Bagaimana cara agar aku tahu yang sebenarnya? Semuanya kelabu di mataku, bahkan arah langkah yang akan kuambil makin abu abu. Semuanya kelam dan membingungkan, aku seakan berdiri di ujung tebing yang curam.Dari sembilan tahun pernikahan, dari lamanya aku menghabiskan masa dengannya ternyata aku belum benar benar mengenal suamiku, mengenali sifat, hasrat dan keinginannya. Apa yang sebenarnya tersimpan dalam benaknya, apa rencananya dan bagaimana ia menyikapi semua masalah yang ia buat ini.Bagaimana mungkin seorang dokter yang sibuk mencurahkan pikiran dan waktunya punya waktu untuk ini? Ya Allah, aku yang memikirkannya saja pusing.Setelah dia dan Dinda keluar rumah rawatku, Aku tidak yakin, kalau mereka tidak bertemu dan melanjutkan untuk pembicaraan mereka. Sepertinya ada banyak hal yang tidak akan kuketahui selagi aku terkapar lemas di tempat ini.*Aku mulai bosan sendirian, hendak memejamkan mata tapi aku tidak bisa karena terlalu banyak pikiran di dalam benakku. Tidak ada ya
"dia hanya temanku, ada sedikit kesalahpahaman yang membuat kami berdebat tapi itu tidak perlu dipikirkan karena semuanya akan membaik begitu dijelaskan.""Jika dia memang temanmu Kenapa dia melibatkan putriku dengan cara datang dan melabrak ke sini apa dia tahu kalau Syifa sedang dirawat?""Entahlah Bu, aku sedang sibuk saat wanita itu datang.""Apa yang dia inginkan?" tanya Ibuku dengan tegas."Entahlah, belum jelas, karena tadi aku sedang menangani pasien yang terluka karena jatuh dari motornya." Suamiku berdusta lagi. Dia pasti bingung bagaimana cara Ia menjelaskan ke mertuanya kalau wanita itu adalah selingkuhan yang pernah pergi travelling dengannya, wanita yang akhirnya kuhancurkan rumah tangganya karena telah lebih dulu menggoda suamiku.Ah. Kalau dihitung seberapa ekstremnya hubungan Widi dengan Rani, maka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan permainan Dinda, pengorbanan dan kerahasiaannya juga masih lebih unggul Dinda. Sayang, semuanya terungkap dengan cepat."Kalau begitu
"Maaf, tapi aku harus pulang, syifa membutuhkanku." Meski terlihat kehilangan kesabaran dan kesal sekali tapi suamiku tetap bersikap lembut dan tenang menghadapi Dinda yang setengah gila."Aku tahu, sangat memalukan memprotes seorang suami yang bersikap baik pada istrinya. Tapi apa kau lupa, kalau aku juga istrimu?"Aku membulatkan mata mendengar perkataan wanita itu dari seberang sana, bahkan saat mereka bicara berdua saja wanita itu tetap mengaku sebagai istrinya. Jadi, apakah benar suamiku dan dinda menikah "Dinda, tolong, kendalikan dirimu dan ucapanmu.""Mas! Kalau kau memang merasa tidak menikahinya dan tidak pula mencintainya Kenapa tidak tegaskan saja agar wanita itu tidak lagi menghubungimu dan mengganggu kehidupan kita, putuskan hubungan kalian sekarang juga dan akhiri segalanya!" Mau tidak mau aku gemas pada suamiku yang selalu lembut dan mengalah, aku juga geram karena wanita itu mati matian mengejar dan meneror suamiku. Ketidaktenangan suamiku, juga tertular padaku dan
Makam berlalu sementara aku sangat sedikit mampu memejamkan mata karena begitu banyaknya pikiran. Di sampingku, masih tertidur dengan pulas kelelahannya sepanjang hari membuat dia mudah saja terlelap saat bertemu dengan bantal.Aku tak mampu memejamkan mataku karena bayang-bayang tentang wanita di sekitar suamiku terus berkelebat di mata ini. Andai Mas Widi tidak mengalah dan bersikap kasar, Mungkin aku akan segera mempertimbangkan perceraian tapi melihat itikadnya yang ingin mempertahankan keluarga dan bagaimana cara ia berusaha menunjukan diri kalau ia ingin berhenti, membuatku berpikir panjang. Sungguhkah dia serius dengan keinginannya ataukah keseriusan itu hanya pura-pura agar aku jadi tenang dan tidak marah-marah lagi? Entahlah, tidak ada jawaban untuk itu. Pagi menjelang dengan sinar matahari yang mulai mengintip dari balik celah jendela. Andi punya kuasa untuk menghentikan waktu rasanya aku ingin terus berada di malam hari. Resah ketika harus menghadapi pagi dan bertemu d
