"Sudah hentikan! Jangan bahas itu lagi!"
Nita tanpa sadar memekik. Akibat merasa terancam oleh ucapan Kandar yang nyaris membeberkan aibnya. Ia benar-benar tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan dari kalimat pria itu.
"Hey, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba ma-rah..."
"Tidak ada! Saya sedang malas mau bicara!"
Mata Kandar sejenak menyipit. Merasa keheranan dengan perubahan sikap sang istri yang tiba-tiba. Baru saja mulutnya terbuka beberapa mili ingin mempertanyakan, Nita langsung menyambarnya lagi dengan kalimat telak.
"Jangan tanya alasannya kenapa. Pokoknya sekarang saya tidak ingin bicara!" Tekannya.
Suasana dalam mobil seketika hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang sedang melintas. Di tengah keterdiaman mereka, Nita terus menatap pemandangan luar dari jendela mobil. Pikirannya teralih sejenak oleh bunga-bunga liar yang bermekaran di seberang jalan.
Sementara itu, sosok di sebelahnya tengah berupaya memecahkan misteri penyebab mood sang istri yang mendadak berubah ganas. Otak Kandar tertuju pada dua hal, tetapi dia perlu memastikan salah satunya terlebih dulu. Langsung saja pria itu mengambil air botol mineral dari dashboard mobil lalu menyodorkannya kepada Nita.
"Kamu mau minum?" tanya Kandar membuka pembicaraan.
Nita sama sekali tidak menoleh. Wajahnya tampak masam sambil melipat kedua tangan di dada. Sementara perhatian perempuan itu masih terarah pada pemandangan di luar kaca mobil.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau. Aku hanya ingin menyampaikan kalau perjalanan kita masih cukup jauh. Dan botol ini satu-satunya yang masih bersegel. Kamu tidak keberatan kalau nantinya kita berbagi air yang tersisa?" Pancing Kandar, dia sangat paham jika Nita tidak suka berbagi barang yang sama dengan orang lain.
Sesuai harapan, Nita langsung saja menyambar botol minuman tersebut. Awalnya perempuan itu ingin pura-pura tidak merespon. Namun alarm bawah sadarnya seakan memberi sebuah peringatan. Bahwa akan ada sesuatu jika Kandar tiba-tiba ngomong dengan kata 'Aku'. Nita tidak yakin apa itu. Namun untuk berjaga-jaga lebih baik ia turuti saja walau rasanya lumayan kesal setengah mampus.
"Jangan kira hatiku akan melunak hanya gara-gara ini," batin Nita sambil membuka tutup minuman.
Sebenarnya, menampakkan wajah marah seperti ini kepada Kandar bukanlah kali pertama terjadi. Sudah sangat sering Nita lakukan sepanjang menjadi bawahan pria itu. Mulai dari masalah pekerjaan sampai urusan pribadi. Bahkan Kandar pernah mengganggunya dengan urusan pekerjaan gara-gara pergi menemankan Mimi kencan buta. Bukan karena pria itu memiliki rasa pada Nita, melainkan sekedar ingin memanfaatkan kelemahannya saja.
Semua itu berawal dari penemuan foto jadul dari dompet Nita. Kandar sempat mempertanyakan identitas dari sosok sepasang bocah berambut Dora dan teman kurusnya di dalam gambar tersebut. Mereka memanglah Nita sendiri dan juga Kendy, teman masa lalu yang belum pernah ditemuinya selama 14 tahun terakhir. Nita pikir Kandar mengenali bocah laki-laki dalam foto itu, rupanya hanya sekedar penasaran saja. Justru pria itu malah memanfaatkan hal tersebut untuk mengusiknya dalam kondisi tertentu. Dasar Kandar!
"Ternyata seleramu seperti itu? Tidak heran kalau sampai sekarang masih jomblo," cibir Kandar suatu hari.
"Apa bedanya dengan bapak? Banyak gadis yang mengantri tapi masih juga jomblo. Jangan-jangan selera bapak belok ya?" balas Nita tidak mau kalah.
"Tentu saja beda, Nita. Selera saya masih seorang perempuan tapi bukan seperti mereka. Soal masalah saya belok ataupun tidak, kamu bisa mengujinya sendiri untuk memastikan. Saya tidak keberatan jika kamu yang melakukannya," ucap pria itu dengan nada setengah bercanda.
