"Hey, kamu! Kenapa berdiri disitu?" Suara seorang pria mengejutkan dari belakang.
Tubuh Nita langsung bergidik kaget. Belum juga melangkah ke arah pintu ruangan manajer sebuah gangguan lain datang menyapa. Betapa ia sangat terkejut saat mendapati siapa sosok pria di belakangnya.
"Kamu?!" Seru mereka serempak.
"Kenapa kamu ada disini?" ucap keduanya bersamaan.
"Astaga! Dia lagi... dia lagi. Kenapa hampir disemua tempat pria mangkok ayam ini selalu ada?" Nita membatin cemas.
Tidak hanya dirinya yang terkejut. Raut wajah pria itupun tak kalah kaget. Namun percakapan di antara mereka tidak sempat berlanjut. Lantaran dari ruangan manajer terdengar seseorang memanggil nama Kandar. Lalu pria mangkok ayam itu langsung merespon.
"Kandar? Jadi ini nama pria mangkok ayam itu?" batin Nita terperangah .
Akhirnya terkuak juga nama asli pria yang sempat membuat penasaran. Tak ingin memperpanjang masalah, Nita pun berinisiatif untuk menyingkir dari hadapan Kandar. Sialnya baru saja mau angkat kaki sudah ketahuan dulu.
"Mau kemana kamu?" Suara itu sukses membuat langkahnya tertahan.
"Mau per-gi..." Nita seakan kesulitan bicara. Entah kenapa aura pria ini terasa berbeda dari pertemuan mereka yang lalu.
"Pergi kemana, hm? Apa yang kamu lakukan disini?" Kandar memasang raut intimidasi sambil melihat Nita dan barang bawaannya segara bergantian.
Ah, padahal Nita juga ingin menanyakan hal yang sama. Kenapa Kandar ada disini? Apakah dia karyawan baru atau hanya sekedar mampir karena sebuah keperluan. Mengingat Nita belum pernah sekalipun melihat wajah Kandar sejak hari pertama kepindahannya.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Tiba-tiba seseorang bicara tak jauh dari posisi mereka.
Dari mana persisnya Nita sama sekali tidak tahu. Ia sudah keburu panik duluan, takut ketahuan oleh atasan sebagai biang keributan. Pada akhirnya Nita reflek menyerahkan barang bawaannya pada Kandar sebelum melarikan diri.
"Hey, tunggu. Kenapa kamu lari!" teriaknya dan Nita sama sekali tidak memperdulikan hal itu.
Satu jam kemudian...
"Astaga! Kenapa aku sangat ceroboh. Harusnya barang itu aku berikan pada manajer. Kenapa jadi sama pria mangkok ayam itu?" gumam Nita frustasi.
Mau menyesal juga sudah terlanjur terjadi. Sekarang yang ada di dalam pikiran Nita adalah mencari cara untuk mengambil barang bawaannya kembali. Ia tidak berharap banyak soal makanan titipan, mungkin saja sudah dilahap habis oleh Kandar. Tapi masalah sampel produk, itu poin pentingnya. Sangat bahaya kalau sampai jatuh ke tangan yang salah.
Tapi bagaimana caranya agar bisa mencari Kandar? Pikiran Nita langsung tertuju pada teman sekantornya yang bernama Mimi. Biasanya wanita itu selalu update soal kabar terkini karyawan perusahaan.
"Eh, Mimi. Apa kamu pernah dengar karyawan yang bernama Kandar di divisi kita?" Nita ingin memastikan.
"Hush! Kamu jangan selancang itu menyebut namanya." Mimi berkata dengan setengah berbisik.
"Kenapa memangnya?" Nita semakin penasaran.
"Kamu belum tau ya kalau beliau itu masih kerabat Direktur," ucap Mimi hati-hati.
"Lantas?" Nita masih tidak mengerti.
"Lantas dia juga manajer kita disini?"
"Apaaa?"
Hari itu Nita seperti mendengar sambaran petir di siang yang panas. Awalnya ia mengira Mimi tengah bercanda soal jabatan Kandar. Mengingat usia pria itu cukup muda dan hanya berselisih dua tahun di atas umurnya. Belum lagi ia belum pernah melihat keberadaan Kandar di kantor ini. Namun rupanya, pekerjaan pria itu memang sering berurusan dengan kegiatan lapangan sehingga sangat jarang muncul di dalam ruangan.
