Ghea menerima saja perkataannya sekalipun sedikit pemikirannya masih berkelana. Ia tidak sepenuhnya yakin. Jaka mendekati Ghea dan buat dirinya duduk dikasur, tepat disebelahnya. "Saya enggak bohong Ge, kamu adalah satu-satunya wanita yang om suka. Bukan Shanum. Kamu enggak perlu merasa cemburu ya... Saya milik kamu seutuhnya sekarang." ucap Jaka membuat Ghea kini melihatnya berkaca-kaca. "Kalau gitu.... Aku mau om terus ngeliat aku bukan tante Shanum. Mulai dari penglihatan hingga perkataan." "Iya... Om janji bakalan melakukan hal itu." ucap Jaka seraya mengelus lembut pipi ayu Ghea saat itu.Esok siangnya Shanum sudah kembali lagi ke rumahnya. Ia kini berada di pasar, melakukan tugasnya seperti biasa. Mengecek beras, menghitung pemasukan hingga pengeluaran. Dirinya juga sudah memanggil tukang untuk menambal atap yang bocor. Mungkin sebentar lagi akan datang orangnya. Shanum sejenak melamunkan saat-saat dirinya bersama Rian kemarin. Sesekali ia tersenyum. Ia merasa cukup senang, k
"Kalo saya laporin ke polisi aja gimana bu? Biar nanti polisi yang nanganin." tanya tetangganya. "Yaudah pak, laporin aja. Kalo perlu setelah ini saya minta alamat istrinya yang ada di Jakarta ya pak, barangkali dia pulang ke Jakarta." ucap Shanum. "Untuk alamatnya mohon maaf bu saya enggak tahu, saya juga enggak terlalu dekat sama pak Eko. Selama ini saya tahunya dia kerja serabutan dan suka ketemu di warung kopi. Jarang saya nanyain hal sampai sedetil itu." ucap tetangganya merasa sangat bersalah. Shanum merasa sangat sedih, tanpa sadar air matanya berguliran, ia terisak, ia bingung karena teringat dengan biaya gaji yang harus ia bayar sebentar lagi. Dikarenakan sebentar lagi akhir bulan. Kemana ia harus mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayar mereka? Hingga ketika Shanum pulang dijemput oleh Rian pun, Shanum terlihat sembab matanya, seakan habis menangis lama, Rian mengetahui jelas dirinya yang raut wajahnya seperti itu, segera bertanya. "Are you ok?" tanya Rian. Shanum te
Beberapa bulan menjelang hari pernikahan, Shanum masih berada di pasar, mengecek persediaan beras untuk kedepannya. Sekalipun dirinya akan menikah, ia memutuskan untuk membuka terus toko berasnya. Dan menyerahkan tokonya pada dua pekerjanya seperti biasa. Lagipula itu hanya pernikahan kecil yang tak terlalu menghebohkan. Ia sengaja merencanakan hal seperti itu, karena tidak terlalu suka keramaian. Apalagi kalau sampai seantero orang tahu kalau ia menikah dengan Rian. Yang diundang juga hanya beberapa saja. Shanum menelepon Gavin, tapi tidak kunjung diangkat. Entahlah apakah dia sesibuk itu? Oh iya... Dia kan sudah bekerja sekarang. Beberapa waktu lalu Gavin bilang sudah pindah dari rumah ayahnya, ia merasa tidak enak saja kalau terus-terusan tinggal bersama ayahnya yang sudah menikah lagi. Melihat mereka mengumbar kemesraan tiap hari yang membuat dirinya muak. Kasihan Gavin, dia sampai merasa seperti itu. Shanum benar-benar merasa bersalah. Mendadak muncul sebuah telepon dari Jiha
Esok paginya, nenek Aisyah mengunjungi rumah Rian yang baru. "Alhamdulillah udah nyampe." ucapnya seraya menghela nafas karena lelah, sehabis jalan menanjak barusan. Shanum membuka pintu dan terkwjut saat melihat nenek Aisyah sudah muncul didepan pintunya. "Loh nenek? Kok ada disini?" tanyanya cemas. "Ayo masuk nek." ucapnya menuntun nenek Aisyah saat itu juga. Mereka duduk di sofa. "Aku buatin minum ya." "Jangan manis." pesan sang nenek. Meski setelahnya ia menghela nafas berkali-kali karena kecapekan. "Heuh, rumah kamu kok diatas gini Num, capek nenek naik kesininya." ucapnya. Shanum sambil mengucek teh buatannya segera membalas perkataannya dari dapur. "Iya mas Rian yang beli nek, aku enggak tahu dapetnya yang disini. Num enggak tahu nenek bakal kesini, kalau mau kesini harusnya mungkin bilang dulu. Kasihan banget nenek jalan kesini enggak dianter." "Udah biasa Num, habisnya nenek mau liat rumah baru kalian. Katanya kan deket, nenek jadi kesini. Eh ternyata capek nanjaknya." S