"Terimakasih atas tawaran bapak, tapi masalah uji menguji ini cukup saya lakukan pada suami saya kelak."
"Maksudmu dengan Kendy?"
"Tidak harus Kendy, bisa juga dengan pria lain. Yang pasti orangnya bukan bapak."
Kandar tertawa besar mendengar penuturan itu. Baginya Nita terlalu berlebihan dalam menanggapi sebuah candaan. Mana mungkin mereka bisa menjadi pasangan mengingat perbedaan status sosial keduanya yang terlalu jauh. Belum lagi peraturan perusahaan yang melarang hubungan asmara di kantor.
Tapi itu dulu, sebelum tragedi tahi ayam menyerang. Hingga membuat Nita dan Kandar seperti termakan omongan sendiri. Siapa mengira bahwa Atasan dalam bawahan yang bertolak belakang ini akan terlibat dalam hubungan pernikahan.
***
"Apa ucapanku tadi menyinggungmu?" tanya Kandar setelah keadaan sedikit mereda.
"Tidak ada." Nita langsung menjawabnya dengan riak kejengkelan yang masih kentara.
"Lalu kenapa kamu tiba-tiba marah padaku?" tanyanya lagi.
"Siapa yang marah? Itu hanya perasaan anda," jawab Nita.
Tentu saja hal itu adalah kebalikannya. Nita sungguh merasa jengkel setengah mampus saat ini. Namun ia masih menahan diri untuk tidak mengatakan secara langsung.
"Hanya perasaan ya, apa kamu bisa membuktikannya bahwa sekarang ini tidak sedang marah?" Kandar seperti menantang.
"Tentu saja bisa," ucap Nita berlagak yakin. Padahal ia cukup ketar-ketir saat ini.
Kandar mendadak tersenyum jahil. "Baiklah, kalau begitu bisa buktikan ucapanmu dengan cara ini."
"Apa yang anda inginkan?" tanya Nita memastikan.
Entah kenapa atmosfernya terasa berbeda. Nita berharap suaminya tidak meminta hal yang aneh-aneh. Walaupun kecurigaannya mengarah kesana.
"Cium aku jika kamu tidak marah."
Kalimat yang meluncur dari bibir tipis itu seperti bom waktu. Membuat mata Nita langsung melotot seketika dengan ekspresi keterkejutan yang luar biasa. Siapa yang mengira bahwa Kandar akan mengatakan hal yang mesuum seperti itu.
"Hey, terlalu cepat wajahmu bereaksi seperti itu. Aku masih belum selesai bicara." Kandar kembali bersuara, membuat perasaan Nita mulai tidak karuan.
"A-apa itu?" tanyanya gugup.
"Jika kamu masih marah padaku..." Kandar sengaja memperlambat intonasi kalimatnya untuk memancing reaksi sang istri. "Maka kamu harus tidur bersamaku malam ini."
Astaga! Pilihan macam apa ini. Bisa-bisanya Kandar menjadikan hal itu sebagai lelucon, pikir Nita. Ia seakan tidak bisa berkata-kata lagi selain meneriakkan kata, 'Dasar mesum!' kepada Kandar.
"Apa masalahnya mesuum dengan istri sendiri. Bukankah pernikahan kita sudah sah dimata hukum dan negara?" Kandar menekankan.
Nita sangat tahu akan hal itu. Tapi mengatakannya dengan gamblang justru membuat perasaan perempuan ini jadi serba salah. Memang sejak awal pernikahan, Kandar menekankan bahwa mereka akan tidur di kamar terpisah. Sambil mengatasi solusi pernikahan rahasia yang serba mendadak itu.
Pilihannya antara dua, mereka bercerai sebelum pernikahan ini terciduk. Atau, salah satunya keluar dari perusahaan dan melanjutkan pernikahan. Tapi sekarang? Nita jadi heran kenapa Kandar malah memanfaatkan hubungan mereka sebagai alasan untuk tidur sekamar?
"Lagi pula bibir ini, bukankah sangat ingin dicium olehku sejak dari parkiran penginapan tadi?" lanjut Kandar dan entah sejak kapan jarinya sudah mendarat di bibir Nita.
