Bias mentari menghangat, sinarnya menerobos dan tepat mengenai wajahku yang masih terlelap nyaman di peraduan king size dengan ukuran Garuda emas.
Percuma, tidur sendiri.
Kulirik weker di sisi tempat tidur, waktu telah menunjukkan pukul 07:30 pagi. Kusibak selimut lalu bangkit menuju kamar mandi. Kutatap wajahku di cermin sambil membasuh tangan, sedikit kumajukan badanku mendekat ke kaca tersebut.
"Aku masih cantik walau dengan sedikit garis-garis samar di wajah, aku tetap menarik, tapi kenapa Mas Andri enggan mendekatiku? Apa yang salah?" bisikku bersenandika.
Kutatap tubuhku, sedikit memutar, masih semampai seperti semula, dibalut baju tidur satin merah yang lembut dan menggoda,
aku tak kalah mempesonanya dengan mereka yang masih muda-muda.Selepas dari kamar mandi aku turun ke lantai bawah, berniat menyeduh kopi dan sedikit berolah-raga di gym pribadi milik kami. Kegiatan semacam ini memang tak pernah absen kulakukan tiap pagi, disamping menjaga kesehatan, bentuk tubuhku yang sintal harus selalu terjaga.
Namun baru saja lima menit melakukan pemanasan tiba-tiba gawaiku berbunyi.
Tring ...
"Halo," sapaku.
"Sabrina," ucapnya dari seberang sana.
Rupanya ia suamiku, tumben ia menelepon sepagi ini.
"Ada apa Mas?" Tanyaku.
"Kamu bisa ke kantor?"
"Uhm, aku lihat jadwalku dulu, Mas. Memangnya kenapa?"
"Ada pertemuan dan makan siang formal dengan kolega, ini kesempatan kita sebagai pebisnis di bawah mereka untuk bersikap ramah dan mengambil hati, terlebih lagi, Mas ingin menjalin kerja sama dengan mereka, bisa kan?"
"Bisa, Mas."
"Kalo gitu aku tunggu, ya. Apakah kamu bisa nyetir sendiri atau saya suruh Handy untuk menjemput kamu."
Deg.
Tiba-tiba jantungku bergemuruh ketika nama Handy disebut Mas Andri. Apakah Handy yang suamiku sebut adalah handy yang kukenal?
"Apa tadi, Mas. Handy? Emang Mas kenal?"
"Iya, dong. Aku yang rekomendasikan dia untuk bekerja di yayasan kamu."
"Oh, a-aku gak tahu Mas." Aku agak gugup mendengar penjelasan suamiku.
"Aku memintanya untuk melayani dan mengantarkan kalian, jika mendadak ada kegiatan. Gak apa kan?"
"Iya, tentu aja, Mas," jawabku kikuk.
"Handy anak yang rajin, baik, dan sopan juga good looking. Para sosialita itu pasti suka diantarkan olehnya sebagai supir yayasan," kata Mas Andri dengan nada bercanda.
"Ah, eh ... Anu, mungkin aja Mas, he he he," jawabku tetap berusaha tak terdengar aneh.
"Kamu kenal kan, sama dia?"
Lebih dari itu sayangku.
"Iya, Mas, beberapa kali kami ke lokasi bakti sosial bersama."
"Oke, jam sebelas kutunggu di kantor ya," katanya.
"Iya, baik Mas."
*
Kukenakan V-neck dress berwarna hijau tosca dengan kombinasi brokat transparan di bagian bahu dan lengan. Ukurannya sangat pas di tubuhku yang langsing.Kupoles make up dan blush on di wajah secantik mungkin lalu sentuhan lipstik merah sebagai penyempurna.
Kuraih sepatu dan mantel putih milikku serta tas. Lalu bergegas keluar ke pintu gerbang. Di sana sebuah mobil sedan dengan logo mata kucing telah menunggu. Nampak dari balik kemudi seorang pemuda tampan menyunggingkan senyum ke arahku. Sejurus kemudian ia turun lalu memutar arah membuka pintu mobil untukku.
Melihatnya yang rapi dengan tatanan rambut klimis yang di beri Pomade serta mengenakan kemeja putih dan dasi membuat jantungku ingin berlompatan dari rongga dada. Ada gejolak bahagia dan debaran yang tidak bisa kuhindari kehadirannya. Apalagi mengingat kejadian kemarin sore.
Sekuat tenaga aku bersikap biasa-biasa saja.
"Silakan nyonya," katanya dengan senyum ramah."Makasih," balasku.
"Langsung ke kantor Pak Andri?"
"Iya," jawabku singkat.
Di perjalanan kulihat pantulan wajah pemuda itu dari kaca yang menggantung di depan, dia amat menggetarkan.
