*Aku hendak menjemput anak-anak pulang sekolah tapi rasanya tungkai ini terasa lemas hanya untuk berdiri saja, sejak pagi aku sama sekali tidak makan apapun bahkan minum. Tenggorokanku rasanya ditumbuhi duri-duri yang tajam karena sensasi haus yang begitu menekan, tapi minum air pun rasanya seperti minum adukan aspal, sakit, sesak, dan ah, aku lelah mengeja rasa yang ada di dada.Aku belum memberitahu ibu atau Ayah kandungku tentang apa yang terjadi pada keluargaku, Aku tidak ingin melibatkan mereka karena mereka pasti akan murka dan menghukum suamiku. Bagi ayah, orang yang menyakiti putrinya tidak akan diberi ampun, jadi sekalinya mereka tahu kalau mas Widi telah menghianatiku, pasti mereka ingin aku dan mas widi berpisah, tidak ada toleransi untuk itu."Assalamualaikum ibu." Aku menelpon ibu mertua untuk meminta bantuannya, sensasi pusing dan syok di kepalaku membuat diri ini demam dan lemas."Ada apa anakku?""Ibu bolehkah saya minta tolong agar ibu bisa menjemput anak-anak? s
"Pulang jam berapa?" tanyaku saat aku menelpon lelaki itu.Aku merangkum segala kekuatan dan ketabahan di dalam hatiku untuk bersandiwara baik-baik saja demi orang tuaku.Lelaki yang ku tanya di seberang sana terdengar mendesah lega karena akhirnya aku mau mengajaknya bicara."Aku senang kau menelpon, aku akan pulang begitu tugasku usai, pasien masih banyak, aku harus berkeliling," balasnya."Orang tuaku mengundang makan malam, kita harus ke sana.""Oh, tentu, aku akan pulang sebelum magrib," jawabnya."Baiklah."Begitu aku mematikan ponsel, aku tak kuasa menahan bibirku yang gemetar ingin menangis. Pertahananku bobol, aku lelah, pusing, tak bersemangat dan rasanya semuanya sudah berakhir. Bagaimana aku bisa berdiri dan memasang senyum paling indah sementara hatiku remuk redam dan akalku sedang tidak fokus. Diriku resah dan bingung, entah harus mengambil tindakan apa aku juga bingung. Aku lelah terus begini.Ditahan sekuat tenaga, kesedihan terus menggelantung di benakku, rasa dikhi
Sepanjang jalan di atas mobil anak-anak terus bercerita tentang keseruan mereka bermain dengan kakek dan sepupunya, mas Widi bercanda dengan anak-anaknya sementara aku hanya diam saja.Sampainya di rumah saat mobil sudah dimasukkan ke garasi aku langsung turun dan membuka pintu kemudian mengarah ke anak-anakku untuk langsung ke kamar mereka lalu mengganti baju dan tidur."Tidurlah sayang ya, karena kalian harus sekolah besok.""Iya Bunda, hari ini seru sekali, terima kasih.""Sama sama anakku." Faris dan Farisa memang terbiasa kami ajarkan untuk selalu berterima kasih atas hal-hal kecil, hingga dengan demikian semua orang akan merasa diapresiasi dan dihargai.Koplo keduanya lalu mengecilkan Mereka kemudian Faris dan Farisa berpencar ke kamar masing-masing.Aku sendiri langsung masuk kamar untuk ganti baju dan istirahat, Mas Widi menyusulku.Saat dia masuk kamar tatapan mata kami bertemu aku memalingkan diri kemudian lanjut ganti baju."Aku benar benar berharap kita membaik dan ...."