Seketika pupil perempuan itu melebar sebelum akhirnya menepis jari kekar tersebut. "I-itu sama sekali tidak benar! Hanya perasaan Anda saja," ucapnya sedikit terbata.
"Yakin?" Tatapan Kandar mulai agak genit.
Ini tidak bisa dibiarkan, Nita berseru dalam hati. Bisa gawat jika Kandar tahu yang sebenarnya. Sudah cukup ia menahan malu atas beberapa aib-nya yang sudah terbongkar sejauh ini. Perempuan itu segera berpikir cepat agar Kandar tidak terus-menerus membahasnya.
"Kalau bapak tidak mau kita ribut dalam mobil segera lanjutkan perjalanan ini! Atau saya akan pulang sendiri mencari tumpangan mobil lain." Ancaman Nita tidak main-main.
Bersamaan dengan itu terdengar deru suara mesin mobil yang melintasi kendaraan mereka. Menjadi penengah kedua pasutri yang tengah bersitegang. Tidak disangka Kandar langsung menyetujui usulan yang pertama. Padahal Nita sempat ketar-ketir jika sang suami memilih yang terakhir.
Lalu suara khas mesin mobil mulai terdengar di telinga. Namun Kandar tidak segera menyetir dan hanya menatap kedepan seperti memikirkan sesuatu. Apa yang terjadi?
"Kenapa pak?" tanya Nita penasaran. Suaranya mulai melembut dari tadi.
Kandar menoleh dengan tatapan yang tidak terbaca. "Sepertinya kita sudah melewatkan sesuatu."
Ucapan yang membingungkan itu membuat kening Nita mengkerut. Ia sama sekali tidak punya gambaran tentang hal-hal yang sudah mereka lewati sejauh ini. Saat ingin memastikannya, tiba-tiba saja wajah Kandar sudah mendekat. Lalu mendaratkan kecupannya di bibir Nita.
CUP! Mata Nita sukses terbelalak saat sebuah kecupan mendarat di ujung bibir. Gerakan itu terlalu cepat sampai membuatnya melongo. Hingga beberapa saat kesadarannya kembali, mobil yang Kandar kemudikan sudah bergerak di jalan raya."Astaga! Itu, apaan tadi?" batin Nita tak percaya. Tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh ujung bibir. Bekas kecupan itu masih begitu terasa hingga membuat tubuhnya memanas. Ini pertama kalinya Nita merasakan sentuhan bibir seorang pria. Akibat hal itu tingkahnya terlihat seperti gadis remaja yang tengah puber. "Apakah ini yang namanya ciuman?" "Tidak, itu bukanlah ciuman!" "Hanya sedikit kulit yang menempel dan itupun hanya di ujung bibir. Mana bisa hal itu disebut ciuman." Nita terus bergelut dengan batin dan pikiran logisnya sepanjang perjalanan. Cukup lama perempuan itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pergerakan mobil yang tiba-tiba mengerem mendadak. "Astaga, apa lagi ini..." Ucapan Nita menggantung. Ia ingi
Kandar langsung berdehem saat mendekati Nita dan Kenzie. Namun kedua orang ini begitu asyik mengobrol. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya. “Hemm ...!” Kandar sekali lagi berdehem bermaksud menghentikan percakapan itu. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Kandar yang telah kehabisan akal akhirnya menggunakan jurus terakhir. "NITA!" Panggilnya setengah teriak. Obrolan itu seketika terputus. Dua pasang mata di hadapan Kandar langsung menoleh ke arahnya. Tidak seperti Kenzie yang memperlihatkan raut wajah bingung. Sebaliknya Nita melototkan mata saat bersitatap dengan sang suami. "B-bapak?!" sahutnya gugup. Entah kenapa kemunculan kadar yang tiba-tiba membuat perasaan Nita bercampur aduk. Antara terkejut, heran dan penuh pertanyaan. Serta sedikit rasa bersalah. "Dia siapa, Nita?" tanya Kenzie terang-terangan. Kandar nyaris memperkenalkan diri namun Nita dengan cepat menjawab pertanyaan itu. "Beliau ini adalah atasan saya," ucapnya canggung. "Ah, anda atasan Nita r
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men
