Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suasana dalam kamar penginapan mulai terasa sepi. Hanya terdengar suara gesekan pelan antara tubuh Nita dengan sprei kasur. Perempuan itu tampak gelisah. Sudah beberapa kali mengganti posisi tidur tetap saja matanya tidak mau terpejam.
Semua itu gara-gara akibat tragedi bonggol jamur yang membuat Nita jadi susah tidur. Di kepalanya terus terbayang oleh benda pusaka milik Kandar. Besar dan panjang, persis seperti kuncup jamur merang yang menyembul dari tumpukan jerami.
"Ah, sial! Padahal itu sayur kesukaanku. Kenapa juga bentuknya harus terlihat mirip seperti senjata pria?" keluh Nita dalam hati.
Sedangkan tersangka utama pembuat insomnia sudah tertidur pulas di kasur sebelah. Tampak nyenyak sekali mungkin sudah terbang ke alam mimpi. Nita jadi geregetan melihatnya dan terus menyalahkan keadaan. Jika saja mereka tidak berbagi kamar yang sama pasti mata dan pikirannya tidak ternoda.
"Ya, Tuhan. Sampai kapan aku harus begini? Aku butuh istirahat untuk memulihkan tenaga," gumam Nita sambil menatap langit-langit ruangan.
"Sampai kamu memakanku, Nita." Tiba-tiba kuncup jamur merang dalam imajinasinya menyaut.
Nita menyengir kesal. "Apa-apaan ini! Kenapa malah kamu yang muncul, aku kan tidak bicara padamu."
"Aku sangat tahu itu makanya aku ingin bicara padamu. Kalau kamu masih takut dengan yang asli bayangkan saja milik suamimu seperti aku, sayur kesukaanmu. Mudah bukan?"
Benar saja, Nita sempat membayangkannya beberapa saat. Namun yang terjadi ia malah semakin frustasi. Menyamakan wujud kejantanan Kandar seperti bonggol jamur sungguhan benar-benar sangat mengerikan.
"Ah, sial! Pikiranku sudah tercemar. Aku mengantuk tapi tidak bisa tidur. Aku harus bagaimana?" keluhnya lagi sebelum kembali menatap ke arah kasur Kandar.
Melihat sang suami yang tidur terlentang membuat Nita memposisikan tubuhnya miring kesamping. Terkadang ia bingung dengan watak pria itu. Sifatnya sangat jauh berbeda dari sebelum dan sesudah menikah.
"Padahal dulu dia tidak begini. Tapi kenapa sekarang malah jadi pria mesum begitu?" Nita bergumam dalam pikirannya. Apakah seperti ini karakter Kandar yang asli?
Masih jelas dalam ingatan bagaimana saat pertama kali mereka bertemu. Waktu itu di sebuah acara pameran industri kreatif di ibukota negara. Nita tidak sengaja menemukan mangkok ayam jago legendaris yang sangat terkenal saat dirinya masih kecil. Ketika hampir meraih mangkok tersebut, tiba-tiba muncul tangan lain yang menyambarnya lebih dulu.
Nita pun langsung menoleh ke arah si pemilik tangan. Seorang pria yang cukup sedap dipandang, badannya tinggi sekitar 180 cm dengan kulit coklat terang. Benar-benar tipe idaman kaum hawa di kantornya. Dia memanglah Kandar, hanya saja Nita belum mengenalnya saat itu.
"Maaf, tadi saya duluan yang mengambilnya." Nita memperingatkan sesopan mungkin. Ia tidak ingin kehilangan benda berharga itu.
Kandar bergeming masih tetap berdiri di sebelahnya. "Benarkah, bukannya kamu baru muncul setelah lima detik barang ini ada di tanganku?"
"Benar, tapi saya sudah mengincarnya sejak lama. Tolong kakak tampan berikan mangkok ayam itu pada saya." Nita berusaha memelas.
"Apa itu bisa dijadikan alasan? Jangan dikira karena kamu perempuan aku bakal mengalah." Kandar tersenyum miring. Saat itu juga dia langsung memanggil pelayan untuk membungkuskan mangkok tersebut.