Nita tak tahu apakah ia harus bahagia atau sedih. Lantaran barang titipan itu berada di tangan yang tepat. Belum lagi soal pertemuan mereka di masa lalu yang sempat membuatnya sebal. Nita menyesal sudah terlibat pada orang yang salah, yaitu atasannya sendiri. Apakah Kandar akan mempersulitnya di masa depan?
Seiring waktu ada sedikit kelegaan di hati Nita. Sejak kejadian di ruang manajer hari itu ia dan Kandar tidak pernah lagi bertemu. Nita pikir masalah mereka sudah selesai. Nyatanya dua minggu kemudian badai kehidupan karyawan bawahan mulai menerpa perempuan ini.
"Nita, kamu dipanggil pak manajer ke ruangan."
Wajah serius Mimi kala itu seolah menunjukan ada masalah besar. Nita bertanya apa yang terjadi. Namun Mimi tidak tahu apapun dan hanya bertugas menyampaikan pesan dari Kandar. Perasaan Nita menjadi cemas luar biasa saat memasuki ruangan manajer. Ia hanya bisa pasrah kalau sampai dipecat gara-gara masalah pribadi antara mereka yang belum selesai.
"Jadi kamu yang mengerjakan laporan ini?" tanya Kandar sambil memperlihatkan file yang ada di tangannya.
"B-benar pak," jawab Nita ketakutan.
Tidak menyangka laporan yang ia kerjakan selama beberapa hari terakhir adalah milik Kandar. Sebab team leader yang memberikan padanya langsung.
"Kamu lengkapi beberapa laporan disana dan selesaikan dalam tiga hari." Mata Kandar terarah pada lima tumpukan file di mejanya.
Nita tercengang sesaat. "Eh, kenapa saya?"
"Karena mulai sekarang kamu adalah asisten saya."
"Tapi pak, saya baru sebulan pindah ke divisi ini."
"Saya tidak peduli. Saya hanya butuh seseorang yang kerjaannya sat-set tapi terarah."
Tak ada pilihan lain, Nita terpaksa menerima tawaran itu. Daripada ia dipecat dan kehilangan pekerjaan. Setidaknya harus dicoba dulu selama beberapa bulan sebelum memutuskan untuk lanjut ataupun menyerah.
***
Tiga bulan sejak hari itu…
"Ya, Tuhan. Sampai kapan aku akan begini terus?" keluh Nita saat melihat tumpukan file di atas mejanya.
Hari itu ia lembur lagi sampai jam 8 malam. Sejak menjadi bawahan Kandar, Nita nyaris lupa waktu. Tak jarang sampai menginap di kantor.
"Rasanya aku ingin terbang sekarang," gumamnya lalu menyandarkan tubuh di badan kursi.
"Memangnya kamu itu burung?" Kandar tiba-tiba muncul di atas wajahnya. Sontak Nita langsung berteriak saking terkejut.
"Bapak! Kenapa Anda suka sekali muncul tiba-tiba dan mengejutkan saya. Bisa tidak kalau muncul pakai suara?!" protes Nita.
"Dasar kamu saja yang budek. Tadi saya sudah memanggilmu beberapa kali." Kandar berkelit, tak mau kalah berdebat.
"Tidak mungkin, bapak pasti senga-ja..." Ucapan Nita langsung terputus lantaran Kandar meletakkan kantong putih besar di atas meja.
"Apa ini?" Nita pura-pura bertanya. Dari aromanya saja sudah jelas kalau didalam kantong itu berisi makanan.
"Makan malam," sahut Kandar singkat.
Benar saja, atasannya itu membelikan dua porsi ayam bakar beserta cemilan brownies lumer yang cukup besar. Ditambah tiga botol susu soya kesukaan Nita. Tumben sekali pria ini begitu baik biasanya mereka beli makanan sendiri-sendiri.
"Kenapa bapak belum pergi?" tanya Nita heran. Melihat Kandar mengambil kursi lain dan duduk disampingnya .
"Saya juga belum makan," ucapnya sambil meraih salah satu dari ayam bakar tersebut.
Ah, pantas saja porsinya banyak ternyata untuk dimakan berdua. Nita tidak berkata lagi dan mulai menikmati makan malamnya. Baru setelah mereka selesai dengan makanan masing-masing mendadak Kandar menyerahkan dompet yang tidak asing pada Nita.
"Loh, ini kan dompet saya yang ketinggalan di rumah. Kenapa bisa sama bapak?" tanya Nita heran.
