**
Duduk bersender pada sofa panjang dengan tatapan gamang, kemudian berkali-kali kubuang napas kasar lalu memejamkan mata, mengingat kembali rentetan kejadian demi kejadian yang kerap membuatku mengulangi dosa yang sama.
"Ah, Handy, Mas Andri ...." Dua nama itu, seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi selalu saling menyertai. Entah sosok yang telah halal bersamaku atau seseorang yang diam-diam menyembunyikan kekagumannya pada milik orang lain, itu membuatku gamang, jujur dilema ini bukanlah hal mengenyangkan selain dari kenyamanan sesaat.
Kualihkan pandangan pada jejeran tanaman bunga dan kolam kini air mancur yang bersebrangan langsung dengan tempat dudukku, satu ketukan remote control panel kaca yang mendindingi ruang santai, perlahan terbuka dengan otomatis. Lalu udara berebut masuk mengedarkan hawa sejuk yang menurutku sama sekali tak menyejukkan hatiku.
Atau bunyi gemericik air yang meluncur ke fountain mini di tengah kolam ikan yang menurut orang-orang akan mendatangkan energi positif yang menenangkan. Ah, runyam. Semua itu, tak bisa membuat ketenanganku kembali.
Hanya berfikir lalu menghelaa napas, berfikir lagi, mendengkus lagi. Bosan!
Tring ...
Kuraih ponsel yang jaraknya tak jauh dariku laku kuangkat dengan nada malas.
"Halo," kataku.
"Anda sudah siap?" Tanya suara dari seberang sana. Bukan, mungkin dari paviliun Billbiard suamiku.
Tempat semalam kami ....
"Ah, aku lelah," desahku sambil menyibak anak rambut yang menutupi mata sendiri.
"Apakah semalam saya membuatmu tidak bisa tidur, Nyonya?" Balasnya dengan nada yang kutangkap menggoda.
"Kumohon, aku tidak ingin membahas itu," selaku menghindar.
"Jadwal rapatnya jam delapan pagi," katanya mengingatkanku.
"Sungguh aku lelah," balasku.
"Kenapa anda tidak membuka pintu dan membiarkan saya masuk?"
"Apa yang kamu inginkan?" Tanyaku heran.
"Tidak ada. Saya hanya membawakan sarapan Bubur ayam dan mocca low fat kegemaran anda, boleh kan, saya masuk?"
Dia begitu perhatian bahkan jenis kopi yang aku minum, dan hal-hal sedetail itu membuatku tersentuh dan percikan semangat yang berbunga-bunga dalam hati ini bagai bertunas lagi.
"Terima kasih," kataku sambil menerima pemberiannya dari balik pintu.
"Nikmati sarapan Anda, dan bersiaplah, Nyonya," katanya lembut dengan tatapan yang selalu melelehkan.
"Kurasa aku tidak perlu ke kantor hari ini," imbuhku pelan.
"Apa aku harus memberimu sedikit suntikan semangat?" Katanya sambil mendekat padaku.
"Gak usah." Kututup pintu utama secepat mungkin untuk menghindarinya.
Tok .. tok
"Hei nyonya, anda tidak sopan menutup pintu ketika orang lain bicara," katanya sambil menggedor pintu, sesaat kudengar langkah kakinya menjauh sambil tertawa kecil dari luar sana.
"Saya tunggu di mobil," teriaknya, namun samar karena posisinya jauh di gerbang sana.
Sedang, aku di sini masih berdiri di balik pintu mengatur detak jantungku yang rasanya ingin melompat dari rongga dada. Andai aku tidak menghindar, mungkin sentuhan lembut dan belaiannya akan membuatku semakin lupa diri dan waktu.
Setidaknya bayang hal itu yang sedang melintas dalam benakku. Mesum, bukan? memalukan.
Mau bagaimana lagi, aku mabuk kepayang, dan tanpa bersikap munafik, kebahagiaan yang kudapatkan darinya berhasil membuat jiwaku yang tadinya meranggas kekeringan bagai di siram hujan yang syahdu.
"Dasar, tua bangka lupa diri," sisi gelap ku mengejek dan itu membuatku tertawa getir, Lagi dan lagi.
*
"Anda cantik," katanya sesaat ketika aku masuk ke mobil dan siap meluncur ke tempat aku bekerja.
"Kamu terlalu sering memuji," balasku dingin.
"Hal yang unik, anda bisa menjadi sosok yang begitu rapuh tapi di sisi lain anda kaku dan dingin, seolah tegar dan baik-baik saja, tapi aku menyukainya."
Blak-blakan sekali dia.
"Kalo kamu masih mengoceh, aku akan turun dan naik taksi online saja."
"Ah, iya, Maaf," imbuhnya pelan lalu hening seketika.
Lima belas menit kemudian, sesaat setelah mobil melaju memasuki jalan bebas hambatan.