"Eh, tidak bisa begini! Itu mangkok ayamku! Aku sudah mengincarnya dari tadi." Nita tanpa sadar bicara informal juga.
Ia bersikeras meraih mangkok ayam di tangan Kandar. Namun, pria itu justru semakin mengangkatnya tinggi-tinggi. Apalagi perbedaan tubuh mereka yang mencolok membuat Nita sangat kewalahan.
"Sudahlah, menyerah saja! Kamu juga belum membayarnya."
"Tentu saya akan membayarnya kalau barang itu sudah ada di tangan. Cepat berikan!"
Aktivitas itu akhirnya terhenti setelah pelayan datang dan mengambil barang tersebut. "Maaf ya nona. Barang ini sudah dipesan dan tuan muda itu sudah membayarnya sejak awal."
"Apaa?" Mata Nita terbelalak, hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Rasa marah, sedih, kecewa dan malu seakan terkumpul menjadi satu. Gara-gara kepikiran hal itu Nita sampai salah naik jurusan kereta untuk perjalanan pulang. Begitu kembali ke stasiun semula untuk mengejar jadwal kereta terakhir ternyata ia ketinggalan juga.
Pada akhirnya Nita terpaksa menginap di rumah singgah terdekat yang cukup sederhana. Dengan harapan agar bisa mengejar jadwal kereta pertama besok pagi. Namun sialnya saat tiba di sebuah kamar, ia malah dipertemukan kembali dengan sosok pria perebut mangkok ayam itu.
"Maaf, saya sudah salah tempat." Nita hendak keluar karena tidak ingin menambah masalah. Ia masih kesal dengan kejadian sore tadi.
"Sudahlah, menetap saja di sini. Kamar lain sudah penuh." Kandar seakan menahannya. Alasan itu persis seperti yang dikatakan oleh penjaga rumah ini.
"Saya bisa menginap di tempat lain," kata Nita bersikeras.
"Kalau kamu berniat mengejar jadwal kereta besok pagi, akan sulit cari taksi lebih awal dari tempat penginapan." Pria itu kembali menambahkan.
Pada akhirnya Nita menyerah. Mengingat waktu sudah larut jadi ia putuskan untuk menginap saja. Apalagi tenaga dan pikirannya sudah cukup terkuras hari ini dan butuh istirahat segera.
"Jangan kira saya akan memaafkan anda atas kejadian sore tadi," ucap Nita saat melintas. Hendak mengambil kasur lantai yang masih tersedia di rak lemari terdekat.
Kandar tersenyum remeh. "Ternyata kamu pendendam juga. Mau bagaimana lagi, bukan salahku juga kalau tangan ini bisa mengalahkan kecepatan tenaga perempuan."
"Apa anda bilang!" Suara Nita meninggi, merasa pria itu seperti mengejeknya.
"Oi, berisik! Orang mau istirahat!" Teriak dari kamar sebelah sambil menggedor dinding papan pembatas ruangan.
Pada akhirnya mereka tidak saling bicara lagi dan memilih tidur. Keesokan paginya Nita bangun sendirian. Pria asing yang bersamanya tadi malam sudah menghilang tanpa jejak. Ia pikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Sampai sebulan kemudian, Nita bersama tim dari perusahan berada di sebuah kampus jurusan peternakan. Kedatangan mereka dalam rangka kerjasama pengembangan produk dengan pihak universitas. Kebetulan perusahaan tempat Nita bekerja bergerak di bagian produksi pakan dan produk olahan ayam.
Entah bagaimana seekor ayam milik kampus tiba-tiba lepas dari kandang dan mengamuk. Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Bahkan Nita tidak luput dari kejaran sampai keluar area kandang. Gara-gara ayam kampus inilah ia dan Kandar dipertemukan kembali. Dalam sebuah kejadian akibat Nita tak sengaja menabrak seseorang yang lewat hingga tercebur ke dalam kolam bersama.
Sedangkan untuk pertemuan selanjutnya…
"Hah, sudahlah. Aku tidak ingin mengingatnya lagi!" seru Nita, saat pikiran ditempa oleh bayangan pertemuan mereka yang lain. Matanya sudah mulai mengantuk.
