Dari sekian kali kutanyakan dan berhari-hari berlalu dia selalu mengelak jika kutanyakan tentang topik pernikahan.Sekarang di hadapanku dia mengakui kalau dia telah menikah, dengan suara yang lirih dan alasan yang terdengar dibuat-buat, dia bilang kalau dia menikah demi menolong wanita itu memperbaiki keadaan mentalnya. Aku terkejut sementara dia menunggu reaksiku yang berikutnya, mungkin dia sudah memasang badan untuk kupukuli atau juga memasang pendengarannya untuk setiap teriakan dan histerisnya diriku.Aku ingin menangis, aku ingin berteriak dan memukul dadanya serta melampiaskan isi hatiku dengan mencabik-cabik dirinya, menjambak rambutnya, menginjak injak tubuhnya di lantai karena kenyataan ini sungguh tidak bisa kuterima. Tapi, untuk apa semua itu, untuk apa aku membuang tenaga dengan menangis dan mengamuk lalu berujung lemas, aku sendiri yang lelah! Meski kekecewaan yang sudah ada di hatiku semakin menjadi-jadi, tapi aku memilih bereaksi dengan datar. Tidak bicara, membis
Malam berjalan, seakan-akan waktu merangkak dengan lambat, detik demi detik yang berdetak seolah berjalan di tempat, dingin penyejuk ruangan terasa menusuk tulangku tapi itu tidak bisa meredakan apa yang bergejolak di hati ini Mas Widi sudah tidur bersama anak-anaknya sementara aku duduk di sofa sambil merenungi setiap rentetan kejadian yang berulang dalam hidupku. Belumlah diri ini benar-benar sembuh dari sakit yang terjadi karena terlalu stres, baru sehari aku pulang dari rumah sakit dan aku sudah menerima musibah yang lebih besar dari sebelumnya. Ah, sesak hati ini. Aku duduk di sofa sampai suara lantunan Alquran menjelang adzan subuh berkumandang. Suara Alquran yang merdu mendayu membuat hati ini tidak kuasa menahan kesedihan, air mata ini meluncur begitu saja. Entah kenapa rasa kantuk dan lelah tidak menghinggapiku, aku hanya terus berpikir langkah apa yang akan kuambil di esok hari. Aku tidak bisa terus duduk begini dan menyaksikan kehancuran hidupku perlahan-lahan.Aku t
Selepas mengantarkan anak-anak ke sekolah aku pergi ke rumah orang tuaku untuk bicara perihal masalah yang terjadi kemarin.Kutemui ayah dan ibuku dengan hati berdebar, melihat gesturku yang sedikit murung dan tidak bersemangat sepertinya Ayah dan Bunda langsung tahu kalau aku tengah bermasalah di rumahku. "Ayo duduk, makan dulu, Ibu tahu Kau pasti belum sarapan, kau sibuk mengurus keluarga dan anak-anakmu sampai kau terlihat pucat seperti itu.""Iya," jawabku lemah, aku mengikutinya ke meja makan tapi aku sama sekali tidak berselera untuk menyendokkan nasi ke dalam piringku."Bunda, ayah, bolehkah saya bicara?""Kenapa?" Saya jadi terlihat tegang dan segera meletakkan sendoknya ke atas meja makan begitu aku mengatakan hal ingin bicara."Apa terjadi sesuatu padamu dan Widi?""Iya," jawabku mengangguk."Kalian bertengkar?""Bukan karena hal sepele.""Apa yang terjadi?" Tanya Bunda dengan wajah prihatin. Wanita itu segera berdiri dan mendekatiku. Dia memperhatikan wajah ini dengan sek
Ketika ibu mertua sadar wanita itu menatap sekelilingnya menatap orang-orang yang ada di dekatnya dan khawatir padanya. Seketika saja wanita itu menangis dengan menutup wajahnya menangis dengan suara yang keras dan memilukan."Ibu maafkan aku," ucap Mas Widi yang berusaha membujuk ibunya tapi wanita itu hanya bisa membenamkan wajahnya di antara kedua tangan."Apa yang harus Ibu katakan sekarang, ibu benar-benar malu....""Ibu, Widi sedih kalau ibu nangis.""Ibu lebih sedih lagi dengan perbuatanmu menyakiti anak orang. Apa kau lupa kalau kedua orang tuanya menitipkan dia padamu untuk kau jaga seumur hidupmu? Kenapa kau lakukan ini. Kurangkah cara ibu mendidikmu selama ini?!" "Tidak demi Allah ...""Lantas kenapa Widi?!"Kedua orang tuaku terhenyak dengan tangisan ibu mertua. Mereka pun nampak bingung tapi sama sekali tidak menghakimi suamiku. Tidak ada komentar buruk atau tatapan sinis, tidak ada kebencian yang jelas terlihat di sana. Kedua orang tuaku memang pasangan bijaksana yang h