"Sebenarnya kau supir untuk yayasan saya atau supir untuk Pak Andri," cetusku membuka pembicaraan di mobil.
Ia menatapku dari kaca spion di hadapannya, dan pandangan kami bertemu di sana. Lama ia menatapku penuh arti, mimik bibirnya yang tipis dan merah muda tersenyum membuatku makin gugup, seolah olah ia ingin menerkamku dengan buas.
"Apa, kenapa gak jawab," kataku mendesaknya.
"Saya fleksibel aja, Nyonya, toh, Pak Andri juga yang membayar gaji saya."
"Oh," jawabku singkat sambil membuang pandangan ke gedung-gedung yang berbaris rapi di sisi jalan.
"Tapi ... Anda cantik sekali siang ini."
Deg.
"Duh, bisakah ia tak perlu menggodaku?" Batinku yang semakin merasa tak nyaman karena gelisah dengan debaran jantung sendiri.
"Eh, ehm, makasih."
"Saya merindukanmu," ucapnya lembut, "semakin rindu ... apalagi mengingat yang kema ...."
"A, tolong sedikit cepat, karena aku gak mau terlambat bertemu klien suami," potongku sebelum ia sukses membuatku lumer di mobil ini.
Ucapannya yang barusan tadi saja sudah membuatku ingin berpindah tempat, lompat ke kursi kemudi lalu menghenyakkan diri ke pangkuannya dan melumat apa saja yang aku inginkan.
Sayangnya, kesadaranku segera kembali.
Yang tak nyaman dalam batin ini ... Pergolakan antara rindu, logika dan kebutuhan yang tak tersalurkan. Aku wanita normal yang sungguh mengharapkan itu.
Ah, konyol.
Sambil merenung sendiri aku tak sadar jika mobil sudah berhenti dan kaca yang tepat di sampingku di ketuk.
Tuk .. tuk ..
Handy membuka pintu dan membungkuk hormat padaku, sedang aku hanya melirik sekilas lalu melangkah elegan sambil mengenakan kaca mata mahalku.
*
Kulangkahkan kaki di gedung berlantai dua belas dengan bangunan megah dan mewah. Sebagian karyawan yang berpapasan denganku membungkuk hormat demi menghargai Bos mereka, suamiku sendiri.Berikutnya aku bertemu dengan suamiku yang kebetulan saat ini ia tengah menunggu tamu di sofa loby.
"Hai, Mas."
"Hai," jawabnya sambil memainkan gawai.
"Sudah lama nunggu?" Tanyaku lembut.
"Gak, baru aja," ucapnya sambil tak berpaing dari gawai.
"Lihat deh, penampilanku, aku sudah pantas gak, cantik kan?" Kataku dengan senyum menggodanya.
"Hmm," gumamnya masih tidak melirik sama sekali.
Aku sedikit tersinggung dan kecewa dengan sikapnya namun, apa boleh buat mungkin ia sungguh sedang fokus.
Sesaat kemudian tamu-tamu datang dan kami menyambut lalu asisten mengarahkan mereka ke ruang pertemuan dan makan siang kami.
"Kenalkan Mr. Sato, ini istri saya," kata Mas Andri pada kliennya yang kupastikan ia berasal dari negeri sakura.
"Pria itu menyalamiku sambil membungkuk takzim."
"Saya Sabrina," ucapku ramah.
"Nyonya Sabrina, senang bertemu anda," balasnya dengan gaya bicara yang masih kentalnya khas Jepang.
"Kenalkan ini Naoko istri saya," sambungnya lagi sambil menyentuh bagian punggung istrinya. Isyarat yang begitu maskulin dan manis.
Wanita itu membalas salam dan kami lalu terlibat dalam obrolan obrolan ringan.
*
"Istri anda sangat cantik, Mr. Andri," cetus Nyonya Naoko ketika kamu menikmati makan siang."Ah, biasa saja, terima kasih," ucap suamiku sambil terus melanjutkan makannya dengan acuh tanpa menoleh sedikitpun.
Menit-menit berikutnya mereka mengobrol serius dengan bahasa jepang, lalu sesekali ditingkahi dengan tawa renyah, terus tenggelam dalam obrolan tanpa melibatkanku sedikit pun.
Sesekali ia tanpa canggung memuji kecantikan Nyonya Naoko dengan bahasa Inggris yang sedikit kumengerti artinya.
Entah mengapa, aku merasa seperti boneka yang ia peralat untuk formalitas dan kesopanan, aku seperti diabaikan dan itu membuatku tak nyaman sendiri akibatnya."Boleh saya permisi sebentar," tanyaku pada mereka yang masih asyik bicara.
"Ya," jawab Mas Andri.