"Awas ya Kandar, kalau kamu sampai buat ulah lagi besok!" Nita menatap suami sekaligus atasannya penuh dendam. Pada akhirnya mata itu terpejam juga.
Keesokan harinya, Nita terbangun dengan sebuah teriakan besar di pagi buta. Ia benar-benar terkejut setengah hidup. Entah bagaimana tubuhnya bisa berpindah di kasur yang sama dengan Kandar.
Argggh! Teriakan Nita menggelegar di dalam ruangan. Semula ia pikir sedang bermimpi. Rupanya tidak, sosok Kandar memanglah nyata dan tidur di sampingnya. "Hey, sudah bangun?" sapa Kandar sambil menguap. Dia turut terbangun gara-gara mendengar teriakan itu. "Bapak apakan saya! Kenapa saya bisa ada di kasur ini?!" Todong Nita sambil menarik selimut, menutupi tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. "Apanya yang kenapa, kamu sendiri yang datang kemari," kata Kandar dengan wajah masih mengantuk. Sama sekali tidak terpengaruh dengan reaksi sang istri. "Mustahil! Jelas-jelas tadi malam saya langsung tidur dan tidak pergi kemanapun." Nita berusaha membela diri. Ia masih ingat bagaimana kondisinya terakhir sebelum menutup mata. "Lah, ini buktinya kamu berada disini. Saya pikir kamu sudah siap mau tidur sekasur bersama. Makanya saya membiarkan kamu," jawabnya dengan tenang. Lagi-lagi ucapan Kandar sulit diterima nalar. Benarkah demikian? Rasanya itu teramat sangat mustahil bagi Nita. "B
KLIKK! Sabuk pengaman baru saja terpasang sempurna di tubuh Kandar. Namun pria itu tidak segera menyalakan mesin mobil. Dia nampak ingin mengatakan sesuatu yang sejak tadi sudah ditahannya. "Tunggu sebentar, Nita! Jangan bergerak dulu!" Suara Kandar yang tiba-tiba sontak menahan aktivitas istrinya. Padahal Nita tengah bersiap-siap memasang sabuk pengaman di mobil. Ada apa ini? "Kenapa, Pak?" Nita menampakkan sedikit raut keheranan. "Panggil suami, Nita!" Kandar langsung menyela. Astaga, lagi-lagi permintaan panggilan itu. Nita menghela nafas sejenak. Jujur saja lidahnya masih terasa canggung karena belum terbiasa. "Kenapa pak suami tiba-tiba menahan saya? Apa anda membutuhkan sesuatu?" Pada akhirnya Nita mengikuti alur. "Bukan saya yang butuh tapi kamu." Jawaban Kandar justru membingungkan. "Eh, bagaimana? Maksudnya apa itu?" Nita berusaha ingin tahu. Bukannya menjawab wajah Kandar justru semakin mendekat. Gelagatnya tampak aneh, persis seperti adegan pria yang ingin mencium
"Hey, kamu! Kenapa berdiri disitu?" Suara seorang pria mengejutkan dari belakang. Tubuh Nita langsung bergidik kaget. Belum juga melangkah ke arah pintu ruangan manajer sebuah gangguan lain datang menyapa. Betapa ia sangat terkejut saat mendapati siapa sosok pria di belakangnya. "Kamu?!" Seru mereka serempak. "Kenapa kamu ada disini?" ucap keduanya bersamaan. "Astaga! Dia lagi... dia lagi. Kenapa hampir disemua tempat pria mangkok ayam ini selalu ada?" Nita membatin cemas. Tidak hanya dirinya yang terkejut. Raut wajah pria itupun tak kalah kaget. Namun percakapan di antara mereka tidak sempat berlanjut. Lantaran dari ruangan manajer terdengar seseorang memanggil nama Kandar. Lalu pria mangkok ayam itu langsung merespon. "Kandar? Jadi ini nama pria mangkok ayam itu?" batin Nita terperangah .Akhirnya terkuak juga nama asli pria yang sempat membuat penasaran. Tak ingin memperpanjang masalah, Nita pun berinisiatif untuk menyingkir dari hadapan Kandar. Sialnya baru saja mau angkat
