Remang-remang. Itu yang Ara lihat ketika kakinya menapaki sebuah ruangan yang ada di dalam rumahnya. Beberapa botol wine yang telah kosong nampak berjejer di atas meja, dilengkapi dengan puluhan putung rokok yang berserakan di mana-mana. Papan dart di sudut ruangan, menjadi objek pelengkap yang cukup mengagumkan. Dan yang paling menyita perhatian Ara adalah seorang pria yang kini terduduk memejamkan mata. Ara menatapnya nanar. Hatinya seketika sakit melihat kondisi Ghazi yang jauh dari kata baik. Tubuh pria itu nampak lebih kurus dengan tulang selangka yang cukup kentara. Rambutnya tumbuh memanjang, membingkai pipi tirus yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa ada yang tertinggal?" Suara serak Ghazi yang baru saja terdengar berhasil menggetarkan hati Ara. Setelah sekian lama, akhirnya Ara bisa kembali mendengar suara yang amat sangat ia rindukan. Perlahan, kedua kakinya melangkah mendekati sang suami. Tepat di samping telinga pria itu Ara pun berbisik, "Ada, suami saya yang terti
"Kenapa rumah ini terlihat sepi?" Ara berdiri menatap bangunan megah di depannya. Setelah bertukar pikiran, akhirnya Ara dan Ghazi memutuskan untuk kembali tinggal di rumah mereka yang ada di kota. Awalnya Ara sedikit ragu, wanita itu takut akan trauma yang ia miliki. Namun saat mengingat kalau di rumah ini sudah banyak kenangan yang tercipta, Ara pun memilih untuk menempatinya. "Mungkin semua orang ada di dalam, ayo kita masuk Amour." Ara mengangguk. Ia berjalan mengikuti Ghazi yang terus menggenggam tangannya. Saat pintu sudah terbuka, suasana baru langsung tersugu menyambut mata. Ara tergemap melihat isi rumah Ghazi yang nampak sangat berbeda. Ruangannya memang masih sama, tetapi interiornya berubah menjadi lebih simpel nan hangat, tanpa menghilangkan kesan mewahnya."Ini benar rumah kita Mas?" Ghazi mengecup ringan dahi Ara yang kebingungan. Pria itu menarik koper mereka dan meletakkannya di dekat sofa. "Ini rumah kita, Amour. Saya sengaja merubahnya supaya kamu nggak menginga
"Sudah." Suara itu terdengar ketika Ara telah selesai memasangkan dasi milik Ghazi. Ia menatap kagum wajah sang suami yang kini mulai berisi. Janggut tipis serta rambut panjang pria itu juga sudah hilang dari pandangan. "Hari ini saya izin keluar ya Mas?" Ghazi yang tengah memperhatikan pantulan dirinya di kaca pun seketika mengalihkan fokusnya pada sang istri. "Kamu mau ke mana?" "Bertemu Biru." Sebelum Ghazi menolaknya, Ara lebih dulu merapatkan tubuhnya dan menatap pria itu penuh harap. "Please ... kasih saya izin Mas." Ghazi mengerjap pelan. Kalau istrinya sudah memohon seperti ini, ia bisa apa? "Saya kasih izin tapi kamu harus pergi dengan para pengawal." putusnya. Jujur saja Ghazi sedikit was-was melepas Ara pergi tanpa dirinya. Perjalanan jauh menuju panti asuhan tentu membuka peluang besar bagi para musuh untuk mendekati wanita itu."Oke saya setuju. Kalau begitu, ayo sekarang kamu berangkat ke--""Saya nggak mau kerja kalau belum dikasih jatah."Uhuk. Ara terbatuk menden
Kecipak-kecipak.Pantulan rembulan di dalam kolam renang seketika bergoyang saat Ara mengayunkan kedua kakinya. Semilir angin malam ikut berhembus pelan membawa ketenangan. Kendati demikian, itu tak cukup untuk mendamaikan pikiran Ara. Ucapan Fella pagi tadi terus terngiang mengacaukan suasana hatinya. Memaksa Ara untuk kembali mengingat kejadian enam tahun silam di mana ia mengalami kecelakaan tunggal.Kala itu, Zelin bercerita kalau dirinya pernah kesulitan mencari donor darah untuk Ara yang mengalami luka cukup parah. Dari sana, Ara menyimpulkan kalau golongan darahnya tak sama dengan sang mama. Penasaran, Ara juga mengecek catatan medis milik Dany dan menemukan kalau golongan darahnya juga berbeda dengan pria itu. Yang jadi pertanyaan, bagaimana bisa Dany yang A dan Zelin yang AB bisa menghasilkan Ara yang bergolongan darah O negatif? Itu benar-benar menyimpang. Ara masih sangat ingat ekspresi wajah Zelin yang langsung memucat saat dirinya menanyakan masalah ini. Wanita itu hanya