"Kamu meninggalkannya di ruangan ini kemarin. Jadi saya amankan dulu," jelas Kandar.
Saat Nita meraih dompet tersebut, pria itu masih melanjutkan kata-katanya. "Kebetulan tadi saya lupa bawa uang cash dan belum sempat ke ATM. Jadi semua makanan ini saya bayar pakai uangmu dulu."
"Apaaaa?" Nita tampak syok mendengarnya.
Seperti kata pepatah, malu bertanya maka tak tahu. Kalau dibiarkan jadi penasaran. Serba salah bukan? Begitulah situasi hati dan pikiran Nita saat ini. Sejak mereka bertolak dari penginapan, otaknya mulai tidak konsen. Perubahan sikap Kandar yang terkesan mendadak sungguh membuat tanda tanya besar di kepala. Apakah pria itu merasa malu gara-gara hampir menciumnya di parkiran penginapan tadi? Atau mungkin karena suatu alasan lain yang telah melibatnya dirinya? Nita sama sekali tidak bisa menebaknya. "Ayolah bicara dan tanyakan padanya langsung!" Seru perempuan itu dalam hati. Sementara matanya menatap lekat pada Kandar yang tengah fokus menyetir. Meskipun sudah sebulan menjadi istrinya, Nita masih agak canggung membahas sesuatu diluar pekerjaan. Apalagi jika menyangkut masalah privasi seperti ini. Bedacerita kalau Kandar yang memulainya terlebih dahulu. "Apa harus aku memancingnya agar dia mau membahasnya terlebih dahulu?" batin Nita berbisik. "Kenapa kamu menatap seperti itu
"Sudah hentikan! Jangan bahas itu lagi!"Nita tanpa sadar memekik. Akibat merasa terancam oleh ucapan Kandar yang nyaris membeberkan aibnya. Ia benar-benar tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan dari kalimat pria itu. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba ma-rah..." "Tidak ada! Saya sedang malas mau bicara!" Mata Kandar sejenak menyipit. Merasa keheranan dengan perubahan sikap sang istri yang tiba-tiba. Baru saja mulutnya terbuka beberapa mili ingin mempertanyakan, Nita langsung menyambarnya lagi dengan kalimat telak."Jangan tanya alasannya kenapa. Pokoknya sekarang saya tidak ingin bicara!" Tekannya. Suasana dalam mobil seketika hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang sedang melintas. Di tengah keterdiaman mereka, Nita terus menatap pemandangan luar dari jendela mobil. Pikirannya teralih sejenak oleh bunga-bunga liar yang bermekaran di seberang jalan. Sementara itu, sosok di sebelahnya tengah berupaya memecahkan misteri penyebab mood sang istri yang mendadak
CUP! Mata Nita sukses terbelalak saat sebuah kecupan mendarat di ujung bibir. Gerakan itu terlalu cepat sampai membuatnya melongo. Hingga beberapa saat kesadarannya kembali, mobil yang Kandar kemudikan sudah bergerak di jalan raya."Astaga! Itu, apaan tadi?" batin Nita tak percaya. Tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh ujung bibir. Bekas kecupan itu masih begitu terasa hingga membuat tubuhnya memanas. Ini pertama kalinya Nita merasakan sentuhan bibir seorang pria. Akibat hal itu tingkahnya terlihat seperti gadis remaja yang tengah puber. "Apakah ini yang namanya ciuman?" "Tidak, itu bukanlah ciuman!" "Hanya sedikit kulit yang menempel dan itupun hanya di ujung bibir. Mana bisa hal itu disebut ciuman." Nita terus bergelut dengan batin dan pikiran logisnya sepanjang perjalanan. Cukup lama perempuan itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pergerakan mobil yang tiba-tiba mengerem mendadak. "Astaga, apa lagi ini..." Ucapan Nita menggantung. Ia ingi