Seperti kata pepatah, malu bertanya maka tak tahu. Kalau dibiarkan jadi penasaran. Serba salah bukan? Begitulah situasi hati dan pikiran Nita saat ini. Sejak mereka bertolak dari penginapan, otaknya mulai tidak konsen. Perubahan sikap Kandar yang terkesan mendadak sungguh membuat tanda tanya besar di kepala. Apakah pria itu merasa malu gara-gara hampir menciumnya di parkiran penginapan tadi? Atau mungkin karena suatu alasan lain yang telah melibatnya dirinya? Nita sama sekali tidak bisa menebaknya. "Ayolah bicara dan tanyakan padanya langsung!" Seru perempuan itu dalam hati. Sementara matanya menatap lekat pada Kandar yang tengah fokus menyetir. Meskipun sudah sebulan menjadi istrinya, Nita masih agak canggung membahas sesuatu diluar pekerjaan. Apalagi jika menyangkut masalah privasi seperti ini. Bedacerita kalau Kandar yang memulainya terlebih dahulu. "Apa harus aku memancingnya agar dia mau membahasnya terlebih dahulu?" batin Nita berbisik. "Kenapa kamu menatap seperti itu
"Sudah hentikan! Jangan bahas itu lagi!"Nita tanpa sadar memekik. Akibat merasa terancam oleh ucapan Kandar yang nyaris membeberkan aibnya. Ia benar-benar tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan dari kalimat pria itu. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba ma-rah..." "Tidak ada! Saya sedang malas mau bicara!" Mata Kandar sejenak menyipit. Merasa keheranan dengan perubahan sikap sang istri yang tiba-tiba. Baru saja mulutnya terbuka beberapa mili ingin mempertanyakan, Nita langsung menyambarnya lagi dengan kalimat telak."Jangan tanya alasannya kenapa. Pokoknya sekarang saya tidak ingin bicara!" Tekannya. Suasana dalam mobil seketika hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang sedang melintas. Di tengah keterdiaman mereka, Nita terus menatap pemandangan luar dari jendela mobil. Pikirannya teralih sejenak oleh bunga-bunga liar yang bermekaran di seberang jalan. Sementara itu, sosok di sebelahnya tengah berupaya memecahkan misteri penyebab mood sang istri yang mendadak
CUP! Mata Nita sukses terbelalak saat sebuah kecupan mendarat di ujung bibir. Gerakan itu terlalu cepat sampai membuatnya melongo. Hingga beberapa saat kesadarannya kembali, mobil yang Kandar kemudikan sudah bergerak di jalan raya."Astaga! Itu, apaan tadi?" batin Nita tak percaya. Tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh ujung bibir. Bekas kecupan itu masih begitu terasa hingga membuat tubuhnya memanas. Ini pertama kalinya Nita merasakan sentuhan bibir seorang pria. Akibat hal itu tingkahnya terlihat seperti gadis remaja yang tengah puber. "Apakah ini yang namanya ciuman?" "Tidak, itu bukanlah ciuman!" "Hanya sedikit kulit yang menempel dan itupun hanya di ujung bibir. Mana bisa hal itu disebut ciuman." Nita terus bergelut dengan batin dan pikiran logisnya sepanjang perjalanan. Cukup lama perempuan itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pergerakan mobil yang tiba-tiba mengerem mendadak. "Astaga, apa lagi ini..." Ucapan Nita menggantung. Ia ingi
Kandar langsung berdehem saat mendekati Nita dan Kenzie. Namun kedua orang ini begitu asyik mengobrol. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya. “Hemm ...!” Kandar sekali lagi berdehem bermaksud menghentikan percakapan itu. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Kandar yang telah kehabisan akal akhirnya menggunakan jurus terakhir. "NITA!" Panggilnya setengah teriak. Obrolan itu seketika terputus. Dua pasang mata di hadapan Kandar langsung menoleh ke arahnya. Tidak seperti Kenzie yang memperlihatkan raut wajah bingung. Sebaliknya Nita melototkan mata saat bersitatap dengan sang suami. "B-bapak?!" sahutnya gugup. Entah kenapa kemunculan kadar yang tiba-tiba membuat perasaan Nita bercampur aduk. Antara terkejut, heran dan penuh pertanyaan. Serta sedikit rasa bersalah. "Dia siapa, Nita?" tanya Kenzie terang-terangan. Kandar nyaris memperkenalkan diri namun Nita dengan cepat menjawab pertanyaan itu. "Beliau ini adalah atasan saya," ucapnya canggung. "Ah, anda atasan Nita r
