Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
"Leherku?" Nita tertegun sesaat mendengar penuturan Mimi. Dalam waktu bersamaan tangan rampingnya mengusap batang leher dengan gerakan cepat. Berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya yang hampir meledak. Padahal, Nita sangat yakin bekas kemerahan itu nyaris hilang. Bahkan masih bisa tertutup oleh kerah kemeja yang dipakainya. Lantas, bagaimana bisa tanda kemerahan yang hampir memudar itu masih terlihatan oleh Mimi? Memangnya mata gadis itu mengandung sinar X-ray apa? "Ah, itu bukan apa-apa. Hanya bekas gigitan nyamuk saja," kilahnya beralasan. Nita sangat berharap rekannya itu percaya. "Benarkah?" Senyum Mimi melebar seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja..." Nita memasang raut wajah yang meyakinkan. "Kamu tahu, aku memiliki tipe kulit yang susah hilang bekasnya kalau digigit nyamuk. Kata orang itu disebut darah manis." Khusus yang ini Nita berkata sesuai fakta. Tubuhnya memang rentan diincar nyamuk, terutama saat menjelang datang bulan. Jadi ia sangat ketergantungan
Selama hampir tiga tahun bekerja di perusahaan perayaman, Nita baru dua kali bertatap muka langsung dengan direktur utama. Pertama, saat tes wawancara dan yang terakhir sewaktu penandatanganan kontrak. Setelah itu sosok petinggi mereka bagai tenggelam di dasar bumi. Keberadaannya benar-benar langka untuk ditemukan. Lantas sekarang, kenapa tiba-tiba malah ngajak bertemu? Mencurigakan! "Ada masalah apa kalau boleh tahu?" Pertanyaan Nita menahan posisi Vivian di dekat pintu. "Soal itu saya kurang tahu. Tugas saya hanya menyampaikan pesan dari pihak direktur utama," jawabnya dengan senyum formal. Otak Nita mulai menduga berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Mengingat momen seperti ini cukup langka baginya. Sementara wanita dua tahun diatas Nita itu nyaris beranjak dari posisinya. Namun terhalang oleh sahutan Kandar yang tiba-tiba. "Terimakasih atas informasinya, Vivian. Sebentar lagi kami akan datang ke sana," ucap pria itu. "Oh, baiklah. Nanti akan saya
"Maaf pak, kamarnya sisa satu." Jawaban yang meluncur dari bibir resepsionis penginapan membuat Nita kecewa. Ia dan atasannya baru saja terjebak dalam hujan yang sangat lebat. Hanya tempat ini satu-satunya penginapan yang berhasil mereka temui di sepanjang jalan. Berbeda dengan Kandar, si atasan berstatus rangkap. Wajah pria di samping Nita itu terlihat datar nyaris tidak ada ekspresi. Mungkin sedang memikirkan cara penolakan yang tepat tanpa menyinggung perasaan. Sebab sebelumnya mereka sudah sepakat untuk tidur di kamar terpisah, apapun yang terjadi! "Kebetulan kamar ini punya dua kasur terpisah. Ruangan cukup luas, bahkan bisa menampung sampai sepuluh orang dan juga..." Petugas resepsionis masih berusaha menawarkan keunggulan dari penginapan ini. Ah, kelihatan sekali mereka tidak mau kehilangan pelanggan. Padahal sudah jelas dari awal calon penyewa menginginkan dua kamar. Kenapa malah menawarkan kasur terpisah? Begitulah rentetan kalimat yang bersarang di kepala Nita sekaran