Kandar langsung berdehem saat mendekati Nita dan Kenzie. Namun kedua orang ini begitu asyik mengobrol. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya. “Hemm ...!” Kandar sekali lagi berdehem bermaksud menghentikan percakapan itu. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Kandar yang telah kehabisan akal akhirnya menggunakan jurus terakhir. "NITA!" Panggilnya setengah teriak. Obrolan itu seketika terputus. Dua pasang mata di hadapan Kandar langsung menoleh ke arahnya. Tidak seperti Kenzie yang memperlihatkan raut wajah bingung. Sebaliknya Nita melototkan mata saat bersitatap dengan sang suami. "B-bapak?!" sahutnya gugup. Entah kenapa kemunculan kadar yang tiba-tiba membuat perasaan Nita bercampur aduk. Antara terkejut, heran dan penuh pertanyaan. Serta sedikit rasa bersalah. "Dia siapa, Nita?" tanya Kenzie terang-terangan. Kandar nyaris memperkenalkan diri namun Nita dengan cepat menjawab pertanyaan itu. "Beliau ini adalah atasan saya," ucapnya canggung. "Ah, anda atasan Nita r
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men
Suara dering ponsel memecah ruangan kamar bernuansa gelap. Menarik kesadaran Kandar dari ingatan masa lalu hingga membuatnya terkesiap sesaat. Buru-buru dia meraih ponsel. Sebuah nama familiar yang tertera di layar membuat dahinya mengernyit. Tumben sekali orang ini menelpon.“Halo?” sapa Kandar saat menjawab panggilan."Hai Bro, kau di mana sekarang?" tanya pria di seberang sana tanpa banyak basa-basi."Sekarang masih di rumah. Kenapa kau bertanya?" Kandar seperti mencurigai sesuatu. Tidak biasanya Rudy menelpon jika bukan karena hal darurat."Aku sekarang ada di kota L. Apakah pengantin baru menerima tamu di akhir pekan? Rencananya aku ingin mengujungimu hari ini," kata Rudy.Otak Kandar langsung berpikir cepat. Dia nyaris berkata tidak karena sudah merencanakan sesuatu bersama Nita nanti malam. Tapi setelah dipikir-pikir, justru dengan kemunculan Rudy akan memuluskan ide tersebut."Tentu, ka
SREEG! Pintu kamar terbuka pelan. Nita terlonjak kaget mendapati kemunculan Kandar yang tiba-tiba bersama bantal dan selimut di tangannya. Mau apa dia kemari? Jangan-jangan... "Saya masuk ya." Kandar langsung bicara, sebelum Nita sempat bertanya. "Ah, iya. Silahkan!" ucapnya setengah terpaksa. Mau ditolak juga percuma, Kandar sudah terlanjur memasuki kamar. Nita yang tadinya sedang berbaring buru-buru bangkit dan duduk di atas kasur. Bersamaan dengan itu pendengarannya menangkap suara khas anak kunci yang diputar cepat. "Kenapa pintunya dikunci? Jangan katakan kalau bapak mau..." Nita menatap tajam ke arah Kandar yang semakin mendekat. "Ini bagian dari rencana kita sebelumnya. Hanya sebagai alibi supaya Rudy tidak curiga." Kandar buru-buru menjelaskan. "Yakin hanya itu?" Nita memasang tampang ragu. Kandar mengangguk, seolah membenarkan. Raut wajahnya sangat meyakinkan di mata Nita. Haruskah ia mempercayainya? Sekalipun pria itu berbohong, tetap saja tidak akan menjadi
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
Selama hampir tiga tahun bekerja di perusahaan perayaman, Nita baru dua kali bertatap muka langsung dengan direktur utama. Pertama, saat tes wawancara dan yang terakhir sewaktu penandatanganan kontrak. Setelah itu sosok petinggi mereka bagai tenggelam di dasar bumi. Keberadaannya benar-benar langka untuk ditemukan. Lantas sekarang, kenapa tiba-tiba malah ngajak bertemu? Mencurigakan! "Ada masalah apa kalau boleh tahu?" Pertanyaan Nita menahan posisi Vivian di dekat pintu. "Soal itu saya kurang tahu. Tugas saya hanya menyampaikan pesan dari pihak direktur utama," jawabnya dengan senyum formal. Otak Nita mulai menduga berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Mengingat momen seperti ini cukup langka baginya. Sementara wanita dua tahun diatas Nita itu nyaris beranjak dari posisinya. Namun terhalang oleh sahutan Kandar yang tiba-tiba. "Terimakasih atas informasinya, Vivian. Sebentar lagi kami akan datang ke sana," ucap pria itu. "Oh, baiklah. Nanti akan saya