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men
Selama hampir tiga tahun bekerja di perusahaan perayaman, Nita baru dua kali bertatap muka langsung dengan direktur utama. Pertama, saat tes wawancara dan yang terakhir sewaktu penandatanganan kontrak. Setelah itu sosok petinggi mereka bagai tenggelam di dasar bumi. Keberadaannya benar-benar langka untuk ditemukan. Lantas sekarang, kenapa tiba-tiba malah ngajak bertemu? Mencurigakan! "Ada masalah apa kalau boleh tahu?" Pertanyaan Nita menahan posisi Vivian di dekat pintu. "Soal itu saya kurang tahu. Tugas saya hanya menyampaikan pesan dari pihak direktur utama," jawabnya dengan senyum formal. Otak Nita mulai menduga berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Mengingat momen seperti ini cukup langka baginya. Sementara wanita dua tahun diatas Nita itu nyaris beranjak dari posisinya. Namun terhalang oleh sahutan Kandar yang tiba-tiba. "Terimakasih atas informasinya, Vivian. Sebentar lagi kami akan datang ke sana," ucap pria itu. "Oh, baiklah. Nanti akan saya
"Leherku?" Nita tertegun sesaat mendengar penuturan Mimi. Dalam waktu bersamaan tangan rampingnya mengusap batang leher dengan gerakan cepat. Berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya yang hampir meledak. Padahal, Nita sangat yakin bekas kemerahan itu nyaris hilang. Bahkan masih bisa tertutup oleh kerah kemeja yang dipakainya. Lantas, bagaimana bisa tanda kemerahan yang hampir memudar itu masih terlihatan oleh Mimi? Memangnya mata gadis itu mengandung sinar X-ray apa? "Ah, itu bukan apa-apa. Hanya bekas gigitan nyamuk saja," kilahnya beralasan. Nita sangat berharap rekannya itu percaya. "Benarkah?" Senyum Mimi melebar seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja..." Nita memasang raut wajah yang meyakinkan. "Kamu tahu, aku memiliki tipe kulit yang susah hilang bekasnya kalau digigit nyamuk. Kata orang itu disebut darah manis." Khusus yang ini Nita berkata sesuai fakta. Tubuhnya memang rentan diincar nyamuk, terutama saat menjelang datang bulan. Jadi ia sangat ketergantungan
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
SREEG! Pintu kamar terbuka pelan. Nita terlonjak kaget mendapati kemunculan Kandar yang tiba-tiba bersama bantal dan selimut di tangannya. Mau apa dia kemari? Jangan-jangan... "Saya masuk ya." Kandar langsung bicara, sebelum Nita sempat bertanya. "Ah, iya. Silahkan!" ucapnya setengah terpaksa. Mau ditolak juga percuma, Kandar sudah terlanjur memasuki kamar. Nita yang tadinya sedang berbaring buru-buru bangkit dan duduk di atas kasur. Bersamaan dengan itu pendengarannya menangkap suara khas anak kunci yang diputar cepat. "Kenapa pintunya dikunci? Jangan katakan kalau bapak mau..." Nita menatap tajam ke arah Kandar yang semakin mendekat. "Ini bagian dari rencana kita sebelumnya. Hanya sebagai alibi supaya Rudy tidak curiga." Kandar buru-buru menjelaskan. "Yakin hanya itu?" Nita memasang tampang ragu. Kandar mengangguk, seolah membenarkan. Raut wajahnya sangat meyakinkan di mata Nita. Haruskah ia mempercayainya? Sekalipun pria itu berbohong, tetap saja tidak akan menjadi