Tring ...
Gawaiku berbunyi dan kurogoh tas kerja untuk menjawab panggilan tersebut.
"Halo, selamat pagi," sapaku.
"Halo, Ma. Ini Reza."
"Hai, Nak, apa kabar, Sayang?" Kataku lembut pada putra satu-satunya yang telah membawa cahaya dalam hidupku ini.
"Baik, Ma. Aku ada free Minggu depan, Mama dan Papa bisa datang ke asrama gak?"
"Tentu saja, Sayang, bahkan sesibuk apapun Mama akan sempatkan waktu buat kamu," pungkasku.
"Benarkah, tapi beberapa kali aku hubungi Papa jawabannya selalu sama, gak bisa, sibuk, ada rapat, ada klien dan banyak lagi, alasannya," balas putraku yang cerdas itu dengan anda sendu.
"Mama janji, kali ini kita semua kumpul dan piknik bareng," balasku berjanji.
"Oke kalo gitu, Ma. Aku masuk kelas dulu, ya, daah."
"Dah, Sayang, yang giat belajarnya, peluk dan cium buat Reza selalu dari Mama."
*
Siang hari pukul 14:10
Pertemuan dengan para donatur dan pengurus yayasan telah berakhir dan setelah berpamitan aku memutuskan untuk langsung pulang saja.
"Sabrina," panggil seseorang.
Kutolehkan wajah ke arah panggilan dan kudapati suamiku telah menunggu di depan pintu depan.
"Mas, kok, Mas gak masuk?" Tanyaku.
"Gak usah, kan, sudah ada perwakilan saya. Elina datang kan?"
"Iya, ada."
"Dia memang selalu bisa saya andalkan," kata suamiku sambil tersenyum puas.
"Lalu, Mas mampir kemari ...."
"Untuk menjemputmu."
"Menjemputku?"
"Untuk makan siang, sudah lama kan, gak makan siang bersama?" Katanya.
Jujur dalam hati aku merasa sangat bahagia karena dia mau meluangkan waktu untuk mengajakku makan siang, tapi di sisi lain aku sedikit merasa tak enak hati, entah oleh apa, aku juga tak mengerti.
Dia memilihkan sebuah restoran bernuansa oriental yang cukup mewah dan nyaman untuk lokasi makan siang kami kali ini.
Suasana yang tidak begitu ramai dan sejuk serta gaya penataan restoran beserta ornamen khas negeri tirai bambu membuatku terkesan.
"Selera Mas bagus sekali," pujiku.
"Sesekali ingin mencoba, mari, kita pesan makanan," katanya dengan senyuman. Senyum yang jarang sekali kulihat akhir akhir ini.
*
"Uhm, boleh bicara serius," ucapnya ketika makan siang telah selesai dan ditutup dengan kami menikmati teh manis.
"Boleh, Mas, ada apa?"
"Aku ... uhm ... Kamu dan Reza adalah yang terpenting dalam hidupku, dan tetap akan seperti itu, apapun yang terjadi," ucapnya lembut sambil menyentuh tangan dan menatap mataku.
"Iya ... makasih, tapi ... Tumben sekali," kataku berusaha membalas tersenyum padahal sedang menetralkan sesuatu yang terasa pilu dalam hati ini, sekali lagi, entah kenapa.
"Aku hanya ... Tolong beri aku izin untuk menikah lagi," pungkasnya.
"Apa?" Aku berusaha memastikan pendengaranku.
"Aku tetap akan memprioritaskan kalian," jawabnya bersungguh-sungguh.
Aku terpana mendengar penuturannya sedang dia menundukkan wajahnya sambil terus menggenggam tanganku.
Kutarik perlahan tanganku dari genggamannya dengan hati remuk redam, dengan kekecewaan yang kian menggulung dan menggelegak dalam dada.
"Kenapa, boleh aku tahu alasan, Mas?" tanyaku dengan bibir bergetar.
Ia menghela napas sejenak lalu berkata, "aku hanya jenuh, Sabrina, aku hanya ... Aku merasa tidak bahagia."
"Lalu aku?"
"Kau tetap yang utama."
"Bagaimana mungkin, siapa yang telah mengisi hatimu tanpa sepengetahuanku?" Kataku sambil menyeka dengan air mata yang sudah membasahi pipi.
"Maaf ... Aku tidak menjalin hubungan dengan siapapun aku hanya ingin ...." gumamnya pelan dengan nada sedikit ragu.
"Memang kita dijodohkan, Namun aku selalu berusaha agar Mas mencintaiku. Benarkah tidak ada kesempatan lagi dalam hubungan ini, bahkan jika Reza juga ikut terluka?" Tanyaku dalam kepedihan yang semakin tersayat-sayat.
Ia kembali membuang napas sambil mengusap wajahnya dengan ekspresi yang sama galaunya denganku.