"Leherku?" Nita tertegun sesaat mendengar penuturan Mimi. Dalam waktu bersamaan tangan rampingnya mengusap batang leher dengan gerakan cepat. Berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya yang hampir meledak. Padahal, Nita sangat yakin bekas kemerahan itu nyaris hilang. Bahkan masih bisa tertutup oleh kerah kemeja yang dipakainya. Lantas, bagaimana bisa tanda kemerahan yang hampir memudar itu masih terlihatan oleh Mimi? Memangnya mata gadis itu mengandung sinar X-ray apa? "Ah, itu bukan apa-apa. Hanya bekas gigitan nyamuk saja," kilahnya beralasan. Nita sangat berharap rekannya itu percaya. "Benarkah?" Senyum Mimi melebar seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja..." Nita memasang raut wajah yang meyakinkan. "Kamu tahu, aku memiliki tipe kulit yang susah hilang bekasnya kalau digigit nyamuk. Kata orang itu disebut darah manis." Khusus yang ini Nita berkata sesuai fakta. Tubuhnya memang rentan diincar nyamuk, terutama saat menjelang datang bulan. Jadi ia sangat ketergantungan
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Bagi seorang Nita, ia sedang dalam masalah besar. Perempuan itu tampak bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Meskipun rutinitas produktif akan dimulai 75 menit lagi, tetap saja ia merasa terancam akan telat datang ke kantor. "Kalau saja sekarang bukan hari senin pasti aku tidak sepanik ini," gumamnya cemas sambil meraih tas kerja dan bergegas keluar kamar. Bagaimana tidak panik kalau setiap senin jalanan selalu diwarnai dengan kemacetan. Belum lagi sulitnya mencari ojek yang bisa mengantar tepat waktu. Betapa Nita sangat menyesal karena gara-gara salah setel jam alarm, ia sampai bangun kesiangan. Lantas, bagaimana dengan Kandar? Tampaknya pria itu belum terlalu lama pergi. Jejak aroma apel segar miliknya masih tercium hingga ke pintu depan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Nita. Sebab, selama ini mereka selalu berangkat kerja secara terpisah demi menghindari kecurigaan orang-orang di kantor. Belum lagi setelah kejadian kemarin
SREEG! Pintu kamar terbuka pelan. Nita terlonjak kaget mendapati kemunculan Kandar yang tiba-tiba bersama bantal dan selimut di tangannya. Mau apa dia kemari? Jangan-jangan... "Saya masuk ya." Kandar langsung bicara, sebelum Nita sempat bertanya. "Ah, iya. Silahkan!" ucapnya setengah terpaksa. Mau ditolak juga percuma, Kandar sudah terlanjur memasuki kamar. Nita yang tadinya sedang berbaring buru-buru bangkit dan duduk di atas kasur. Bersamaan dengan itu pendengarannya menangkap suara khas anak kunci yang diputar cepat. "Kenapa pintunya dikunci? Jangan katakan kalau bapak mau..." Nita menatap tajam ke arah Kandar yang semakin mendekat. "Ini bagian dari rencana kita sebelumnya. Hanya sebagai alibi supaya Rudy tidak curiga." Kandar buru-buru menjelaskan. "Yakin hanya itu?" Nita memasang tampang ragu. Kandar mengangguk, seolah membenarkan. Raut wajahnya sangat meyakinkan di mata Nita. Haruskah ia mempercayainya? Sekalipun pria itu berbohong, tetap saja tidak akan menjadi
Suara dering ponsel memecah ruangan kamar bernuansa gelap. Menarik kesadaran Kandar dari ingatan masa lalu hingga membuatnya terkesiap sesaat. Buru-buru dia meraih ponsel. Sebuah nama familiar yang tertera di layar membuat dahinya mengernyit. Tumben sekali orang ini menelpon.“Halo?” sapa Kandar saat menjawab panggilan."Hai Bro, kau di mana sekarang?" tanya pria di seberang sana tanpa banyak basa-basi."Sekarang masih di rumah. Kenapa kau bertanya?" Kandar seperti mencurigai sesuatu. Tidak biasanya Rudy menelpon jika bukan karena hal darurat."Aku sekarang ada di kota L. Apakah pengantin baru menerima tamu di akhir pekan? Rencananya aku ingin mengujungimu hari ini," kata Rudy.Otak Kandar langsung berpikir cepat. Dia nyaris berkata tidak karena sudah merencanakan sesuatu bersama Nita nanti malam. Tapi setelah dipikir-pikir, justru dengan kemunculan Rudy akan memuluskan ide tersebut."Tentu, ka