Suara dering ponsel memecah ruangan kamar bernuansa gelap. Menarik kesadaran Kandar dari ingatan masa lalu hingga membuatnya terkesiap sesaat. Buru-buru dia meraih ponsel. Sebuah nama familiar yang tertera di layar membuat dahinya mengernyit. Tumben sekali orang ini menelpon.“Halo?” sapa Kandar saat menjawab panggilan."Hai Bro, kau di mana sekarang?" tanya pria di seberang sana tanpa banyak basa-basi."Sekarang masih di rumah. Kenapa kau bertanya?" Kandar seperti mencurigai sesuatu. Tidak biasanya Rudy menelpon jika bukan karena hal darurat."Aku sekarang ada di kota L. Apakah pengantin baru menerima tamu di akhir pekan? Rencananya aku ingin mengujungimu hari ini," kata Rudy.Otak Kandar langsung berpikir cepat. Dia nyaris berkata tidak karena sudah merencanakan sesuatu bersama Nita nanti malam. Tapi setelah dipikir-pikir, justru dengan kemunculan Rudy akan memuluskan ide tersebut."Tentu, ka
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men
Kandar langsung berdehem saat mendekati Nita dan Kenzie. Namun kedua orang ini begitu asyik mengobrol. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya. “Hemm ...!” Kandar sekali lagi berdehem bermaksud menghentikan percakapan itu. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Kandar yang telah kehabisan akal akhirnya menggunakan jurus terakhir. "NITA!" Panggilnya setengah teriak. Obrolan itu seketika terputus. Dua pasang mata di hadapan Kandar langsung menoleh ke arahnya. Tidak seperti Kenzie yang memperlihatkan raut wajah bingung. Sebaliknya Nita melototkan mata saat bersitatap dengan sang suami. "B-bapak?!" sahutnya gugup. Entah kenapa kemunculan kadar yang tiba-tiba membuat perasaan Nita bercampur aduk. Antara terkejut, heran dan penuh pertanyaan. Serta sedikit rasa bersalah. "Dia siapa, Nita?" tanya Kenzie terang-terangan. Kandar nyaris memperkenalkan diri namun Nita dengan cepat menjawab pertanyaan itu. "Beliau ini adalah atasan saya," ucapnya canggung. "Ah, anda atasan Nita r
CUP! Mata Nita sukses terbelalak saat sebuah kecupan mendarat di ujung bibir. Gerakan itu terlalu cepat sampai membuatnya melongo. Hingga beberapa saat kesadarannya kembali, mobil yang Kandar kemudikan sudah bergerak di jalan raya."Astaga! Itu, apaan tadi?" batin Nita tak percaya. Tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh ujung bibir. Bekas kecupan itu masih begitu terasa hingga membuat tubuhnya memanas. Ini pertama kalinya Nita merasakan sentuhan bibir seorang pria. Akibat hal itu tingkahnya terlihat seperti gadis remaja yang tengah puber. "Apakah ini yang namanya ciuman?" "Tidak, itu bukanlah ciuman!" "Hanya sedikit kulit yang menempel dan itupun hanya di ujung bibir. Mana bisa hal itu disebut ciuman." Nita terus bergelut dengan batin dan pikiran logisnya sepanjang perjalanan. Cukup lama perempuan itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pergerakan mobil yang tiba-tiba mengerem mendadak. "Astaga, apa lagi ini..." Ucapan Nita menggantung. Ia ingi
"Sudah hentikan! Jangan bahas itu lagi!"Nita tanpa sadar memekik. Akibat merasa terancam oleh ucapan Kandar yang nyaris membeberkan aibnya. Ia benar-benar tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan dari kalimat pria itu. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba ma-rah..." "Tidak ada! Saya sedang malas mau bicara!" Mata Kandar sejenak menyipit. Merasa keheranan dengan perubahan sikap sang istri yang tiba-tiba. Baru saja mulutnya terbuka beberapa mili ingin mempertanyakan, Nita langsung menyambarnya lagi dengan kalimat telak."Jangan tanya alasannya kenapa. Pokoknya sekarang saya tidak ingin bicara!" Tekannya. Suasana dalam mobil seketika hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang sedang melintas. Di tengah keterdiaman mereka, Nita terus menatap pemandangan luar dari jendela mobil. Pikirannya teralih sejenak oleh bunga-bunga liar yang bermekaran di seberang jalan. Sementara itu, sosok di sebelahnya tengah berupaya memecahkan misteri penyebab mood sang istri yang mendadak