"Apa kamu sudah lebih baik?"Ara berjalan mendekati Carol yang sedang menata beberapa baju ke dalam lemari. Tanpa permisi, wanita itu duduk di tepian ranjang yang tidak terlalu besar. "Saya sudah lebih baik, Nyonya." sahut Carol tersenyum kecil.Ara mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanita itu mengedarkan pandangan memperhatikan kamar milik Carol. Kamar berukuran 3 x 4 meter itu tertata sangat rapih. Hanya ada satu tempat tidur, satu lemari, dan satu set meja kecil dengan kursi. Di atas meja tersebut juga tidak ada barang lain selain tiga buah buku dan sebuah jam beker. Dari tatanan kamar ini, Ara menjadi sedikit tahu tentang karakter Carol. Orang pemilik kamar minimalis, biasanya lebih pendiam dan cenderung sulit mengekspresikan emosinya. Namun di beberapa kondisi, ia tak akan ragu menyampaikan pendapatnya secara langsung kepada yang bersangkutan. Warna netral yang dipilih untuk kamar ini juga menggambarkan kalau Carol lebih fokus pada diri sendiri dan selalu memperhatikan keseimbang
"Apa yang membuatmu datang kemari?" Jeni mendongak menatap resah punggung wanita di depannya. Detak jantungnya bertalu dengan kedua tangan saling meremas antara takut dan ragu. Haruskah ia mengatakan semuanya? "Apa aku pernah mengizinkanmu memiliki rasa takut Jen?" Suara si wanita kembali mengalun rendah menyadarkan Jeni dari keraguan. Wanita paruh baya itu pun memberanikan diri mendekat seraya berkata, "Seminggu yang lalu, saya tak sengaja melihat keberadaan Laksmi." Gerakan tangan si wanita yang tengah memberi makan sekumpulan ikan piranha seketika terhenti. Raut wajahnya berubah keruh dengan tatapan dingin yang begitu menusuk. "Apa yang dia lakukan?""Saya melihatnya sedang membeli makanan bersama seorang perawat. Saat saya mencoba mengejarnya, dia menghilang begitu saja. Dan tiga hari yang lalu, mayatnya ditemukan terbakar di sebuah rumah kosong." jelas Jeni.Sudut bibir si wanita terangkat dengan pandangan yang mulai melunak. Tangannya kembali bergerak ringan menabur potonga
"Mama Papa, ini aku Biru. Ayo cepat buka pintunya!"Kedatangan Biru mengakhiri percakapan Ara dengan Ghazi maupun Willy. Biru yang katanya rewel, terpaksa diantarkan ke rumah kelurga Addaith oleh ibu panti. Dan sini lah anak kecil itu, duduk bersilah dengan tumpukan lego yang belum terbentuk."Kapal selam dalam lima belas menit, apa kamu siap?" Kedua mata Biru sontak melebar. "Papa bercanda?" serunya. Pipi yang sudah berlumur cairan hitam akibat kalah dalam menyusun lego di babak sebelumnya, membuat anak itu terlihat sangat lucu. "Papa serius, gimana? Apa kamu siap?" Biru nampak terdiam ragu. Kekalahan yang beberapa saat lalu ia dapatkan berhasil mengikis sedikit keberaniannya. Namun mobil Jeep kecil yang Ghazi janjikan jikalau ia menang, membuat semangat anak itu kembali berkobar."Oke ayo mulai!"Ara tersenyum hangat menyaksikan kedekatan Ghazi dengan Biru. Ia bersyukur karena akhirnya sang suami bisa lebih santai tanpa memikirkan pekerjaan. Kehadiran Biru juga sedikit mengobati
"Apa Nenek mau ikut?" tanya Biru menelengkan kepala. Anak kecil itu sudah rapi dengan balutan seragam olahraga. Ia duduk berdua bersama Giana menyantap sepotong roti dan segelas susu. Giana tersenyum lembut. Tangan wanita itu bergerak mengolesi roti lain dengan selai coklat sebelum meletakkannya ke atas piring milik Biru. "Kalau nenek ikut, nanti nenek tidurnya di mana? Kan tendanya cuma satu." Giana, sudah mengenal Biru. Mendengar kisah hidup anak itu, Giana ikut prihatin. Ia yang biasanya sangat selektif dalam memberi izin seseorang untuk masuk ke dalam keluarga Addaith pun memberi kelonggaran untuk Biru. Bahkan, wanita itu bersikap layaknya seorang nenek yang sangat menyayangi cucunya."Nggak Nek, kata Bu guru, tendanya itu ada banyak." ucap Biru mengangkat sepuluh jarinya. Mulut yang masih penuh dengan roti, membuat pipi anak itu mengembang dua kali lipat, mengundang tawa Giana."Tapi itu kan buat teman-teman kamu, kalau dipakai sama nenek, terus mereka gimana?" Biru terdiam n