivan. "Ya emang harusnya aku ngebiarin kalian berantem gitu aja?"Ivan tersenyum, kemudian berkata. "Lo tahu gak sih Ge... Gavin sebenarnya enggak suka lo hamil." "Gak usah nyari perkara!" kesal Gavin. "Sejak kapan sih mulut lo jadi ember begini?" "Loh, emang bener.... Lo ngomong kayak gitu barusan. Lo merasa terbebani dengan anak yang akan lahir itu." "Bener-bener deh, lemes banget sih lo!" tandas Gavin. "Udah cukup!" kesal Ghea. Ia lanjut berkata. "Vin, kalau kamu merasa kesal sama aku bilang, disisi mana yang buat kamu kesal, tapi satu hal yang aku pinta, tolong dengan s
Gavin terus menelepon Shanum tapi tak kunjung diangkat. Ia kini sedang berada dikamarnya dan pandangi ponselnya, tidak ada notifikasi sama sekali dari siapapun. Ia merasa cukup lega tidak ada chat dari Diana lagi, mungkin dirinya sudah lelah menggerecokinya, namun baru beberapa saat ia mengira seperti itu, notifikasi chat dari Diana muncul. Gavin menghela nafas. Dan isi chatnya antara lain. "Vin, lo ribut kenapa sih tadi? Cerita dong." itu isi chat Diana membuat Gavin berbalik menghiraukannya. Namun semakin dihiraukan malah justru muncul rentetan chat kembali. "Gavin jelek kayak bebek. Kenapa lo gak bales chat gueeeee! CEPET BALES! GAVIN! GAVIN! GAVIN! JELEK! KAYAK BEBEK!" Lama kelamaan semakin membuat Gavin tertawa geli jadinya. "Aneh banget sih ni cewek dasar cewek berisik. Sendirinya bawel kayak bebek.""GAVIN!! BURU BALES! NANTI GUE KETIDURAN!" Ia menertawai setiap chat itu muncul. "Gavin jelek buru lah!" isi chatnya lagi."Kayak cakep aja sih dia. Gue mau liat sampe mana sih
Rian pun menepati perkataannya, ia mencari tahu apa faktor penyebabnya. Di hari libur, Rian mencoba untuk pergi ke pasar. Dirinya menemukan satu hal yang sangat mencurigaka, ia lihat toko beras di depan jalan raya sangat ramai pembeli dari yang biasanya sangat sepi. Bagaimana bisa beras yang harganya jauh lebih mahal dari toko Shanum malah justru banyak yang beli? Tentu ini menjadi pertanyaan didalam kepalanya. Ia langsung hampiri orang yang baru saja membeli beras di toko itu. "Mbak maaf, barusan beli beras di toko itu ya? Saya mau tanya, apa alasan mbak beli beras disini? Sedangkan setahu saya beras didalam pasar jauh lebih murah harganya." "Oh saya ikut-ikutan orang aja sih mas." "Ikut-ikutan? Maksudnya gimana?" tanya Rian "Katanya sih yang didalam pasar, tokonya pakai penglaris, makanya saya enggak berani beli disitu." ucapnya, membuat Rian spontan tersontak. "Penglaris?!" Rian tak habis pikir. "Kalau boleh tahu siapa ya yang bilang kayak gitu?" tanyanya kemudian. "Enggak tahu
Tapi tentunya ia tidak bisa terus mendiamkan dirinya begitu saja, ia mesti menjawabnya."Iya, ibu gue hamil." ucap Gavin. Ghea terlihat sedih saat itu. Ia kemudian berkata. "O-oh selamat ya." "Iya, makasih." ucap Gavin masih melihat bagaimana raut wajah itu terpancar. Ghea sepertinya sedang membandingkan dengan kejadiannya kemarin saat keguguran. Ia sekaligus merasa terpukul dibalik rasa senangnya itu, dan Gavin tahu itu. Ia jadi merasa tidak enak. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, jujur Gavin tidak mau mengutarakan hal ini tapi sayangnya ia tidak bisa melewatkan perkataan Ghea begitu saja. Shanum kini sedang berdiam diri dirumahnya dan sibuk menonton televisi, belakangan setelah menerima kabar dari dokter tentang kehamilannya, ia jadi lebih sering berada didalam rumah. Tidak lagi ke pasar, dan lebih menyerahkan masalah kerjaan kepada dua karyawannya. Rian juga menjelaskan kalau dirinya tidak mengijinkan Shanum pergi kemanapun selagi dirinya sedang hamil muda, karena khawatir y