Suara dering ponsel memecah ruangan kamar bernuansa gelap. Menarik kesadaran Kandar dari ingatan masa lalu hingga membuatnya terkesiap sesaat. Buru-buru dia meraih ponsel. Sebuah nama familiar yang tertera di layar membuat dahinya mengernyit. Tumben sekali orang ini menelpon.“Halo?” sapa Kandar saat menjawab panggilan."Hai Bro, kau di mana sekarang?" tanya pria di seberang sana tanpa banyak basa-basi."Sekarang masih di rumah. Kenapa kau bertanya?" Kandar seperti mencurigai sesuatu. Tidak biasanya Rudy menelpon jika bukan karena hal darurat."Aku sekarang ada di kota L. Apakah pengantin baru menerima tamu di akhir pekan? Rencananya aku ingin mengujungimu hari ini," kata Rudy.Otak Kandar langsung berpikir cepat. Dia nyaris berkata tidak karena sudah merencanakan sesuatu bersama Nita nanti malam. Tapi setelah dipikir-pikir, justru dengan kemunculan Rudy akan memuluskan ide tersebut."Tentu, ka
SREEG! Pintu kamar terbuka pelan. Nita terlonjak kaget mendapati kemunculan Kandar yang tiba-tiba bersama bantal dan selimut di tangannya. Mau apa dia kemari? Jangan-jangan... "Saya masuk ya." Kandar langsung bicara, sebelum Nita sempat bertanya. "Ah, iya. Silahkan!" ucapnya setengah terpaksa. Mau ditolak juga percuma, Kandar sudah terlanjur memasuki kamar. Nita yang tadinya sedang berbaring buru-buru bangkit dan duduk di atas kasur. Bersamaan dengan itu pendengarannya menangkap suara khas anak kunci yang diputar cepat. "Kenapa pintunya dikunci? Jangan katakan kalau bapak mau..." Nita menatap tajam ke arah Kandar yang semakin mendekat. "Ini bagian dari rencana kita sebelumnya. Hanya sebagai alibi supaya Rudy tidak curiga." Kandar buru-buru menjelaskan. "Yakin hanya itu?" Nita memasang tampang ragu. Kandar mengangguk, seolah membenarkan. Raut wajahnya sangat meyakinkan di mata Nita. Haruskah ia mempercayainya? Sekalipun pria itu berbohong, tetap saja tidak akan menjadi
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
"Leherku?" Nita tertegun sesaat mendengar penuturan Mimi. Dalam waktu bersamaan tangan rampingnya mengusap batang leher dengan gerakan cepat. Berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya yang hampir meledak. Padahal, Nita sangat yakin bekas kemerahan itu nyaris hilang. Bahkan masih bisa tertutup oleh kerah kemeja yang dipakainya. Lantas, bagaimana bisa tanda kemerahan yang hampir memudar itu masih terlihatan oleh Mimi? Memangnya mata gadis itu mengandung sinar X-ray apa? "Ah, itu bukan apa-apa. Hanya bekas gigitan nyamuk saja," kilahnya beralasan. Nita sangat berharap rekannya itu percaya. "Benarkah?" Senyum Mimi melebar seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja..." Nita memasang raut wajah yang meyakinkan. "Kamu tahu, aku memiliki tipe kulit yang susah hilang bekasnya kalau digigit nyamuk. Kata orang itu disebut darah manis." Khusus yang ini Nita berkata sesuai fakta. Tubuhnya memang rentan diincar nyamuk, terutama saat menjelang datang bulan. Jadi ia sangat ketergantungan
Selama hampir tiga tahun bekerja di perusahaan perayaman, Nita baru dua kali bertatap muka langsung dengan direktur utama. Pertama, saat tes wawancara dan yang terakhir sewaktu penandatanganan kontrak. Setelah itu sosok petinggi mereka bagai tenggelam di dasar bumi. Keberadaannya benar-benar langka untuk ditemukan. Lantas sekarang, kenapa tiba-tiba malah ngajak bertemu? Mencurigakan! "Ada masalah apa kalau boleh tahu?" Pertanyaan Nita menahan posisi Vivian di dekat pintu. "Soal itu saya kurang tahu. Tugas saya hanya menyampaikan pesan dari pihak direktur utama," jawabnya dengan senyum formal. Otak Nita mulai menduga berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Mengingat momen seperti ini cukup langka baginya. Sementara wanita dua tahun diatas Nita itu nyaris beranjak dari posisinya. Namun terhalang oleh sahutan Kandar yang tiba-tiba. "Terimakasih atas informasinya, Vivian. Sebentar lagi kami akan datang ke sana," ucap pria itu. "Oh, baiklah. Nanti akan saya