"Aku kerja dulu ya," ucapnya sesudah mengakhiri makan dan cuci tangan. Perdebatan kecil tadi berujung kebisuan lagi.Hatiku merana, aku masih kesal dan dendam karena tidak mampu membalas perbuatan suamiku dengan perlakuan yang sama. Aku tak akan berselingkuh karena itu perbuatan yang menjijikan. Pun memukul atau menghajarnya sepuas hatiku, bukanlah solusi karena akan membuat dia sakit dan cacat saja, efek jera tidak ada. Lalu ketika itu terjadi, maka aku pun yang akan kesulitan, karena akulah istrinya yang harus mengurusnya saat dia sakit.Karena tidak kunjung memberinya jawaban lelaki itu menghampiriku lalu mendekatkan wajahnya ke hadapan wajahku."Aku berangkat kerja dulu." Dia mengulangnya."Pergilah.""Kau yakin kau baik-baik saja di rumah?""Apa wajahku menunjukkan kalau aku akan bunuh diri?""Tidak. Baiklah, maafkan aku. Jaga dirimu," ujarnya sambil menepuk pundakku dan beranjak pergi.*Sepertinya ada orang yang benar-benar menunggu kepergian suamiku sampai ia berani mengetuk p
Wanita itu tertegun dia terbelalak dan tidak tahu harus menjawab apa. Sepertinya permintaanku terlalu berlebihan, tapi apa yang harus kukatakan agar ia segera sadar. Sebanyak apapun harta di dunia ini, jika itu hendak ditukarkan dengan suami orang lain maka kurasa, semesta pun tidaklah mampu melunasi.Dia gigih berusaha untuk memenangkan hatiku, berusaha membuatku luluh agar mau menerima dia sebagai adik madu. "Kurasa kau terlalu berlebihan Mbak, Jika Aku mati bagaimana aku merasakan cinta dari mas Widi?""Andai suamiku hanya bersandiwara mencintaimu, apakah kau bisa merasakan bedanya cinta asli dan palsu? Apa kau bisa melihat bentuk dari apa yang kau sebut cinta pada suami orang, apakah kau melihat kuantitasnya?""Pertanyaanmu sama sekali tidak masuk akal Mbak?" Wanita itu nampak terheran-heran dan terperangah dengan semua ucapanku."Sama seperti sikapmu yang tidak masuk akal, kau berjuang sekuat tenaga dan sampai memberikanku mobil edisi terbatas hanya demi bercinta dengan suamiku
Selagi wanita itu masih menangis, aku beranjak masuk ke dalam. Kuambil ponselku lalu ku hubungi suamiku dan memberitahunya kalau wanita itu datang ke rumah kami, dia datang untuk memberiku hadiah agar aku menukar suamiku dengannya.Kuceritakan semua detail sejak ia membawakan mobil itu, termasuk perkataan dan permohonannya, serta bagaimana ia menangis dengan pilu."Aku sedang sibuk bekerja jadi aku tidak bisa kembali ke rumah, ada begitu banyak pasien yang menunggu di poli umum jadi aku harus memberi mereka perawatan.""Baik, aku paham.""Minta wanita itu pulang, sebelum ia brutal.""Baiklah."Aku ke dapur beranjak mengambilkan segelas air, saat kembali dari sana dan membalikkan badanku aku terkejut karena wanita itu sudah berdiri di belakangku dengan tatapan yang... Entahlah, mengerikan, kosong dan seperti kemasukan setan."Ambillah air ini, minumlah dan tenangkan dirimu."Wanita itu mengabaikan dia malah berdiri dan memutar posisinya untuk melihat foto kami sekeluarga yang terpajang
Dari sekian kali kutanyakan dan berhari-hari berlalu dia selalu mengelak jika kutanyakan tentang topik pernikahan.Sekarang di hadapanku dia mengakui kalau dia telah menikah, dengan suara yang lirih dan alasan yang terdengar dibuat-buat, dia bilang kalau dia menikah demi menolong wanita itu memperbaiki keadaan mentalnya. Aku terkejut sementara dia menunggu reaksiku yang berikutnya, mungkin dia sudah memasang badan untuk kupukuli atau juga memasang pendengarannya untuk setiap teriakan dan histerisnya diriku.Aku ingin menangis, aku ingin berteriak dan memukul dadanya serta melampiaskan isi hatiku dengan mencabik-cabik dirinya, menjambak rambutnya, menginjak injak tubuhnya di lantai karena kenyataan ini sungguh tidak bisa kuterima. Tapi, untuk apa semua itu, untuk apa aku membuang tenaga dengan menangis dan mengamuk lalu berujung lemas, aku sendiri yang lelah! Meski kekecewaan yang sudah ada di hatiku semakin menjadi-jadi, tapi aku memilih bereaksi dengan datar. Tidak bicara, membis