"Iya ngerti, tapi aku juga ngerti kalau mama kamu melakukan ini semua untuk kamu sendiri." ucap Shanum, membuat Rian sedikit menimbang perkataaannya. Rian diam saja saat itu. Rina entah kenapa jadi berterima kasih atas hal itu. Ia merasa sedikit tertolong atas pembelaan Shanum. Ia jadi merasa tidak enak dan berbalik respek dengannya. Setelahnya Shanum pun diajak pulang bersama Rian kembali. Namun Rina menahan Shanum mengikuti Rian ke dalam mobil, ia berbicara empat mata terlebih dulu dengannya. Memegang tangannya. "Makasih banget atas pembelaan kamu tadi, mama benar-benar menyesal sekarang udah ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Mama benar-benar meminta maaf ya Num, mama khilaf, mama janji enggak bakalan ngelakuin hal kayak gitu lagi, mama janji akan bersikap baik ke kamu setelah ini. Maafin kesalahan mama yang kemarin ya Num." ucap Rina penuh harap. Shanum tersenyum dan mengangguk. "Iya mah, enggak apa-apa." ucap Shanum. "Kamu memang baik Num, mama ngerasa bersalah banget sama kamu
Shanum seusai dari masjid kembali lagi ke tokonya, dirinya merasa cukup aman disana bersama dengan Reza, lelaki itu tampak gagah berdiri disampingnya bahkan selama berada diperlindungannya ia merasa cukup lega, sekalipun Shanum merasa penasaran siapa sebenarnya orang yang menulis memakai lipstik merah tadi, apakah mungkin dia adalah pria yang selama ini mengincarnya? Shanum merasa sangat ketakutan, ia akhirnya sampai ke tokonya kembali. Namun mendadak ia mendengar ponselnya berbunyi. Ternyata dari Rian. "Saya udah telepon polisi barusan, sekarang lagi dilacak nomornya antara 2 kali 24 jam, nanti bakal dikasih tahu lagi hasilnya." ucap Rian. "Oh yaudah mas semoga aja bisa langsung ada hasilnya. Supaya kita enggak repot lagi nyari. Barusan juga ada yang neror aku lagi mas." ucap Shanum seraya membeberkan penjelasan tentang teror yang terjadi tadi, tak pelak semakin membuat Rian cemas. "Kamu yang sabar ya disana, palingan cuma sampai dua hari aja, nanti bakalan ketahuan hasilnya." ucap
"Orangnya kabur mas?" Shanum mendekati Rian. Tentu Rian mengangguk. "Aku khawatir aja dia bakalan ngelakuin hal lebh dari ini." "Intinya mah yang penting hapenya itu, kita mesti dapetin informasi tentang dirinya secepat mungkin. Keburu dia kabur dari kejaran kita." "Iya, kamu udah telepon lagi tukang sentra hape itu?" "Bentar, saya telepon dulu. Mudah-mudahan aja sudah kelar." ucap Rian penuh harap, dirinya langsung menelepon sentranya dan lantas terhubung. "Hapenya sudah selesai pak, anda bisa kesini ya mengambilnya." ucap tukang hape itu, membuat Rian merasa sangat bersyukur atas hal itu. Ia benar-benar lega begitupun dengan Shanum.Ia pun memutuskan pergi dari sana. "Aku pergi ya. Kamu jaga diri disini." ucap Rian, Shanum meniyakannya seraya berkata. "Hati-hati ya." Shanum mendapatkan telepon dari Gavin, Shanum menerimanya. "Bu, katanya kemarin ibu diteror ya? Sekarang masih ada teror gak?" "Udah kamu enggak perlu khawatirin ibu, kamu jaga diri kamu aja ya disana. Banyakin bel
"Belum, tunggu besok ya. Katanya perlu diperiksa dulu dalamnya, entahlah apa yang harus diperiksa. Mudah-mudahan aja bisa selesai secepatnya. Supaya kita bisa tahu siapa pelakunya." ucap Rian."Iya mas." Esok siangnya Diana sudah berada di tempat kerjanya, ia tak sengaja berpapasan dengan Gavin yang sedang membawa beberapa berkas dan buku yang cukup banyak. Diana segera dekati Gavin dan ambil salah satu bukunya. "Kalo bebannya terlalu berat, lo bisa kasih salah satu beban itu ke teman lo." ucap Diana seakan menyindir Gavin yang saat iut memang sedang kepayahan membawanya. "Sayangnya gue terbiasa melakukan apa-apa sendiri." ucap Gavin. "Hilih terlalu mandiri lo. Hati-hati, nanti kebiasaan sampe tua. Apa-apa sendiri." ucap Diana. "Selama enggak merepotkan orang gak masalah kan?"Mereka sambil jalan saat itu membawa buku dan berkas itu, jalan berdampingan. Gavin tiba-tiba nyeletuk. "Gimana nyokap lo? Jadi cerai?" tanya Gavin menyinggung."Kayaknya masih dalam proses." "Kasian banget