Aku bergegas cepat ke kamar mandi dengan perasaan yang sudah campur aduk rasanya. Kupandangi wajahku di kaca kamar mandi mewah ini dengan raut kesal dan kecewa. Ingin kutahan lelehan air mata namun tak ayal lolos juga.
Kuseka air mata lalu merapikan diri dan segera keluar menemui suamiku, khawatir mereka menunggu terlalu lama. Ketika keluar dari rest room gedung, aku berpapasan dengan Handy. Ia melihat mataku memerah dan ekspresinya seolah bertanya kenapa. Aku hanya menggeleng samar padanya sambil berlalu.
Satu jam berikutnya pertemuan berakhir dengan kesepakatan kerja. Kami saling berpamitan dan suamiku bahagia telah berhasil membujuk klien untuk kontrak terbaru perusahaan mereka.
"Mas, kita gak pulang bareng?"Tanyaku ketika hendak meninggalkan gedung.
"Gak duluan aja," jawabnya dingin.
"Kukira tadinya, kita bisa menghabiskan waktu di rumah."
"Gak bisa, aku masih ada kerja." Ia berbalik badan dan menuju lift, kembali ke ruangannya.
Aku, kecewa lagi dan semakin terluka.
*Kuhempaskan diri di kursi mobil dengan perasaan kesal dan sedih yang buka main.
Andai tak malu pada pemuda tampan yang sedang mengemudikan mobil ini, rasa-rasanya ingin berteriak dan tergugu sepuasnya."Gak usah tahan, nangis aja," cetus Handy yang memandangiku dari kaca spionnya seperti pagi tadi.
"Tahu darimana saya akan menangis." Aku berusaha menjaga imageku.
Ia tersenyum tipis dan berkata, "mungkin karena cinta saya, jadi saya merasakan perasaan nyonya," katanya lembut.
Oh, aku akan meleleh detik ini juga.
Sesampainya di rumah, aku turun dari mobil dan melangkah masuk dengan lesu. Berkali-kali kuhela napas untuk melonggarkan sesak dan kesedihan ini.
Baru saja hendak kututup pintu utama ketika tangan kekar seorang pemuda meraih tubuhku dan menyentakku dalam pelukannya.
Aku terkesiap dan kehilangan kata-kata. Ingin kumarahi kelancangannya namun respon tubuhku malah nyaman menikmati aroma musk yang menguar dari kemejanya.
Sangat sensual menurutku.
Perlahan diangkatnya wajahku dan ia mendekatkan dirinya hingga aku mampu merasakan hangat dan aroma napasnya. Hingga kami tak berjarak lagi dan makin tenggelam dalam gelora asmara.
Kudorong ia detik berikutnya, untuk menolaknya, karena logikaku meminta agar aku segera menghentikan dosa ini.
Namun ia semakin mendekat dan memagutku dengan buasnya hingga aku tak berkutik. Sedangkan aku main terbius dengan segala perlakuan pemuda ini padaku.
Perlahan tangannya membelaiku bahuku lalu gerakannya menelusup ke resleting belakang gaunku.
Kreek ..
Hingga benda itu tersingkap dan jatuh begitu saja ke lantai.
Tak ingin kulakukan tapi aku dendam pada Mas andri.
Tapi aku kehausan ... rindu dan hasrat dalam jiwa ini butuh pelampiasan.Ia terkulai di sampingku dengan senyum bahagia dan aku hanya memejamkan mata. Meresapi kejadian baru saja.
Entah aku sebagai objek atau dia, aku puas melakukannya. Walau ada sesal, namun kelembutan dan perhatiannya berhasil membuatku tersentuh hingga melayang ke udara.