"Benarkah, ki-kita harus berakhir seperti ini ... benarkah, katakan, Mas?" Ucapku dengan suara yang nyaris terdengar samar.
"Aku tidak bermaksud ingin mengakhiri ...."
"Aku mau pulang Mas," ratapku sambil meraih tas lalu segara meninggalkan tempat itu.
Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut jalan dan trotoar, berharap ada taksi atau apa saja yang bisa meluncur membawaku pergi dari restoran itu.
Kuraih ponsel dan kuhubungi Handy.
"Halo," sapanya.
"Jemput aku, di Cing's Cafe and Resto, sekarang juga!" Aku nyaris berteriak padanya.
"Baik."
*
Kuhenyakkan diri ke dalam mobil dengan perasaaan yang luar biasa sakitnya.
"Jalan."
Lalu mobil meluncur membelah jalanan dengan kecepatan sedang berkali sorot mataku yang sedih tertangkangnoleh Handy dari kaca di hadapannya.
Mungkin tak sanggup lagi ku menahan rasa, lima menit berikutnya buliran bening ini meleleh lalu tangis pun meledak pilu di kursi belakang, sepuasnya, sekuat yang aku mampu.
"Setiap kali bertemu Pak Andri anda selalu menangis," ucapnya lirih sambil menyodorkan tissu.
Seperti yang selalu ia lakukan.
Aku tak menanggapi, hanya tergugu sedih dan memang hanya itu satu-satunya yang saat bisa kulakukan.
"Itulah sebabnya ... Aku tak pernah ingin membiarkan Anda sendiri," imbuhnya lagi dengan lembut.
Aku menangis, menumpahkan semua luka dan rasa yang entah apa namanya ini? Nestapa? Neraka? Apalah. Yang pastinya air mata dan uang tak kan bisa membeli rasa sakit yang demikian menusuk ini.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, ketika menyadari, Semua ini juga salahku, karma perbuatanku, aku juga menciptakan noda yang sama dalam mahligai yang seharusnya kujaga kesuciannya.
Apa yang harus aku lakukan?
Mungkin siang tadi Mas Andri telah menyakitiku, namun sebagai wanita aku harus mencari cara untuk menyelamatkan hubungan kami. Setidaknya aku punya anak yang bisa membuat Mas andri berfikir ulang untuk meninggalkan kami.Kutelpon ia dengan rencana mengajaknya menghabiskan waktu berdua saja. Semoga itu bisa memperbaiki hubungan kami."Iya, Sabrina," jawabnya"Mas lagi di mana, aku berencana ke taman, apakah mas mau ikut?""Gak usah aku mau istirahat saja.""Istirahat di mana?""Ya tentu saja, hotel. Sabrina," jawabnya santai."Padahal ada ruang tempat Mas bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu membayar."Hatiku perih mendengar kalimatku sendiri yang terdengar tercekat di tenggorokan."Hmm, aku ... Maaf," gumamnya."Aku tahu, aku mengerti Mas." Kupot
Setelah yang terjadi semalam,Handy telah kembali ke kontrakannya setelah semalam di tempatku. Aku tidak bisa menafikan bahwa kehadiran sungguh menghibur, dia yang selalu menyemangati hidupku yang hambar ini.Seperti biasa, aku sendiri lagi, duduk di meja makan berukir relief bunga dan pualam putih, menikmati sarapan, dalam keheningan.Sedang asyik tenggelam dalam lamunan ketika tiba-tiba kudengar suara Mas Andri datang dan menyapaku."Hei, selamat pagi," sapanya sambil menyodorkan sebuket bunga mawar putih.Aku sedikit terperangah namun tak urung kuterima pemberiannya itu."Sedang sarapan?" Katanya sambil menggeser kursi yang berdekatan denganku lalu membalik piringnya."Mas...." Aku masih terkejut sekaligus juga bahagia karena tiba-tiba dia kembali ke rumah dan sarapan bersamaku."Kenapa menatapku begi
*Mobil meluncur kembali dengan kecepatan sedang menuju kota. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya menikmati pemandangan yang membentang hijau di tepian jalan."Mas Jadi makan siang di Mang Ali Resto, anak kita pasti senang setelah sekian lama di asrama?" Tanyaku ingin memastikan rencana semula kami."Maaf gak jadi, tiba-tiba klienku menelepon dan minta bertemu untuk membahas proyek.""Tapi ...." Kugantung ucapanku sambil menatapnya dan Reza yang dudu di depan di samping Handy bergantian.Mas Andri mendesah pelan lalu melirik arloji di pergelangan kirinya."Maaf, hari ini aku gak cukup waktu, proyek dan kesempatan bisa hilang jika aku tidak segera menemui kolegaku.""Baiklah Mas, terserah Mas saja," jawabku dengan rasa kecewa tak terkira.*Sesampainya di rumah."Reza, gak ap
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can