Gavin semakin jengkel dengan sosok Ivan, dia memang benar-benar mesti diberi pelajaran, meski sayangnya ia langsung menahan itu semua karena dirinya tidak benar-benar ingin membuat keributan disana. Riko cukup sebal disana, dirinya segera berkata pada Nara. "Nar, lo tuh nyari ribut mulu bikin gue empet dengernya. Males banget sumpah ngedenger celotehan lo yang gak berguna itu. Cewek-cewek kok nyari ribut, sekalipun lo banyak harta dan ada Ivan di samping lo juga, enggak semestinya lo bersikap kayak gitu ke orang, emang lo sendiri enggak diajarin adab yang baik apa sama orang tua lo?" ucap Riko. "Halah pake segala ajarin gue adab lagi, orang tua gue aja gak pernah ngomongin gituan, adab segala." ucap Nara meremehkan. "Kalian sendiri emang adabnya udah baik hah?" tanya Ivan heran. "Udahlah jangan pada ribut." ucap Gavin yang kemudian angkat bicara. "Ayo dong Vin panggil ibu sama Ghea. Ayo kita tunggu kok. Ibuuuu aku mencintaimu." ucap Nara membuat beberapa dari mereka termasuk Gavi
"Tapi om Rian gimana bu? Udah tahu soal ini?" tanya Gavin cemas. "Iya udah tahu, makanya mau menyewa pengawal buat ibu." ucap Shanum. "Oh gitu, kayak waktu itu ya bu. Yaudah kalo itu yang terbaik. Mudah-mudahan aja setelah itu udah enggak ada lagi yang neror ibu." ucap Gavin. "Iya ibu juga pesen ya sama kamu supaya kamu hati-hati disana, khawatirnya yang neror ibu juga berkemungkinan neror kamu juga.""Enggak kok bu, Gavin aman disini.""Hati-hati aja ya nak." "Iya." Esok paginya Shanum sudah berada di pasarnya, ia bersama seorang pengawal yang berjaga didepan kiosnya. Ia merasa lebih lega sekarang, ia juga lebih leluasa untuk pergi kemanapun, bahkan saat ini ia memutuskan untuk pergi membeli sayuran, ia berkeinginan untuk memasak buat nanti sore, khawatirnya Rian bosan beli diluar terus. Masih didalam pasar, ia membelikannya. Ketika sedang berbelanja, tentu sang penjual sayur yang sudah kenal lama dengan Shanum lantas berbisik padanya. "Itu siapa? Suami baru yang ketiga ya?" ta
"Gak ada." "Perawakanny kayak gimana coba?" tanya Rian."Pakaian serba hitam, dia setinggi kamu mas. Dan kayaknya dia juga seumuran kamu." ucap Shanum. "Hmm siapa ya. Kamu apa mau saya laporkan polisi tentang kasus ini?" tanya Rian."Enggak mas, gak usah." "Yakin gak mau? Ini masalahnya udah menakutkan loh kayak gini, mengancam nyawa." "Iya mas." "Saya laporkan aja ya." ucap Rian. "Yaudah." "Apa perlu saya nyewa bodyguard untuk melindungi kamu?" tanya Rian. "Emang gak ngerepotin kamu mas?" tanya Shanum. "Enggak kok, usahakan dalam waktu ke depan ini kamu jangan keluar rumah dulu ya, khawatirnya orang itu muncul lagi. Atau sampai para bodyguard itu ada." ucap Rian."Iya mas, makasih ya."Beberapa jam sebelumnya.Ghea keheranan melihat Jaka tampak marah seperti itu. Bahkan sampai menaruh hape yang dipegangnya kasar. "Barusan mbak Shanum?" tanyanya. "Ini gara-gara kamu yang terlalu lama berurusan dengan mereka!"Ghea makin mengernyit heran. Kok jadi?"Kalau kamu enggak berur
Shanum kini sedang sendirian di kamarnya mengecek di komputer barang masuk dan keluar. Ibunya sedang pergi ke sawah sekarang. Sepertinya mulai dari siang ini sampai maghrib nanti dirinya akan terus sendirian, namun tiba-tiba saja muncul ketukan pintu. Shanum heran, apakah mungkin itu ibunya? Tahu saja barusan Shanum mengunci seluruh pintunya khawatir ada penyusup masuk, ia masih berpikir kalau yang mengetuk pntu saat ini adalah ibunya, ia lantas membuka kunci pintunya dan buka. Namun tiba-tiba saja tidak ada siapapun disana. Shanum mulai cemas. Kenapa bisa tidak ada orang padahal terdengar sangat nyaring suara orang yang mengetuk. Shanum lihat sekeliling namun tidak dirinya temukan siapapun disana, sepi sekali malahan, Shanum mulai curiga, apakah hanya orang iseng? Atau jangan-jangan.... Orang yang memberikan ancaman teror di whatsapp? Shanum ketakutan, ia sesegera mungkin langsung menutup pintunya dan kunci. Namun tiba-tiba saja muncul suara gebukan pintu yang sangat kencang hingga