Semburat jingga di ufuk timur terbit, kemilaunya menerpa dedaunan di taman yang lalu sisa embun memantulkan kembali kristal-kristal indah yang membuatku terpesona oleh keajaiban Sang Pencipta.Kusibak selimut dan seperti biasa aku melakukan rutinitas pagi, membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Sibuk sendiri di dapur membuatku tertegun sesaat. Lalu mengedarkan pandanganku pada tiap sudut rumah nuansa Eropa yang mewah ini.Perabotnya, aksesorisnya bahkan cat dindingnya sangat menyilaukan tapi sungguh aku merasa hampa. Bahkan sarapan yang sudah kusiapkan di atas meja hanya teronggok begitu saja.Aku kehilangan selera dan semangat.Kuraih gawai dan kutekan kontak atas nama suamiku. Berharap dia ada di sini, seharusnya sepagi ini dia masih bersamaku, sarapan bersama dan bercanda."Halo," sapanya dari seberang sana."Mas ... Mas udah bangun?" Kat
Hari ini, setelah hujan sore tadi, langit malam begitu indah dengan taburan gemintang yang menghiasi, kelip ornamen malam dan lampu kota membuatku sesaat menikmati pemandangan itu.Lelah dan jenuh dengan kegamangan yang merajai dinding hati, akhirnya kuputuskan untuk keluar dari rumah sejenak menikmati suasana.Sepanjang trotoar beraneka ragam penjual makanan dan minuman hangat berjejeran, kepulan asap dan aroma makanan membuat siapa saja tergoda.Anak-anak muda duduk di bangku dekat paving menikmati pesanan mereka sambil memainkan ponsel atau bercengkerama ria. Canda dan gelak tawa mereka membuatku iri dan semakin merasa sepi.Kubenahi mantel dan sambil menggenggam kedua tangan yang mulai terasa dingin oleh terpaan angin.Baru saja hendak berbalik badan untuk kembali ke rumah tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahuku.Kubalikkan diriku dan sosok yang selalu membuat jant
**Duduk bersender pada sofa panjang dengan tatapan gamang, kemudian berkali-kali kubuang napas kasar lalu memejamkan mata, mengingat kembali rentetan kejadian demi kejadian yang kerap membuatku mengulangi dosa yang sama."Ah, Handy, Mas Andri ...." Dua nama itu, seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi selalu saling menyertai. Entah sosok yang telah halal bersamaku atau seseorang yang diam-diam menyembunyikan kekagumannya pada milik orang lain, itu membuatku gamang, jujur dilema ini bukanlah hal mengenyangkan selain dari kenyamanan sesaat.Kualihkan pandangan pada jejeran tanaman bunga dan kolam kini air mancur yang bersebrangan langsung dengan tempat dudukku, satu ketukan remote control panel kaca yang mendindingi ruang santai, perlahan terbuka dengan otomatis. Lalu udara berebut masuk mengedarkan hawa sejuk yang menurutku sama sekali tak menyejukkan hatiku.Atau bunyi gemericik air yang melunc
Mungkin siang tadi Mas Andri telah menyakitiku, namun sebagai wanita aku harus mencari cara untuk menyelamatkan hubungan kami. Setidaknya aku punya anak yang bisa membuat Mas andri berfikir ulang untuk meninggalkan kami.Kutelpon ia dengan rencana mengajaknya menghabiskan waktu berdua saja. Semoga itu bisa memperbaiki hubungan kami."Iya, Sabrina," jawabnya"Mas lagi di mana, aku berencana ke taman, apakah mas mau ikut?""Gak usah aku mau istirahat saja.""Istirahat di mana?""Ya tentu saja, hotel. Sabrina," jawabnya santai."Padahal ada ruang tempat Mas bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu membayar."Hatiku perih mendengar kalimatku sendiri yang terdengar tercekat di tenggorokan."Hmm, aku ... Maaf," gumamnya."Aku tahu, aku mengerti Mas." Kupot
Setelah yang terjadi semalam,Handy telah kembali ke kontrakannya setelah semalam di tempatku. Aku tidak bisa menafikan bahwa kehadiran sungguh menghibur, dia yang selalu menyemangati hidupku yang hambar ini.Seperti biasa, aku sendiri lagi, duduk di meja makan berukir relief bunga dan pualam putih, menikmati sarapan, dalam keheningan.Sedang asyik tenggelam dalam lamunan ketika tiba-tiba kudengar suara Mas Andri datang dan menyapaku."Hei, selamat pagi," sapanya sambil menyodorkan sebuket bunga mawar putih.Aku sedikit terperangah namun tak urung kuterima pemberiannya itu."Sedang sarapan?" Katanya sambil menggeser kursi yang berdekatan denganku lalu membalik piringnya."Mas...." Aku masih terkejut sekaligus juga bahagia karena tiba-tiba dia kembali ke rumah dan sarapan bersamaku."Kenapa menatapku begi
*Mobil meluncur kembali dengan kecepatan sedang menuju kota. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya menikmati pemandangan yang membentang hijau di tepian jalan."Mas Jadi makan siang di Mang Ali Resto, anak kita pasti senang setelah sekian lama di asrama?" Tanyaku ingin memastikan rencana semula kami."Maaf gak jadi, tiba-tiba klienku menelepon dan minta bertemu untuk membahas proyek.""Tapi ...." Kugantung ucapanku sambil menatapnya dan Reza yang dudu di depan di samping Handy bergantian.Mas Andri mendesah pelan lalu melirik arloji di pergelangan kirinya."Maaf, hari ini aku gak cukup waktu, proyek dan kesempatan bisa hilang jika aku tidak segera menemui kolegaku.""Baiklah Mas, terserah Mas saja," jawabku dengan rasa kecewa tak terkira.*Sesampainya di rumah."Reza, gak ap
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can