"Ayo Bu, kita pulang saja," ujarku pada kedua orang tuaku, merasa bahwa kehadiran kami akan membuat istri baru memasuki di merasa canggung aku pun memutuskan untuk mengajak kedua orang tuaku pulang."Tapi Mbak, bukannya Mas Widi mengundang saya kemarin untuk bertemu dengan kalian semua kenapa kalian mau pulang? aku bahkan tidak berkenalan dengan anak-anak," ucap Dinda.Aku nyari saja marah dan melotot padanya karena permintaan yang berlebihan itu membuatku benar-benar berada di titik didih kemarahanku. Beraninya dia ingin memperkenalkan dirinya kepada anak-anak. Lantas apa yang ia bayangkan tentang respon putra-putriku. Apa dia pikir mereka akan bahagia lalu memeluknya dan memanggilnya ibu? Konyol sekali. "Berkenalannya lain kali saja, aku tidak ingin situasi berubah menjadi mencolok terlebih anak-anak tidak akan menerima kehadiranmu sekarang," ujarku sambil melihat anak-anak yang sibuk menonton kartun di ruang tengah. Dinda tersenyum kecut mendengar perkataanku sementara aku langs
Usai menyemprotnya dengan kata-kata yang tidak menyenangkan, lelaki itu hanya bisa mendesahkan nafas sambil menggelengkan kepala kemudian menjauh dariku.Dia pergi mengganti pakaiannya kemudian mengambil kunci mobil dan berangkat kerja tanpa berpamitan. Ya, perlahan-lahan semuanya memang harus berubah. Berpura-pura tetap jadi istri yang baik sungguh menyiksa perasaanku karena aku harus membohongi diri sendiri.Memang tidak baik memasang sikap permusuhan, tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, aku sedang kesal dan kekecewaan itu tidak mudah diobati hanya dengan permintaan maaf.Aku tahu, kalau aku terus begini Mas Widi benar-benar akan berpaling, tapi aku pun ingin tahu, setelah mendapatkan kenyamanan dengan Dinda, benarkah dia akan meninggalkanku? aku penasaran tentang apa keputusan berikutnya. *Siang hari ku jemput anak-anakku kemudian aku mampir ke rumah orang tuaku untuk makan siang bersama dengan mereka.Meski aku bersikap ceria dan mencoba menyapa merek
Tentu saja aku langsung emosi, aku langsung melempar pakaian itu ke lantai yang ada di dekat kakinya. Barang-barang itu berhamburan ke lantai dan membuat dia terbelalak.Dia yang sedang makan langsung tersentak dan menghentikan suapan tangannya."Ada apa ini?""Apa pertanyaannya tidak terbalik?" Aku yang emosi, aku yang sudah merasa bahwa ubun-ubunku membara langsung berteriak padanya. "Kau ini kenapa? Aku sedang makan, Syifa." Lelaki itu sontak marah. "Makanlah, lanjutkan, dan telan makanan itu dengan nyaman! Sementara pembantumu ini akan melakukan apa yang kau mau," ucapku sambil menatapnya dengan tajam. Hatiku bergejolak seperti gunung api yang siap meletus. Aku sangat murka, aku tidak menerima penghinaan ini. "Aku tak mengerti!" Lelaki itu memasang wajah heran, sikap polosnya yang dibuat-buat membuatku geram dan ingin menghajarnya."Kenapa kau bawa pulang pakaian kotor seakan-akan rumah ini hanya jembatan dan tempat kau berganti pakaian. Bukankah istri barumu juga punya tangan
Tok ... Tok.Pintu kamarku diketuk Mas Widi, tapi aku bergeming begitu saja karena merasa sudah lelah untuk berdebat dan bicara padanya.Sudah 3 bulan bergulir sejak aku tahu dia punya kekasih. Kupikir hanya Rani saja wanita dalam hidupnya tapi ternyata ada yang lebih penting dari itu. Kupikir hanya Rani wanita yang ia sembunyikan, tapi ternyata ada yang lebih privasi dan lebih berharga dibandingkan wanita istri CEO kaya itu. Mungkin lebih baik menikahi pemilik perusahaa daripada menggoda istri seorang pimpinan. Ya, Mas Widi mendapatkan apa yang dia inginkan.Tok tok.Ketukan pintu itu terulang lagi, lelaki itu membujukku agar aku mau membuka pintu dan mendengar penjelasannya."Dengar Syifa, istriku tersayang. Aku tidak bermaksud menyakitimu, tapi semua yang kulakukan terlihat salah di matamu dan seperti sebuah ketidakadilan yang disengaja."Aku tidak menjawabnya aku sibuk dengan pikiranku sendiri. "Aku sengaja tidak makan atau mencuci pakaianku di tempat Dinda ... bukan karena dia