Wanita itu tertegun dia terbelalak dan tidak tahu harus menjawab apa. Sepertinya permintaanku terlalu berlebihan, tapi apa yang harus kukatakan agar ia segera sadar. Sebanyak apapun harta di dunia ini, jika itu hendak ditukarkan dengan suami orang lain maka kurasa, semesta pun tidaklah mampu melunasi.Dia gigih berusaha untuk memenangkan hatiku, berusaha membuatku luluh agar mau menerima dia sebagai adik madu. "Kurasa kau terlalu berlebihan Mbak, Jika Aku mati bagaimana aku merasakan cinta dari mas Widi?""Andai suamiku hanya bersandiwara mencintaimu, apakah kau bisa merasakan bedanya cinta asli dan palsu? Apa kau bisa melihat bentuk dari apa yang kau sebut cinta pada suami orang, apakah kau melihat kuantitasnya?""Pertanyaanmu sama sekali tidak masuk akal Mbak?" Wanita itu nampak terheran-heran dan terperangah dengan semua ucapanku."Sama seperti sikapmu yang tidak masuk akal, kau berjuang sekuat tenaga dan sampai memberikanku mobil edisi terbatas hanya demi bercinta dengan suamiku
Selagi wanita itu masih menangis, aku beranjak masuk ke dalam. Kuambil ponselku lalu ku hubungi suamiku dan memberitahunya kalau wanita itu datang ke rumah kami, dia datang untuk memberiku hadiah agar aku menukar suamiku dengannya.Kuceritakan semua detail sejak ia membawakan mobil itu, termasuk perkataan dan permohonannya, serta bagaimana ia menangis dengan pilu."Aku sedang sibuk bekerja jadi aku tidak bisa kembali ke rumah, ada begitu banyak pasien yang menunggu di poli umum jadi aku harus memberi mereka perawatan.""Baik, aku paham.""Minta wanita itu pulang, sebelum ia brutal.""Baiklah."Aku ke dapur beranjak mengambilkan segelas air, saat kembali dari sana dan membalikkan badanku aku terkejut karena wanita itu sudah berdiri di belakangku dengan tatapan yang... Entahlah, mengerikan, kosong dan seperti kemasukan setan."Ambillah air ini, minumlah dan tenangkan dirimu."Wanita itu mengabaikan dia malah berdiri dan memutar posisinya untuk melihat foto kami sekeluarga yang terpajang
Dari sekian kali kutanyakan dan berhari-hari berlalu dia selalu mengelak jika kutanyakan tentang topik pernikahan.Sekarang di hadapanku dia mengakui kalau dia telah menikah, dengan suara yang lirih dan alasan yang terdengar dibuat-buat, dia bilang kalau dia menikah demi menolong wanita itu memperbaiki keadaan mentalnya. Aku terkejut sementara dia menunggu reaksiku yang berikutnya, mungkin dia sudah memasang badan untuk kupukuli atau juga memasang pendengarannya untuk setiap teriakan dan histerisnya diriku.Aku ingin menangis, aku ingin berteriak dan memukul dadanya serta melampiaskan isi hatiku dengan mencabik-cabik dirinya, menjambak rambutnya, menginjak injak tubuhnya di lantai karena kenyataan ini sungguh tidak bisa kuterima. Tapi, untuk apa semua itu, untuk apa aku membuang tenaga dengan menangis dan mengamuk lalu berujung lemas, aku sendiri yang lelah! Meski kekecewaan yang sudah ada di hatiku semakin menjadi-jadi, tapi aku memilih bereaksi dengan datar. Tidak bicara, membis
Malam berjalan, seakan-akan waktu merangkak dengan lambat, detik demi detik yang berdetak seolah berjalan di tempat, dingin penyejuk ruangan terasa menusuk tulangku tapi itu tidak bisa meredakan apa yang bergejolak di hati ini Mas Widi sudah tidur bersama anak-anaknya sementara aku duduk di sofa sambil merenungi setiap rentetan kejadian yang berulang dalam hidupku. Belumlah diri ini benar-benar sembuh dari sakit yang terjadi karena terlalu stres, baru sehari aku pulang dari rumah sakit dan aku sudah menerima musibah yang lebih besar dari sebelumnya. Ah, sesak hati ini. Aku duduk di sofa sampai suara lantunan Alquran menjelang adzan subuh berkumandang. Suara Alquran yang merdu mendayu membuat hati ini tidak kuasa menahan kesedihan, air mata ini meluncur begitu saja. Entah kenapa rasa kantuk dan lelah tidak menghinggapiku, aku hanya terus berpikir langkah apa yang akan kuambil di esok hari. Aku tidak bisa terus duduk begini dan menyaksikan kehancuran hidupku perlahan-lahan.Aku t