Selama hampir tiga tahun bekerja di perusahaan perayaman, Nita baru dua kali bertatap muka langsung dengan direktur utama. Pertama, saat tes wawancara dan yang terakhir sewaktu penandatanganan kontrak. Setelah itu sosok petinggi mereka bagai tenggelam di dasar bumi. Keberadaannya benar-benar langka untuk ditemukan. Lantas sekarang, kenapa tiba-tiba malah ngajak bertemu? Mencurigakan! "Ada masalah apa kalau boleh tahu?" Pertanyaan Nita menahan posisi Vivian di dekat pintu. "Soal itu saya kurang tahu. Tugas saya hanya menyampaikan pesan dari pihak direktur utama," jawabnya dengan senyum formal. Otak Nita mulai menduga berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Mengingat momen seperti ini cukup langka baginya. Sementara wanita dua tahun diatas Nita itu nyaris beranjak dari posisinya. Namun terhalang oleh sahutan Kandar yang tiba-tiba. "Terimakasih atas informasinya, Vivian. Sebentar lagi kami akan datang ke sana," ucap pria itu. "Oh, baiklah. Nanti akan saya
"Leherku?" Nita tertegun sesaat mendengar penuturan Mimi. Dalam waktu bersamaan tangan rampingnya mengusap batang leher dengan gerakan cepat. Berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya yang hampir meledak. Padahal, Nita sangat yakin bekas kemerahan itu nyaris hilang. Bahkan masih bisa tertutup oleh kerah kemeja yang dipakainya. Lantas, bagaimana bisa tanda kemerahan yang hampir memudar itu masih terlihatan oleh Mimi? Memangnya mata gadis itu mengandung sinar X-ray apa? "Ah, itu bukan apa-apa. Hanya bekas gigitan nyamuk saja," kilahnya beralasan. Nita sangat berharap rekannya itu percaya. "Benarkah?" Senyum Mimi melebar seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja..." Nita memasang raut wajah yang meyakinkan. "Kamu tahu, aku memiliki tipe kulit yang susah hilang bekasnya kalau digigit nyamuk. Kata orang itu disebut darah manis." Khusus yang ini Nita berkata sesuai fakta. Tubuhnya memang rentan diincar nyamuk, terutama saat menjelang datang bulan. Jadi ia sangat ketergantungan
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
SREEG! Pintu kamar terbuka pelan. Nita terlonjak kaget mendapati kemunculan Kandar yang tiba-tiba bersama bantal dan selimut di tangannya. Mau apa dia kemari? Jangan-jangan... "Saya masuk ya." Kandar langsung bicara, sebelum Nita sempat bertanya. "Ah, iya. Silahkan!" ucapnya setengah terpaksa. Mau ditolak juga percuma, Kandar sudah terlanjur memasuki kamar. Nita yang tadinya sedang berbaring buru-buru bangkit dan duduk di atas kasur. Bersamaan dengan itu pendengarannya menangkap suara khas anak kunci yang diputar cepat. "Kenapa pintunya dikunci? Jangan katakan kalau bapak mau..." Nita menatap tajam ke arah Kandar yang semakin mendekat. "Ini bagian dari rencana kita sebelumnya. Hanya sebagai alibi supaya Rudy tidak curiga." Kandar buru-buru menjelaskan. "Yakin hanya itu?" Nita memasang tampang ragu. Kandar mengangguk, seolah membenarkan. Raut wajahnya sangat meyakinkan di mata Nita. Haruskah ia mempercayainya? Sekalipun pria itu berbohong, tetap saja tidak akan menjadi