Sore yang cerah, namun tidak secerah hati Nita. Perempuan itu duduk melamun di kamar sambil menatap sembarang ke luar jendela kaca. Segenap pikirannya sekarang masih tidak lepas oleh kejadian beberapa jam yang lalu.Saat itu Nita sedang bersiap untuk makan siang bersama Kandar. Dengan tatapan intens ia terus memperhatikan detik-detik sang suami menyantap masakannya. Perasan khawatir mulai menyerang jika rasanya tidak sesuai selera. Begitu makanan itu berhasil melewati kerongkongan Kandar tidak ada kesan mengecewakan yang terlihat. Benarkah demikian?"Bagaimana rasanya?" Nita memberanikan diri untuk memastikan."Sangat luar biasa," jawab Kandar singkat. Tapi sejurus itu tangannya langsung menyambar gelas minuman.Entah kenapa Nita merasa tidak yakin. Baginya gelagar Kandar agak sedikit meragukan. Apalagi ia lupa mencicipi rasa masakannya dan hanya bermodalkan feeling."Kamu tidak ikut makan?" Pertanyaan Kandar men
Kandar langsung berdehem saat mendekati Nita dan Kenzie. Namun kedua orang ini begitu asyik mengobrol. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya. “Hemm ...!” Kandar sekali lagi berdehem bermaksud menghentikan percakapan itu. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Kandar yang telah kehabisan akal akhirnya menggunakan jurus terakhir. "NITA!" Panggilnya setengah teriak. Obrolan itu seketika terputus. Dua pasang mata di hadapan Kandar langsung menoleh ke arahnya. Tidak seperti Kenzie yang memperlihatkan raut wajah bingung. Sebaliknya Nita melototkan mata saat bersitatap dengan sang suami. "B-bapak?!" sahutnya gugup. Entah kenapa kemunculan kadar yang tiba-tiba membuat perasaan Nita bercampur aduk. Antara terkejut, heran dan penuh pertanyaan. Serta sedikit rasa bersalah. "Dia siapa, Nita?" tanya Kenzie terang-terangan. Kandar nyaris memperkenalkan diri namun Nita dengan cepat menjawab pertanyaan itu. "Beliau ini adalah atasan saya," ucapnya canggung. "Ah, anda atasan Nita r
CUP! Mata Nita sukses terbelalak saat sebuah kecupan mendarat di ujung bibir. Gerakan itu terlalu cepat sampai membuatnya melongo. Hingga beberapa saat kesadarannya kembali, mobil yang Kandar kemudikan sudah bergerak di jalan raya."Astaga! Itu, apaan tadi?" batin Nita tak percaya. Tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh ujung bibir. Bekas kecupan itu masih begitu terasa hingga membuat tubuhnya memanas. Ini pertama kalinya Nita merasakan sentuhan bibir seorang pria. Akibat hal itu tingkahnya terlihat seperti gadis remaja yang tengah puber. "Apakah ini yang namanya ciuman?" "Tidak, itu bukanlah ciuman!" "Hanya sedikit kulit yang menempel dan itupun hanya di ujung bibir. Mana bisa hal itu disebut ciuman." Nita terus bergelut dengan batin dan pikiran logisnya sepanjang perjalanan. Cukup lama perempuan itu sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pergerakan mobil yang tiba-tiba mengerem mendadak. "Astaga, apa lagi ini..." Ucapan Nita menggantung. Ia ingi
"Sudah hentikan! Jangan bahas itu lagi!"Nita tanpa sadar memekik. Akibat merasa terancam oleh ucapan Kandar yang nyaris membeberkan aibnya. Ia benar-benar tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan dari kalimat pria itu. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba ma-rah..." "Tidak ada! Saya sedang malas mau bicara!" Mata Kandar sejenak menyipit. Merasa keheranan dengan perubahan sikap sang istri yang tiba-tiba. Baru saja mulutnya terbuka beberapa mili ingin mempertanyakan, Nita langsung menyambarnya lagi dengan kalimat telak."Jangan tanya alasannya kenapa. Pokoknya sekarang saya tidak ingin bicara!" Tekannya. Suasana dalam mobil seketika hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang sedang melintas. Di tengah keterdiaman mereka, Nita terus menatap pemandangan luar dari jendela mobil. Pikirannya teralih sejenak oleh bunga-bunga liar yang bermekaran di seberang jalan. Sementara itu, sosok di sebelahnya tengah berupaya memecahkan misteri penyebab mood sang istri yang mendadak