"Oh ya? Apakah kau benar-benar kaya? Kalau aku minta 30 miliar, apa kau punya?" Aku menantangnya sambil berkacak pinggang. "Tentu, tapi aku juga punya syarat." Dia sama sekali tidak terkejut saat aku menantangnya dengan uang sebanyak. Dia tetap tenang dan santai."Apa syaratnya?""Kau jangan bercerai dengan mas Widi," balasnya dengan santai."Apa, kenapa tidak, bukannya itu bagus untukmu?""Kau bermaksud menyusahkanku kan' dengan minta uang sebanyak itu? padahal, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku malah ingin kau jadi kakakku sehingga aku punya teman bicara dan tempat mengadu. Tapi karena kau sudah lontarkan berapa banyak standar harga suamimu, maka, aku akan memenuhinya." Wanita itu tertawa sementara aku makin geram."Lalu, kenapa tidak temukan saja lelaki yang baik untuk dirimu? aku yakin banyak pengusaha serta keluarga baik-baik yang mau menerima kau jadi menantu.""Masalahnya... cintaku hanya untuk Mas widi. Jika kau persulit diriku untuk menikahi suamimu, maka aku pun akan mem
Aku masuk ke dalam kamarku lalu mengunci pintu. Aku berdiri sambil terus mengatur nafasku agar tetap tenang. Aku ingin menangis sejadi-jadinya tapi air mataku seakan sudah kering di pelupuk mata. Bisa-bisanya semua orang terpesona dan mengejar-ngejar suamiku, Apa keistimewaan dan kehebatannya. Kalaupun dia dokter yang membantu orang untuk sembuh, itu memang tugasnya. Kalau dia ramah dan sopan itu adalah bagian dari adab, bukan sebagai bentuk rayuan agar orang-orang jatuh hati dan menyukainya. Tapi kenapa, ibu ibu, nenek nenek, bahkan anak gadis mengejarnya, Apa mereka tidak tahu kalau suamiku punya istri ataukah dokter Widi sendiri mengaku masih lajang.Kulempar diriku ke atas tempat tidur lalu membenamkan kepalaku di bantal, setiap kali marah, satu satunya tempat melindungi diri dan pelarianku hanya kamar ini. Haruskah sekarang aku mengadu kepada orang tuaku agar mereka yang turun tangan? Ataukah Aku bercerita kepada ibu mertua yang sudah mulai lelah dengan segala tingkah anaknya.
Ini Aku terkapar di atas tempat tidur dalam keadaan lemas. Aku yang terbaring di atas dua bantal yang menopang kepalaku bisa menatap pantulan diri ini di balik kaca rias. Wajahku kehilangan rona aku benar-benar pucat dan lemas, tubuh dan wajahku beraroma asam, lututku gemetar, lemas bukan main.Anak-anak yang baru pulang mengaji dari TPQ yang tidak jauh dari rumah datang menyambangiku ke kamar. Melihatku yang terbaring seperti itu mereka jadi khawatir, sementara aku yang menatap mereka dengan baju Koko dan mukena merasa tenteram hati dan perasaanku, perlahan hati ini berharap bahwa sampai nanti mereka tetap konsisten menjadi anak yang sholeh dan ahli ibadah."Ada apa Bunda?""Bunda demam.""Kok bisa.""Kena hujan," jawabku sekenanya."Kok hujan, ini kan musim kemarau?""Ah iya, juga, ini semua karena ...."tiba-tiba aku melihat mas Widi diambang pintu kamar membawakan nampan berisi makanan dan air minum, aku jadi tidak melanjutkan ucapan bahwa aku sakit karena kelakuan ayah mereka. "K
Aku berusaha menarik nafas dalam dan mengatur tenang sistem respirasi, agar udara yang kuhirup ke paru-paru tidak meledak di tenggorokan. Rasa emosi ini membuatku ingin langsung berteriak dan mencekiknya, tapi aku sungguh lemas dan tidak berdaya."Mas, Kakak maduku sakit, tanyakan padanya apa dia butuh sesuatu?" Dia menyentuh lengan Mas Widi sambil menatapnya dengan mesra. Aku malu sendiri menatap adegan itu, tak menyangka bahwa wanita di balik rentetan pesan M-banking adalah dia."Kurasa tidak, sebaiknya kau kembali ke tempat tidurmu, jangan berjalan-jalan dengan cara membawa tanganmu yang sakit seperti ini.""Aku tidak menyeret tubuhku secara paksa, hanya tanganku yang patah dan itu pun kugendong di bahuku. Tidak ada yang lebih membuatku bersemangat dan menghilangkan sakitku, selain kehadiranmu, Mas," ucapnya manja, ia tidak segan merayu suamiku di hadapan istrinya. "Hei kau! Haruskah aku mengusirmu ataukah aku menghajarmu?" Aku membentaknya. "Boleh, aku ingin sekali melih