"Iya selamat ya." ucap sang dokter, cukup membuat kedua temannya kembali tercengang bukannya malah senang termasuk juga Gavin. Lain hal dengan Ghea yang sangat senang atas hal ini. Sang dokter pun pergi. Sisil berkata pada Gavin dan Hera. "Berarti nanti kita dipanggil tante dong sama anaknya? Huwaa... Gue menolak umur!" ucapnya. "Huwaaa kita udah tuwiirrr." Gavin terus memandang Ghea. Hal yang cukup mengejutkan. Ternyata Ghea akan menjadi ibu, dirinya merasa saja kalau nantinya, perlahan tapi pasti. Ia akan benar-benar ditinggalkan oleh mereka. Hanya tinggal menunggu kabar dari ibunya yang akan menyusul Ghea. Jadi ini yang dinamakan dewasa ya.... Gavin kini dipindah kerjakan ke gedung belakang meski masih didalam lingkup satu perusahaan milik ayahnya Diana. Tahu saja, apapun yang dikatakan oleh ayah Diana kepadanya pasti akan sangat berdampak padanya di kemudian hari, dan ini adalah bukti kesekiannya yang memang benar-benar terjadi. Namun tiba-tiba saja Gavin merasa
"Kasihan aja Gavin, jadi enggak punya tempat bernaung. Dia malah ngontrak sekarang. Kalo enggak dia tinggal dirumah kita aja ya. Suruh pindah kampusnya kesini?" tanya Shanum. "Emang dia mau?" tanya Rian. "Enggak tahu sih. Coba nanti aku tanyain. Tapi kamu setuju kan kalo kita tinggal sama Gavin?" tanya Shanum. "Iya. Setuju." "Yaudah nanti aku ngomong." Tak lama kemudian, Gavin melihat hapenya dan ia lihat berderet chat serta misscall dari ibunya. Gavin berniat menelepon balik namun tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari Diana. Ia langsung menerima teleponnya. "Apa?" "Vin, pokoknya lo enggak boleh ngikutin kemauan bokap gue. Lo harus ngasih tahu kalau kita enggak ada hubungan apapun. Lo juga harus yakinin kalo elo enggak ada perasaan apapun sama gue." ucap Diana. "Udahlah Di. Terima aja keadaan kalo gue dipindahin kerja. Lagian bokap lo bener, kalo lama kelamaan kita di satu ruangan yang sama, pasti ujung-ujungnya cinlok. Mending pake cara bapak lo ini." "Ih enggak-enggak. Kok
"Ayolah peka dikit, emangnya karena masalah apalagi mereka berantem?" tanya Nara semakin menyudutkan diri Ghea saat itu, ditambah tatapan kedua temannya yang sama mencecarnya."Gavin, Van... Udah kek jangan aneh-aneh. Aku lagi males ngedenger keributan apapun." ucap Ghea yang masih merasa tidak enak badannya, wajahnya tampak pucat. "Heh, lo ngomong seakan-akan lo orang yang berhak ngelarang-larang kita." ucap Ivan. "Ya emang harusnya aku ngebiarin kalian berantem gitu aja?"Ivan tersenyum, kemudian berkata. "Lo tahu gak sih Ge... Gavin sebenarnya enggak suka lo hamil." "Gak usah nyari perkara!" kesal Gavin. "Sejak kapan sih mulut lo jadi ember begini?" "Loh, emang bener.... Lo ngomong kayak gitu barusan. Lo merasa terbebani dengan anak yang akan lahir itu." "Bener-bener deh, lemes banget sih lo!" tandas Gavin. "Udah cukup!" kesal Ghea. Ia lanjut berkata. "Vin, kalau kamu merasa kesal sama aku bilang, disisi mana yang buat kamu kesal, tapi satu hal yang aku pinta, tolong dengan s
Gavin terus menelepon Shanum tapi tak kunjung diangkat. Ia kini sedang berada dikamarnya dan pandangi ponselnya, tidak ada notifikasi sama sekali dari siapapun. Ia merasa cukup lega tidak ada chat dari Diana lagi, mungkin dirinya sudah lelah menggerecokinya, namun baru beberapa saat ia mengira seperti itu, notifikasi chat dari Diana muncul. Gavin menghela nafas. Dan isi chatnya antara lain. "Vin, lo ribut kenapa sih tadi? Cerita dong." itu isi chat Diana membuat Gavin berbalik menghiraukannya. Namun semakin dihiraukan malah justru muncul rentetan chat kembali. "Gavin jelek kayak bebek. Kenapa lo gak bales chat gueeeee! CEPET BALES! GAVIN! GAVIN! GAVIN! JELEK! KAYAK BEBEK!" Lama kelamaan semakin membuat Gavin tertawa geli jadinya. "Aneh banget sih ni cewek dasar cewek berisik. Sendirinya bawel kayak bebek.""GAVIN!! BURU BALES! NANTI GUE KETIDURAN!" Ia menertawai setiap chat itu muncul. "Gavin jelek buru lah!" isi chatnya lagi."Kayak cakep aja sih dia. Gue mau liat sampe mana sih