Bagaimana bisa Atasan dan Bawahan ini menikah dan menjadi pasutri diam-diam? Jika mengingat hal tersebut ada sedikit rasa penyesalan di sudut hati Nita. Andai waktu bisa diputar kembali ia pasti akan menolak tawaran pindah ke divisi lain. Meskipun gajinya cukup menggiurkan dari tempat lama. Betapa tidak, sejak awal pertemuannya dengan sang suami selalu berujung kesialan. Penyebabnya tak jauh dari persoalan ayam. Mulai dari kasus menu ayam, mangkok ayam, ayam kampus sampai tahi ayam. Bahkan keduanya juga bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang perayaman. "Hacim...hacim!" Langsung saja roh si ayam bersin dari dalam kubur mendengar hal itu. "Aku juga yang kena salahkan," keluhnya pake bahasa ayam. "Ya, maaf. Cuma mau ngasih tau pembaca saja biar tidak ada rasa penasaran diantara kita," jelas sesemakhluk. "Oke lah kalau begitu jangan lupa bintangnya ya," kata roh si ayam sebelum kembali ke alamnya. Baiklah pemirsa, kita kembali ke topik cerita. Kelihatan sih tidak sial-
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suasana dalam kamar penginapan mulai terasa sepi. Hanya terdengar suara gesekan pelan antara tubuh Nita dengan sprei kasur. Perempuan itu tampak gelisah. Sudah beberapa kali mengganti posisi tidur tetap saja matanya tidak mau terpejam. Semua itu gara-gara akibat tragedi bonggol jamur yang membuat Nita jadi susah tidur. Di kepalanya terus terbayang oleh benda pusaka milik Kandar. Besar dan panjang, persis seperti kuncup jamur merang yang menyembul dari tumpukan jerami. "Ah, sial! Padahal itu sayur kesukaanku. Kenapa juga bentuknya harus terlihat mirip seperti senjata pria?" keluh Nita dalam hati. Sedangkan tersangka utama pembuat insomnia sudah tertidur pulas di kasur sebelah. Tampak nyenyak sekali mungkin sudah terbang ke alam mimpi. Nita jadi geregetan melihatnya dan terus menyalahkan keadaan. Jika saja mereka tidak berbagi kamar yang sama pasti mata dan pikirannya tidak ternoda. "Ya, Tuhan. Sampai kapan aku harus begini? Aku butuh istirahat
Argggh! Teriakan Nita menggelegar di dalam ruangan. Semula ia pikir sedang bermimpi. Rupanya tidak, sosok Kandar memanglah nyata dan tidur di sampingnya. "Hey, sudah bangun?" sapa Kandar sambil menguap. Dia turut terbangun gara-gara mendengar teriakan itu. "Bapak apakan saya! Kenapa saya bisa ada di kasur ini?!" Todong Nita sambil menarik selimut, menutupi tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. "Apanya yang kenapa, kamu sendiri yang datang kemari," kata Kandar dengan wajah masih mengantuk. Sama sekali tidak terpengaruh dengan reaksi sang istri. "Mustahil! Jelas-jelas tadi malam saya langsung tidur dan tidak pergi kemanapun." Nita berusaha membela diri. Ia masih ingat bagaimana kondisinya terakhir sebelum menutup mata. "Lah, ini buktinya kamu berada disini. Saya pikir kamu sudah siap mau tidur sekasur bersama. Makanya saya membiarkan kamu," jawabnya dengan tenang. Lagi-lagi ucapan Kandar sulit diterima nalar. Benarkah demikian? Rasanya itu teramat sangat mustahil bagi Nita. "B
KLIKK! Sabuk pengaman baru saja terpasang sempurna di tubuh Kandar. Namun pria itu tidak segera menyalakan mesin mobil. Dia nampak ingin mengatakan sesuatu yang sejak tadi sudah ditahannya. "Tunggu sebentar, Nita! Jangan bergerak dulu!" Suara Kandar yang tiba-tiba sontak menahan aktivitas istrinya. Padahal Nita tengah bersiap-siap memasang sabuk pengaman di mobil. Ada apa ini? "Kenapa, Pak?" Nita menampakkan sedikit raut keheranan. "Panggil suami, Nita!" Kandar langsung menyela. Astaga, lagi-lagi permintaan panggilan itu. Nita menghela nafas sejenak. Jujur saja lidahnya masih terasa canggung karena belum terbiasa. "Kenapa pak suami tiba-tiba menahan saya? Apa anda membutuhkan sesuatu?" Pada akhirnya Nita mengikuti alur. "Bukan saya yang butuh tapi kamu." Jawaban Kandar justru membingungkan. "Eh, bagaimana? Maksudnya apa itu?" Nita berusaha ingin tahu. Bukannya menjawab wajah Kandar justru semakin mendekat. Gelagatnya tampak aneh, persis seperti adegan pria yang ingin mencium