Usai memindahkan si jalang itu ke ruang perawatannya suamiku kembali. Melihat diriku yang lamat-lamat mulai mengantuk, ia tidak bicara, hanya perlahan mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku."Apa kau sudah menangani kekasihmu?" Dia tersentak saat aku bertanya. Lelaki itu tertawa tapi ia nampak sedih. Dia canggung antara harus berkata jujur ataukah dia harus menjaga perasaanku. "Sepertinya hanya aku istri yang peduli pada kekasih suaminya, dan sepertinya, hanya aku saja istri yang masih terus memaafkan dan menerima suaminya meski ia berkali-kali menyakiti."Mendengar aku mengkritik, dia hanya mendesah dan berusaha menyembunyikan malu."Aku sempat ngeri saat kau bilang ingin menjaga jarak dan sudah tidak akan memperbaiki hubungan kita, aku sangat ketakutan dan benar-benar tidak mau itu terjadi. Aku mohon, kita jangan berpisah.""Semudah itu kau minta agar aku tak menyerah dengan hubungan yang kau rusak sendiri, Mas.""Ampuni aku, hanya itu yang bisa kukatakan.""Jika aku sembuh,
Dengan sengitnya dia bilang Kalau suamiku adalah suaminya, aku dan Mas Widi sampai terkejut. Lebih lebih suamiku, ia hanya bisa terperanjat saat wanita itu mengaku."Benarkah Mas?" tanyaku.Lelaki itu tidak menjawabku tapi dia segera beralih pada wanita yang konon mewarisi pabrik makanan kemasan milik orang tuanya.Suamiku menggeleng wanita itu melotot padanya. Sepertinya dilema sekali ya. Di samping karena dia punya tanggung jawab sebagai seorang dokter sepertinya suamiku tidak akan semudah itu melepaskan wanita kaya yang berpotensi menularkan kekayaannya pada suamiku. Siapapun yang berhubungan dengan Dinda pasti berharap bahwa wanita itu akan jadi tambang emas untuk mereka. Terlebih, gadis ini cantik, kulitnya bak porselen, rambutnya berkilau panjang dan posturnya seperti wanita wanita di ajang beauty pageant."Dinda, kendalikan dirimu""Tidak, jangan coba coba mengelak. Katakan yang sejujurnya pada istrimu. Aku yakin dia muak juga karena aku terus mengusiknya dengan mengejarmu, ka
Keadaan jadi semakin tegang karena ada pertentangan antara pendapat dia dan mas Widi. Kedua sejoli itu saling memandang dengan tatapan amarah masing-masing, aku jadi bingung berada diantara mereka berdua. Sekarang pertarungan Ini bukan tentang diriku dan Dinda saja, tapi tentang dia dan Mas Widi.Sepertinya ada banyak hal yang mereka sembunyikan untuk menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Kesannya, Mas Widi dan Dinda berkomitmen akan sesuatu yang tidak boleh dibuka di depan umum. Kalau memang mereka menikah, kenapa Dinda tidak pernah menghubungi dia lewat telepon, atau berusaha menunjukkan dirinya di hadapan keluarga. Kenapa harus sembunyi-sembunyi kirim pesan lewat m-banking.Katakanlah itu sebuah kesepakatan untuk menjaga kerahasiaan, tapi apa benar seorang wanita yang konon katanya sudah dinikahi mau berkorban hingga disimpan serapat itu? Bukankah itu namanya istri simpanan kan? Apakah cinta yang membuatnya seperti itu? Umumnya, Orang-orang normal bahagia dengan pernikahan mereka da
Bagaimana cara agar aku tahu yang sebenarnya? Semuanya kelabu di mataku, bahkan arah langkah yang akan kuambil makin abu abu. Semuanya kelam dan membingungkan, aku seakan berdiri di ujung tebing yang curam.Dari sembilan tahun pernikahan, dari lamanya aku menghabiskan masa dengannya ternyata aku belum benar benar mengenal suamiku, mengenali sifat, hasrat dan keinginannya. Apa yang sebenarnya tersimpan dalam benaknya, apa rencananya dan bagaimana ia menyikapi semua masalah yang ia buat ini.Bagaimana mungkin seorang dokter yang sibuk mencurahkan pikiran dan waktunya punya waktu untuk ini? Ya Allah, aku yang memikirkannya saja pusing.Setelah dia dan Dinda keluar rumah rawatku, Aku tidak yakin, kalau mereka tidak bertemu dan melanjutkan untuk pembicaraan mereka. Sepertinya ada banyak hal yang tidak akan kuketahui selagi aku terkapar lemas di tempat ini.*Aku mulai bosan sendirian, hendak memejamkan mata tapi aku tidak bisa karena terlalu banyak pikiran di dalam benakku. Tidak ada ya