Suara dering ponsel memecah ruangan kamar bernuansa gelap. Menarik kesadaran Kandar dari ingatan masa lalu hingga membuatnya terkesiap sesaat. Buru-buru dia meraih ponsel. Sebuah nama familiar yang tertera di layar membuat dahinya mengernyit. Tumben sekali orang ini menelpon.“Halo?” sapa Kandar saat menjawab panggilan."Hai Bro, kau di mana sekarang?" tanya pria di seberang sana tanpa banyak basa-basi."Sekarang masih di rumah. Kenapa kau bertanya?" Kandar seperti mencurigai sesuatu. Tidak biasanya Rudy menelpon jika bukan karena hal darurat."Aku sekarang ada di kota L. Apakah pengantin baru menerima tamu di akhir pekan? Rencananya aku ingin mengujungimu hari ini," kata Rudy.Otak Kandar langsung berpikir cepat. Dia nyaris berkata tidak karena sudah merencanakan sesuatu bersama Nita nanti malam. Tapi setelah dipikir-pikir, justru dengan kemunculan Rudy akan memuluskan ide tersebut."Tentu, ka
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men
Kandar langsung berdehem saat mendekati Nita dan Kenzie. Namun kedua orang ini begitu asyik mengobrol. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya. “Hemm ...!” Kandar sekali lagi berdehem bermaksud menghentikan percakapan itu. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Kandar yang telah kehabisan akal akhirnya menggunakan jurus terakhir. "NITA!" Panggilnya setengah teriak. Obrolan itu seketika terputus. Dua pasang mata di hadapan Kandar langsung menoleh ke arahnya. Tidak seperti Kenzie yang memperlihatkan raut wajah bingung. Sebaliknya Nita melototkan mata saat bersitatap dengan sang suami. "B-bapak?!" sahutnya gugup. Entah kenapa kemunculan kadar yang tiba-tiba membuat perasaan Nita bercampur aduk. Antara terkejut, heran dan penuh pertanyaan. Serta sedikit rasa bersalah. "Dia siapa, Nita?" tanya Kenzie terang-terangan. Kandar nyaris memperkenalkan diri namun Nita dengan cepat menjawab pertanyaan itu. "Beliau ini adalah atasan saya," ucapnya canggung. "Ah, anda atasan Nita r
CUP! Mata Nita sukses terbelalak saat sebuah kecupan mendarat di ujung bibir. Gerakan itu terlalu cepat sampai membuatnya melongo. Hingga beberapa saat kesadarannya kembali, mobil yang Kandar kemudikan sudah bergerak di jalan raya."Astaga! Itu, apaan tadi?" batin Nita tak percaya. Tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh ujung bibir. Bekas kecupan itu masih begitu terasa hingga membuat tubuhnya memanas. Ini pertama kalinya Nita merasakan sentuhan bibir seorang pria. Akibat hal itu tingkahnya terlihat seperti gadis remaja yang tengah puber. "Apakah ini yang namanya ciuman?" "Tidak, itu bukanlah ciuman!" "Hanya sedikit kulit yang menempel dan itupun hanya di ujung bibir. Mana bisa hal itu disebut ciuman." Nita terus bergelut dengan batin dan pikiran logisnya sepanjang perjalanan. Cukup lama perempuan itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pergerakan mobil yang tiba-tiba mengerem mendadak. "Astaga, apa lagi ini..." Ucapan Nita menggantung. Ia ingi
"Sudah hentikan! Jangan bahas itu lagi!"Nita tanpa sadar memekik. Akibat merasa terancam oleh ucapan Kandar yang nyaris membeberkan aibnya. Ia benar-benar tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan dari kalimat pria itu. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba ma-rah..." "Tidak ada! Saya sedang malas mau bicara!" Mata Kandar sejenak menyipit. Merasa keheranan dengan perubahan sikap sang istri yang tiba-tiba. Baru saja mulutnya terbuka beberapa mili ingin mempertanyakan, Nita langsung menyambarnya lagi dengan kalimat telak."Jangan tanya alasannya kenapa. Pokoknya sekarang saya tidak ingin bicara!" Tekannya. Suasana dalam mobil seketika hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang sedang melintas. Di tengah keterdiaman mereka, Nita terus menatap pemandangan luar dari jendela mobil. Pikirannya teralih sejenak oleh bunga-bunga liar yang bermekaran di seberang jalan. Sementara itu, sosok di sebelahnya tengah berupaya memecahkan misteri penyebab mood sang istri yang mendadak