Selepas mengantarkan anak-anak ke sekolah aku pergi ke rumah orang tuaku untuk bicara perihal masalah yang terjadi kemarin.Kutemui ayah dan ibuku dengan hati berdebar, melihat gesturku yang sedikit murung dan tidak bersemangat sepertinya Ayah dan Bunda langsung tahu kalau aku tengah bermasalah di rumahku. "Ayo duduk, makan dulu, Ibu tahu Kau pasti belum sarapan, kau sibuk mengurus keluarga dan anak-anakmu sampai kau terlihat pucat seperti itu.""Iya," jawabku lemah, aku mengikutinya ke meja makan tapi aku sama sekali tidak berselera untuk menyendokkan nasi ke dalam piringku."Bunda, ayah, bolehkah saya bicara?""Kenapa?" Saya jadi terlihat tegang dan segera meletakkan sendoknya ke atas meja makan begitu aku mengatakan hal ingin bicara."Apa terjadi sesuatu padamu dan Widi?""Iya," jawabku mengangguk."Kalian bertengkar?""Bukan karena hal sepele.""Apa yang terjadi?" Tanya Bunda dengan wajah prihatin. Wanita itu segera berdiri dan mendekatiku. Dia memperhatikan wajah ini dengan sek
Ketika ibu mertua sadar wanita itu menatap sekelilingnya menatap orang-orang yang ada di dekatnya dan khawatir padanya. Seketika saja wanita itu menangis dengan menutup wajahnya menangis dengan suara yang keras dan memilukan."Ibu maafkan aku," ucap Mas Widi yang berusaha membujuk ibunya tapi wanita itu hanya bisa membenamkan wajahnya di antara kedua tangan."Apa yang harus Ibu katakan sekarang, ibu benar-benar malu....""Ibu, Widi sedih kalau ibu nangis.""Ibu lebih sedih lagi dengan perbuatanmu menyakiti anak orang. Apa kau lupa kalau kedua orang tuanya menitipkan dia padamu untuk kau jaga seumur hidupmu? Kenapa kau lakukan ini. Kurangkah cara ibu mendidikmu selama ini?!" "Tidak demi Allah ...""Lantas kenapa Widi?!"Kedua orang tuaku terhenyak dengan tangisan ibu mertua. Mereka pun nampak bingung tapi sama sekali tidak menghakimi suamiku. Tidak ada komentar buruk atau tatapan sinis, tidak ada kebencian yang jelas terlihat di sana. Kedua orang tuaku memang pasangan bijaksana yang h
"Ayo Bu, kita pulang saja," ujarku pada kedua orang tuaku, merasa bahwa kehadiran kami akan membuat istri baru memasuki di merasa canggung aku pun memutuskan untuk mengajak kedua orang tuaku pulang."Tapi Mbak, bukannya Mas Widi mengundang saya kemarin untuk bertemu dengan kalian semua kenapa kalian mau pulang? aku bahkan tidak berkenalan dengan anak-anak," ucap Dinda.Aku nyari saja marah dan melotot padanya karena permintaan yang berlebihan itu membuatku benar-benar berada di titik didih kemarahanku. Beraninya dia ingin memperkenalkan dirinya kepada anak-anak. Lantas apa yang ia bayangkan tentang respon putra-putriku. Apa dia pikir mereka akan bahagia lalu memeluknya dan memanggilnya ibu? Konyol sekali. "Berkenalannya lain kali saja, aku tidak ingin situasi berubah menjadi mencolok terlebih anak-anak tidak akan menerima kehadiranmu sekarang," ujarku sambil melihat anak-anak yang sibuk menonton kartun di ruang tengah. Dinda tersenyum kecut mendengar perkataanku sementara aku langs
Usai menyemprotnya dengan kata-kata yang tidak menyenangkan, lelaki itu hanya bisa mendesahkan nafas sambil menggelengkan kepala kemudian menjauh dariku.Dia pergi mengganti pakaiannya kemudian mengambil kunci mobil dan berangkat kerja tanpa berpamitan. Ya, perlahan-lahan semuanya memang harus berubah. Berpura-pura tetap jadi istri yang baik sungguh menyiksa perasaanku karena aku harus membohongi diri sendiri.Memang tidak baik memasang sikap permusuhan, tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, aku sedang kesal dan kekecewaan itu tidak mudah diobati hanya dengan permintaan maaf.Aku tahu, kalau aku terus begini Mas Widi benar-benar akan berpaling, tapi aku pun ingin tahu, setelah mendapatkan kenyamanan dengan Dinda, benarkah dia akan meninggalkanku? aku penasaran tentang apa keputusan berikutnya. *Siang hari ku jemput anak-anakku kemudian aku mampir ke rumah orang tuaku untuk makan siang bersama dengan mereka.Meski aku bersikap ceria dan mencoba menyapa merek