Sudah kubilang selingkuh Itu merepotkan. Kalau sekali terlibat, sulit untuk terlepas, ada saja drama atau sesuatu yang membuat apa yang kau sembunyikan terungkap. Selingkuh itu penyakit, aib dan kebiasaan yang sulit disembuhkan.*Esok hari.Kuhampiri suamiku yang sedang sarapan bersama anak-anak di meja makan, kubawakan secangkir teh lalu meletakkan benda itu di hadapannya."Semalam wanita itu terus menghubungiku, dia bilang dia akan menunggumu."Lelaki yang sedang makan itu langsung terdiam, dia nampak kesulitan meneguk makanannya saat aku membahas tentang Dinda."Maukah kau pergi bersamaku agar aku bisa bicara dengannya dan memberinya pengertian kalau selama ini aku tidak pernah mencintainya. Aku hanya terbawa perasaan sesaat dan bersalah dengan semua yang terjadi," ucap suamiku.Aku tertawa begitu mendengar betapa entengnya dia. Rupanya sifat lelaki umumnya seperti itu ya... mereka berani berselingkuh tapi ketika sudah diambang bahaya mereka memilih di zona aman. Malah tak jarang
"Oh ya? Apakah kau benar-benar kaya? Kalau aku minta 30 miliar, apa kau punya?" Aku menantangnya sambil berkacak pinggang. "Tentu, tapi aku juga punya syarat." Dia sama sekali tidak terkejut saat aku menantangnya dengan uang sebanyak. Dia tetap tenang dan santai."Apa syaratnya?""Kau jangan bercerai dengan mas Widi," balasnya dengan santai."Apa, kenapa tidak, bukannya itu bagus untukmu?""Kau bermaksud menyusahkanku kan' dengan minta uang sebanyak itu? padahal, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku malah ingin kau jadi kakakku sehingga aku punya teman bicara dan tempat mengadu. Tapi karena kau sudah lontarkan berapa banyak standar harga suamimu, maka, aku akan memenuhinya." Wanita itu tertawa sementara aku makin geram."Lalu, kenapa tidak temukan saja lelaki yang baik untuk dirimu? aku yakin banyak pengusaha serta keluarga baik-baik yang mau menerima kau jadi menantu.""Masalahnya... cintaku hanya untuk Mas widi. Jika kau persulit diriku untuk menikahi suamimu, maka aku pun akan mem
Aku masuk ke dalam kamarku lalu mengunci pintu. Aku berdiri sambil terus mengatur nafasku agar tetap tenang. Aku ingin menangis sejadi-jadinya tapi air mataku seakan sudah kering di pelupuk mata. Bisa-bisanya semua orang terpesona dan mengejar-ngejar suamiku, Apa keistimewaan dan kehebatannya. Kalaupun dia dokter yang membantu orang untuk sembuh, itu memang tugasnya. Kalau dia ramah dan sopan itu adalah bagian dari adab, bukan sebagai bentuk rayuan agar orang-orang jatuh hati dan menyukainya. Tapi kenapa, ibu ibu, nenek nenek, bahkan anak gadis mengejarnya, Apa mereka tidak tahu kalau suamiku punya istri ataukah dokter Widi sendiri mengaku masih lajang.Kulempar diriku ke atas tempat tidur lalu membenamkan kepalaku di bantal, setiap kali marah, satu satunya tempat melindungi diri dan pelarianku hanya kamar ini. Haruskah sekarang aku mengadu kepada orang tuaku agar mereka yang turun tangan? Ataukah Aku bercerita kepada ibu mertua yang sudah mulai lelah dengan segala tingkah anaknya.
Ini Aku terkapar di atas tempat tidur dalam keadaan lemas. Aku yang terbaring di atas dua bantal yang menopang kepalaku bisa menatap pantulan diri ini di balik kaca rias. Wajahku kehilangan rona aku benar-benar pucat dan lemas, tubuh dan wajahku beraroma asam, lututku gemetar, lemas bukan main.Anak-anak yang baru pulang mengaji dari TPQ yang tidak jauh dari rumah datang menyambangiku ke kamar. Melihatku yang terbaring seperti itu mereka jadi khawatir, sementara aku yang menatap mereka dengan baju Koko dan mukena merasa tenteram hati dan perasaanku, perlahan hati ini berharap bahwa sampai nanti mereka tetap konsisten menjadi anak yang sholeh dan ahli ibadah."Ada apa Bunda?""Bunda demam.""Kok bisa.""Kena hujan," jawabku sekenanya."Kok hujan, ini kan musim kemarau?""Ah iya, juga, ini semua karena ...."tiba-tiba aku melihat mas Widi diambang pintu kamar membawakan nampan berisi makanan dan air minum, aku jadi tidak melanjutkan ucapan bahwa aku sakit karena kelakuan ayah mereka. "K
Aku berusaha menarik nafas dalam dan mengatur tenang sistem respirasi, agar udara yang kuhirup ke paru-paru tidak meledak di tenggorokan. Rasa emosi ini membuatku ingin langsung berteriak dan mencekiknya, tapi aku sungguh lemas dan tidak berdaya."Mas, Kakak maduku sakit, tanyakan padanya apa dia butuh sesuatu?" Dia menyentuh lengan Mas Widi sambil menatapnya dengan mesra. Aku malu sendiri menatap adegan itu, tak menyangka bahwa wanita di balik rentetan pesan M-banking adalah dia."Kurasa tidak, sebaiknya kau kembali ke tempat tidurmu, jangan berjalan-jalan dengan cara membawa tanganmu yang sakit seperti ini.""Aku tidak menyeret tubuhku secara paksa, hanya tanganku yang patah dan itu pun kugendong di bahuku. Tidak ada yang lebih membuatku bersemangat dan menghilangkan sakitku, selain kehadiranmu, Mas," ucapnya manja, ia tidak segan merayu suamiku di hadapan istrinya. "Hei kau! Haruskah aku mengusirmu ataukah aku menghajarmu?" Aku membentaknya. "Boleh, aku ingin sekali melih